Cosmas Batubara: Pak Harto Teguh, Namun Persuasif

Teguh, Namun Persuasif [1]

Cosmas Batubara [2]

Sekitar duapuluh enam tahun yang lalu, menjelang meletusnya G-30-S PKI, saya selaku pimpinan mahasiswa di Jakarta selalu mengikuti perkembangan kehidupan kenegaraan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Pada waktu itu terasa sekali kalau dalam perkembangan kehidupan tersebut, tekanan dari PKI semakin lama semakin memasuki segala segi kehidupan. Di bidang politik kelihatan sekali bahwa tekanan-tekanan itu dilakukan dengan berbagai aksi yang sangat brutal. Demikian juga di kalangan mahasiswa, tekanan-tekanan dari kekuatan mahasiswa yang berafiliasi dengan komunis makin terasa.

Sebagai salah seorang anggota Presidium PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia), saya selalu merasakan dalam rapat-rapat bahwa CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) berusaha mendominasi berbagai pandangan.

Pada minggu-minggu pertama dan kedua bulan September 1965, dalam berbagai rapat PPMI kelihatan sekali kelompok CGMI berusaha memaksakan kehendaknya agar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dinyatakan sebagai kontra-revolusi dan menyarankan agar organisasi itu dibubarkan. Sebagai salah seorang pimpinan, saya selalu menolak pandangan serta usulan tersebut, dan berupaya meIawannya dalam berbagai kesempatan.

Masih segar dalam ingatan saya tentang rapat PPMI di Gedung Wisma Warta, Jalan Thamrin, tanggal 24 September 1965. Pada saat itu terjadi perbedaan pendapat dalam rangka merumuskan pandangan-pandangan mengenai HMI. Kelompok CGMI memaksakan kehendaknya seolah-olah HMI adalah kontra-revolusi dan karena itu pantas dibubarkan. Kami menolak pendapat itu dan bahkan salah seorang rekan saya, yaitu saudara Yopie Han dengan geram menyobek notulen rapat dan mengatakan bahwa cara-cara rapat ini sudah tidak lagi mencerminkan rapat mahasiswa.

Dalam minggu ketiga bulan September 1965 situasi di Jakarta memang terasa tegang. Kami dari pimpinan mahasiswa Katolik selalu mengadakan konsultasi dengan Pengurus Besar HMI dan tokoh-tokoh muda Islam, seperti almarhum Bapak Subchan ZE. Kontak konsultasi ini dimaksudkan untuk menggalang barisan-barisan yang kurang sependapat dengan arah (trend) politik yang berkembang. Kontak ini kemudian diperluas dengan tokoh-tokoh mahasiswa dari berbagai organisasi, terutama dengan mahasiswa SOMAL (Sekretariat Bersama Mahasiswa Lokal).

Tanggal 1 Oktober 1965 terjadi tragedi nasional yang kita kenal dengan nama Gerakan Tiga Puluh September. Pada saat itu untuk pertama kali saya mendengar nama Pak Harto. Sebagai Panglima Kostrad, Pak Harto segera bertindak mengambil langkah-langkah menghadapi pemberontakan demi mengatasi kemelut yang ditimbulkan. Sebagai pimpinan mahasiswa yang sudah lama merasakan tekanan-tekanan, maka tampilnya Pak Harto memberikan harapan baru kepada diri saya bahwa Indonesia tercinta tidak akan menjadi negara komunis. Hal ini benar-benar merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan hati.

Upaya-upaya untuk menghimpun segenap mahasiswa yang berkeinginan membangun suatu pola kehidupan baru berjalan dengan lancar. Upaya konsolidasi tersebut terjadi pada tanggal 25 Oktober 1965, yaitu dengan berdirinya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Sejak itu kegiatan-kegiatan semakin terarah menuju lahirnya jenjang (tracee) kehidupan baru di Indonesia.

