Cosmas Batubara: Di Atas Istana Bogor

Di Atas Istana Bogor[1]

Oleh: Cosmas Batubara[2]

15 Januari 1966 —suatu hari di antara situasi politik yang kian panas dan mencekam— berlangsunglah Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor. Saya dan kawan-kawan  mahasiswa dari pimpinan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) diundang menghadiri sidang tersebut.

Kami mengamati sidang dengan cermat, tetapi ternyata Presiden Soekarno tidak memberikan keputusan politik yang kami minta melalui Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) yang isinya: Bubarkan Partai Komunis Indonesia/PKI, Rombak Kabinet, dan Turunkan Harga. Yang mencuat justru kesan bahwa Presiden Soekarno belum begitu tegas mengutuk PKI sehubungan dengan pembunuhan terhadap jenderal-jenderal TNI-AD, yang jenazahnya kemudian dipurukkan ke dalam sumur tua di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Maka ribuan mahasiswa yang sejak pagi sudah mengepung Istana Bogor tidak mau pulang. Mereka tidak mau bergeser satu inci pun dari Istana. Saya dari Presidium KAMI Pusat mencoba menjelaskan kepada teman-teman mahasiswa bahwa Sidang Kabinet Paripurna sudah selesai dan mengajak mereka semua untuk pulang. Tetapi teman-teman bertekad tidak pulang sebelum mendengar bahwa PKI dibubarkan. Kami pun mengundang Jenderal TNI Soeharto yang juga hadir dalam Sidang Kabinet itu untuk menjelaskan kepada mahasiswa bagaimana sebenarnya posisi PKI.

Hari itu saya mendampingi Pak Harto berdiri di atas tembok Istana Bogor, pada bagian yang menghadap ke jalan dekat kantor pos atau samping Istana, untuk berdialog dengan ribuan mahasiswa yang berdemo. Suasa riuh dan mahasiswa berteriak kepada Pak Harto, “Pak, Bubarkan PKI”.

Pak Harto langsung menjawab, “PKI sudah dibubarkan.” Kemudian ia menjelaskan duduk persoalan sebenarnya agar para mahasiswa bisa segera pulang. Seketika situasi berubah, seluruh mahasiswa yang berdemo terlihat senang. Satu persatu rombongan balik kanan dan pulang ke Jakarta.

Kemudian saya bertanya kepada Pak Harto bagaimana persisnya pembubaran itu. “Sudah dikirim telegram ke penguasa perang di daerah-daerah untuk membekukan PKI,” kata Pak Harto.

Peristiwa itu menjelaskan bagaimana Pak Harto mampu menampung dan menanggulangi aspirasi mahasiswa. Meskipun di dalam rapat kabinet tidak sepatah pun kata yang terlontar dari bibir Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI, namun Pak Harto berani mengatakan bahwa penguasa perang pusat sudah mengirim telegram ke daerah-daerah, dengan perintah untuk membubarkan PKI.

Jika Pak Harto Sudah Memilih

Menjelang Pemilu 1992, ketika itu Pak Harto adalah Pembina Golkar dan saya Sekretaris Dewan Pembina. Bersama beberapa sekretaris lain, kami menghadap Pak Harto untuk melaporkan usulan-usulan nama dalon anggota DPR/MPR-RI dari DPP Golkar. Nama-nama itu notabene adalah nama-nama yang kami anggap sudah clear, maksudnya sudah diseleksi, baik dan cocok, dan juga datang dari Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Namun di luar dugaan, setelah disampaikan kepada Pak Harto ternyata beliau bisa menjelaskan bahwa salah seorang yang kami usulkan itu mempunyai kelemahan-kelemahan dan tidak layak dicalonkan menjadi anggota DPR/MPR.

Dengan demikian, berarti Pak Harto juga mempunyai masukan-masukan selain jalur resmi dari kami, DPP Golkar dan Mendagri. Berarti beliau menguasai data-data tentang apa yang terjadi secara lengkap dari berbagai sumber. Dan selaku pemimpin, menurut saya cek dan ricek itu merupakan hal yang sangat baik. Itu yang menyebabkan, jika Pak Harto sudah memilih orang, biasanya jarang diubah lagi karena proses pemilihannya cukup panjang dan lama.

Beliau mau mendengar dari berbagai sumber, menanggapi apa yang kita berikan, dan pasti akan selalu mengeceknya kembali. Dengan begitu, apa yang sudah diputuskannyabiasanya menjadi sangat akurat dan tidak menimbulkan masalah.

Imam Katolik Putra Indonesia

Pak Harto juga sangat memerhatikan hal-hal yang berkait dengan budaya dan kehidupan beragama. Suatu kali saya mendapat informasi dari lingkaran Gereja Katolik bahwa banyak pastor atau imam asing sulit memperoleh izin untuk ditempatkan di Indonesia, padahal ketika itu masyarakat Katolik Indonesia sangat membutuhkan imam-imam.

Mengetahui hal itu Pak Harto langsung mengatakan “Sebaiknya orang-orang Indonesia juga perlu mendidik rohaniawannya, sehingga mereka yang punya posisi pembina memahami betul budaya-budaya Indonesia.” Lebih lanjut beliau mengatakan, “Saya sangat mengharapkan Gereja Katolik juga memperbanyak pendidikan calon imam, sehingga di kemudian hari, imam atau pastor berasal dari putra Indonesia sendiri.”

Jadi, ada di dalam pemikiran Pak Harto bagaimana upaya penghayatan keagamaan itu berkaitan dengan kebudayaan. Dan ternyata sekarang ini memang di seluruh Indonesia banyak sekali imam-imam yang berasal dari putra Indonesia, bahkan tidak sedikit orang Indoensia yang justru dikirim ke luar negeri sebagai imam.

Ini yang saya katakan bahwa visi Pak Harto sebenarnya sangat tepat dan jauh ke depan. Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia dan Pak Harto yakin, jika diarahkan dengan baik, akan menghasilkan hal-hal sangat baik.

Tidak Ingkar Janji

Yang juga saya ingat dari Pak Harto adalah kecermatannya mengenai waktu itu. Kalau Pak Harto sudah berjanji, biasanya akan dipenuhi. Rencana-rencana dari setiap departemen yang berkaitan dengan kehadiran presiden, sepanjang ingatan saya, tidak pernah dibatalkan Pak Harto.

Perencanaan atau pengaturan waktu beliau sangat tepat. Belum pernah saya mendengar beliau tidak hadir jika sudah direncanakan atau diundang. Oleh karena itu rasanya tak berlebihan bila saya katakan Pak Harto adalah pemimpin yang tidak pernah mengecewakan masyarakat atau orang yang mengundangnya.

***


[1]       Penuturan Cosmas Batubara sebagaimana dikutip dari Buku “Pak Harto The Untold Stories”, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 177).

[2]       Cosmas batubara yang lahir di Purbasaribu, Simalungun, Sumatera Utara, 19 September 1938 , ia pernah menjabat Menteri Muda Urusah Perumahan Rakyat Kabinet Pembangunan III, Menteri Negara Perumahan Rakyat Kabinet Pembangunan IV, dan Menteri Tenaga Kerja Kabinet Pembangunan V. Semasa kuliah Cosmas aktif di Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) hingga menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat. Pasca pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965, ia Ketua Presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Pusat di tahun 1966.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.