Sebagaimana telah banyak diungkapkan di berbagai tulisan bahwa tanggal 10 Januari 1966 demonstrasi mahasiswa yang dikoordinir oleh KAMl berlangsung secara besar-besaran. Pada saat itulah dikumandangkan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Program Tritura merupakan cetusan perjuangan yang dirumuskan oleh KAMI. Program Tritura tersebut adalah:

  1. Pembubaran PKI
  2. Perombakan Kabinet Dwikora
  3. Penurunan harga

Aksi-aksi Tritura makin hari makin gencar. Hal ini disebabkan oleh sikap Presiden Soekarno yang bertolak belakang dengan aksi-aksi Tritura terutama mengenai pembubaran PKI. Dari berbagai sumber kemudian diperoleh informasi bahwa perlu diadakan dialog antara pimpinan mahasiswa dengan Presiden Soekarno. Dalam hubungan ini pimpinan KAMI memperoleh undangan untuk hadir di Bogor. Untuk menghadapi pertemuan di Bogor itu, maka diadakanlah rapat-rapat di berbagai tempat di Jakarta, yang membahas, baik mengenai cara berangkat ke Bogor maupun usul apa yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno. Keberangkatan pimpinan KAMI ke Bogor diantar oleh ribuan mahasiswa dari Jakarta dan disambut oleh mahasiswa-mahasiswa Bogor dan Bandung. Para mahasiswa mengharapkan dalam sidang paripurna kabinet di Bogor yang juga dihadiri oleh tokoh-tokoh mahasiswa akan diperoleh jawaban dari Presiden Soekarno terhadap Tri Tuntutan Rakyat.

Apa yang diungkapkan oleh Presiden Soekarno pada waktu itu langsung dapat didengar oleh massa mahasiswa yang berada di sekitar Istana Bogor. Setelah sidang kabinet selesai, saya yang pada waktu itu sebagai salah seorang dari Presidium KAMI dan teman-teman lainnya mencoba menjelaskan kepada massa mahasiswa bahwa tuntutan kita belum ditanggapi dan marilah kita pulang dulu karena perjuangan masih panjang.

Penjelasan tersebut rupanya tidak menggerakkan hati para mahasiswa untuk kembali ke Jakarta, tetapi malah mendorong mereka untuk tetap bertahan dan bahkan mengatakan:

“Kami tidak akan pulang sebelum tuntutan kami yaitu pembubaran PKI dikabulkan”.

Melihat reaksi rekan-rekan mahasiswa seperti itu, maka kami mendatangi Pak Harto dan menjelaskan bahwa para mahasiswa tidak akan pulang sebelum mendengar pernyataan bahwa PKI telah dibubarkan. Pak Harto kemudian menjawab dengan tegas:

“PKI kan, sudah dibubarkan”.

Kami serentak menjawab:

“Tolong Pak, jelaskan hal itu di depan mahasiswa”.

Dari Istana Bogor, para anggota Presidium KAMI bersama-sama dengan Pak Harto berjalan menuju ke salah satu gerbang masuk istana, yaitu yang berdekatan dengan Kantor Pos Bogor. Selanjutnya Pak Harto bersama kami naik ke atas pagar. Baru saja Pak Harto berada di atas pagar, para mahasiswa sudah berteriak dari bawah:

“Kami ingin PKI dibubarkan, kami ingin PKI dibubarkan, kalau PKI tidak dibubarkan, kami tidak pulang”.

Pak Harto mengatakan:

”PKI sudah bubar, pulanglah dan jaga ketertiban”.

Setelah mendengar penjelasan Pak Harto, massa mahasiswa bergerak kembali menuju Jakarta dan sepanjang jalan dengan gemuruh berteriak:

“PKI sudah bubar, perjuangan kita menegakkan keadilan dan kebenaran berhasil”.

Meskipun saya sudah sering mendengar suara dan pandangan­pandangan Pak Harto, tetapi bertemu secara dekat dan langsung dengan beliau baru terjadi tanggal 15 Januari 1966 itu. Sejak peristiwa di lstana Bogor tersebut, masih ada beberapa kali pertemuan Iagi dengan Pak Harto. Selanjutnya melalui tokoh-tokoh yang terhimpun dalam Front Pancasila, saya secara tidak langsung selalu memperoleh gambaran tentang arah dan langkah yang diambil okh Pak Harto .

Namun.demikian perkenalan dengan kepemimpinan Pak Harto secara langsung baru terlaksana sewaktu saya duduk sebagai anggota Kabinet Pembangunan III. Setelah Kabinet Pembangunan III diumumkan ada enam menteri muda yang belum disebut namanya. Rupanya salah seorang dari enam menteri muda itu adalah saya sendiri, yang oleh Pak Harto ditunjuk sebagai Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat, diperbantukan pada Departemen Pekerjaan Umum. Sewaktu saya dipanggil dan menghadap, Presiden Soeharto menjelaskan tentang kerangka berpikir yang beliau punyai, yaitu setelah masalah pangan dan sandang relatif dapat teratasi, maka untuk mewujudkan cita-cita bangsa, masalah papan adalah sangat esensial. Salah satu ukuran kesejahteraan rakyat adalah adanya papan bagi masyarakat.

Setelah panjang-lebar Presiden menjelaskan langkah-Iangkah yang telah diambil dalam upaya menyediakan papan, kemudian beliau mengatakan:

“Saudara saya angkat sebagai Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat”.

Saya mengatakan kepada beliau bahwa saya selalu bersedia membantu Pak Harto untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, namun saya ingin bertanya mengapa beliau menunjuk saya, padahal beliau mengetahui bahwa saya tidak berlatarbelakang pendidikan teknik. Pak Harto mengatakan bahwa tugas Menteri Muda Perumahan Rakyat adalah melakukan koordinasi dengan berbagai instansi yang berkaitan dengan pembangunan perumahan, baik menyangkut segi teknik, sesial, maupun keuangannya. Kalau kita mau belajar pasti bisa.

Berbekal dengan petunjuk umum yang diberikan itu, kemudian saya melaksanakan tugas sebagai Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat dengan sepenuh hati. Kalau saya menghadapi masalah, selain berkonsultasi dengan Menteri Pekerjaan Umum, maka saya meminta petunjuk langsung dari Pak Harto. Perhatian dan pengetahuan beliau tentang masalah perumahan sangat besar. Beliau mengadakan percobaan-percobaan tentang bahan bangunan antara lain dari bahan batu apung yang dikenal dengan nama “Bermis”.

Pandangan-pandangan yang selalu diketengahkan oleh Presiden selalu mengarah kepada memperhatikan rakyat banyak, yaitu kelompok masyarakat berpendapatan rendah (MBR). Tidak jarang di dalam setiap melapor itu terjadi diskusi yang menarik mengenai apa dan bagaimana rumah yang terjangkau oleh masyarakat. Suatu hari beliau menyampaikan kepada saya bahwa ada tanah kepunyaan Yayasan Harapan Kita dan tanah dari seorang pengusaha swasta yang ditawarkan untuk digunakan eleh Perum Perumnas. Saya dan staf kemudian mengadakan peninjauan di kedua lekasi tersebut dan berdialog dengan pemilik tanah mengenai harganya.

Sewaktu kami hitung, ternyata harga tanah yang ditawarkan setelah dimatangkan, tidak akan terjangkau oleh masyarakat yang berpendapatan rendah. Saya melaporkan hal tersebut kepada Pak Harto dan beliau menyarankan kalau memang harganya terlalu tinggi jangan diambil, carilah tanah yang memang bisa dijangkau eleh masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan perumahah Perum Perumnas. Dari ungkapan tersebut, jelas terlihat bahwa nafas keterjangkauan yang memperhatikan rakyat banyak selalu menjadi perhatian Presiden Soeharto.

Masih dalam rangka tugas saya sebagai Menteri Muda Perumahan Rakyat, saya melaporkan tentang pembangunan rumah susun. Di lingkungan staf Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat telah dibahas cara-cara mengatasi keterbatasan lahan dan masalah peremajaan kota. Pembangunan rumah susun. merupakan suatu langkah yang memberi jawaban. Selanjutnya saya melapor kepada Presiden tentang rencana tersebut dan beliau memberi pengarahan agar pembangunan rumah susun itu dilaksanakan, tetapi jangan tinggi-tinggi, sampai empat lantai saja. Dengan empat lantai maka seorang ibu yang berada pada lantai keempat masih tetap dapat melihat anaknya bermain di bawah, dan empat lantai tidak memerlukan lift yang relatif masih mahal.

Dalam kaitan dengan pembangunan rumah susun itu, saya pernah menyampaikan keinginan melakukan studi perbandingan ke luar negeri. Pada waktu itu Presiden mengatakan:

“Sebelum berangkat ke luar negeri ada baiknya Saudara melihat dulu rumah susun yang saya bangun di Bekasi sebagai bahan perbandingan”.

Rupanya Pak Harto selaku Presiden RI disamping memberikan perhatian. pada masalah pangan ·dan sandang, maka beliau juga melakukan uji coba bahan bangunan di sekitar Bogor dan membangun rumah bertingkat serta rumah susun.

Perhatian Presiden Soeharto terhadap masalah-masalah generasi muda dan pembangunan politik adalah sangat besar. Sebagai orang muda dalam kabinet, disamping melaporkan tugas-tugas rutin, saya juga mencoba menggali pandangan-pandangan beliau mengenai Pancasila. Secara mendasar dikemukakan dalam berbagai pertemuan bahwa bangsa dan negara Indonesia akan maju dan berkembang kalau seluruh rakyat bersedia menerima dan dapat menghayati Pancasila. Dalam berbagai pembicaraan terungkap bahwa untuk memperjuangkan diterimanya Pancasila oleh semua pihak harus selalu teguh dalam pendirian dan persuasif dalam pendekatan. Ungkapan-ungkapan yang diketengahkan itu memang terbukti, yaitu dari tahun 1966 sampai dengan 1978, Presiden Soeharto begitu sabarnya mengajak seluruh kekuatan sosial-politik untuk menerima asas Pancasila. Keyakinan beliau terhadap Pancasila diamanatkan kepada saya untuk melanjutkan dan menyampaikan kepada generasi muda.

Sebagai orang yang dibesarkan di dalam Golkar, tentu saja saya ingin menggali bagaimana persepsi beliau tentang Golkar sebagai suatu kekuatan sosial-politik. Dapat saya simpulkan bahwa beliau menaruh perhatian besar terhadap pembangunan politik yang didasarkan pada Pancasila. Pernah saya utarakan kepada beliau tentang langkah-langkah perombakan struktur politik. Saya kemukakan bahwa perombakan kekuatan sosial-politik mutlak diperlukan kalau kita ingin membina suatu kehidupan politik yang bisa menjawab tantangan-tantangan yang ada. Dari pandangan­-pandangan yang saya kemukakan tadi, secara panjang-lebar Pak Harto menjelaskan pemikiran dan langkah-langkah untuk mewujudkan pembangunan politik itu.

Masih teringat oleh saya betapa gigihnya Pak Harto di tahun 1969 mendorong lahirnya Undang-Undang Pemilihan Umum. Sebagai anggota Fraksi Karya, waktu itu saya membaca konsep yang diajukan oleh pemerintah, yaitu pemilihan umum dengan sistem distrik dan stelsel personil. Gagasan ini tidak dapat diterima di kalangan DPR-GR, sehingga kemudian dihasilkan Undang-undang yang mengatur sistem listed stelsel dan kombinasi proporsional, dimana tiap daerah tingkat I dan tingkat II ada satu waktu.

Jadi saya masih ingat bahwa menjelang pemilihan umum 1971, tokoh-tokoh Golkar, antara lain Saudara Sumiskum, mendatangi Presiden untuk meminta agar pemilihan umum ditunda dulu karena masyarakat belum siap. Saya mendapat laporan dari Saudara Sumiskum bahwa Presiden Soeharto sangat teguh pada pendiriannya agar pemilihan umum dilaksanakan. Sampai-sampai beliau mengatakan:

“Kalau diikuti saran saudara-saudara ini, sampai tua tidak ada pemilihan umum”.

Jelas terlihat di sini bahwa sejak seniula Pak Harto sangat menyukai adanya partisipasi rakyat dalam kehidupan politik melalui pemilihan umum. Memang pembangunan politik suatu bangsa tidak mungkin dicapai dalam waktu singkat: Ia harus dibangun tahap demi tahap sehingga akhirnya memperoleh suatu kehidupan politik yang berfungsi dengan baik.

Masih menyangkut masalah-masalah politik, pernah saya tanyakan mengapa Pak Harto sependapat dengan hanya tiga kekuatan sosial politik, dan mengapa namanya Partai Persatuan Pembarigunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya. Pak Harto menjelaskan kepada saya bahwa cita-cita bangsa Indonesia adalah tercapainya masyarakat sejahtera spiritual dan material. Jadi cita-cita kita adalah masyarakat yang sejahtera tapi sekaligus memperhatikan segi-segi spiritualnya dan tidak melupakan segi materialnya. Karena kekuatan sosial-politik berfungsi juga untuk mewujudkan cita-cita tadi maka seyogyanya mereka menerapkan dalam programnya hal-hal yang berkaitan dengan segi-segi spiritual dan material itu. Karena itu kekuatan sosial-politik yang ada sebaiknya dibagi dalam: kelompok yang memperhatikan atau menekankan segi-segi spiritual tapi tidak melupakan segi materialnya; kelomi’ok yang menekankan segi material tapi tidak melupakan segi-segi spiritualnya; dan kelompok yang menekankan keseimbangan antara kedua hal tersebut.

Dengan jalan pikiran seperti itu, maka akhirnya lahir kelompok­ kelompok yang memperhatikan segi-segi spiritual tapi tidak melupakan segi material yaitu gabungan dari unsur partai-partai Islam. Tetapi kemudian pandangan ini tidak bisa diterima karena kalau masih menggunakan nama Islam bisa terjadi nanti Islam itu dijadikan ideologi, padahal Islam itu adalah agama. Oleh karena itu sebaiknya tidak menggunakan Partai Demokrasi Islam tetapi lebih baik menggunakan nama lain yang kemudian terkenal dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan kelompok yang memperhatikan segi-segi material tapi tidak melupakan segi spiritual adalah gabungan partai-partai yang beraliran nasional dengan Partai Kristen. dan Partai Katolik, yang kemudian dikenal dengan nama partai Demokrasi Indonesia. Sementara itu Golongan Karya mengambil suatu sikap keseimbangan antara segi spiritual dan material.

Dalam kaitan dengan seleksi kepemimpinan bangsa, saya juga mencoba menggali bagaimana pikiran-pikiran yang hidup dalam diri Pak Harto. Saya memperoleh kesan bahwa beliau sangat menekankan pada pentingnya proses pemilihan mulai dari eselon terbawah sampai jenjang yang paling tinggi. Didalam berbagai dialog, saya juga menangkap bahwa Pak Harto sangat menekankan pentingnya kekuatan sosial-politik melaksanakan fungsinya sebagai upaya untuk mengatasi dan membawa bangsa kearah kemajuan dan kehidupan yang lebih maju.

Sementara itu, pada bulan Maret 1988 Pak Harto kembali memanggil saya; dalam pertemuan ini beliau memberitahukan bahwa saya diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja. Saya masih ingat akan uraian panjang-lebar dari Pak Harto mengenai perhatian-perhatian yang perlu diberikan terhadap masalah-masalah ketenagakerjaan. Antara lain beliau mengatakan bahwa selama Kabinet Pembangunan IV telah banyak dilakukan langkah-langkah di bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu memasuki Pelita V perlu dilakukan upaya­upaya yang menyangkut segi-segi perluasan lapangan kerja yang makin lama makin berat .

Kemudian dari dialog yang saya lakukan di berbagai pertemuan dengan Pak Harto, terasa sekali bahwa segi-segi yang menyangkut perluasan, peningkatan, pemerataan dan perlindungan tenaga kerja menjadi perhatian beliau. Dalam sidang-sidang kabinet yang membahas berbagai kebijaksanaan, beliau selalu menekankan pentingnya usaha-usaha perluasan lapangan kerja. Angkatan kerja yang memasuki pasar kerja setiap tahun cukup besar. Oleh karena itu, semua pihak harus berupaya ikut serta memperluas kesempatan kerja.

Selain itu dalam berbagai pertemuan, saya sering pula menanyakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ungkapan-ungkapan yang beliau kemukakan seperti: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa; tut wuri handayani. Saya menanyakan hal ini karena saya ingin tahu lebih mendalam; dan dari uraian-uraian yang diberikan saya dapat menangkap maknanya. Akan tetapi beliau juga mengatakan kepada saya agar tidak hanya mempelajari apa yang diungkapkan dalam budaya Jawa tetapi coba gali dari budaya Batak, apa yang bisa diangkat sehingga memberi sumbangan didalam rangka pembinaan budaya nasional.

Jadi menggali kebudayaan daerah adalah sangat ditekankan oleh beliau sehingga didalam rangka. kesatuan dan persatuan bangsa, segi-segi ini memang perlu kita angkat. Saya kemukakan kepada beliau tentang banyaknya persamaan dari pandangan dan ungkapan budaya Batak dimana kami lahirkan dengan apa yang kami ketahui teritang budaya Jawa. Segi kaitan dengan budaya ini lebih jauh beliau kaitkan lagi dengan masalah agama.

Dalam hubungan ini pernah saya menyampaikan kepada beliau bahwa ada permintaan dari beberapa daerah agar pastor-pastor yang berkebangsaan asing diperbolehkan masuk ke Indonesia lagi. Pesan yang diberikan oleh Pak Harto adalah supaya diperhatikan kaitan budaya dengan kehidupan keagamaan. Alangkah baiknya kalau pimpinan-pimpinan agama itu diusahakan sejauh mungkin dari latar belakang budaya yang sama. Karena itu untuk melayani kehidupan keagamaan supaya didorong lahirnya putera-putera Indonesia yang bisa menjadi pemuka-pemuka agama.

Pesan beliau yang sangat berkaitan dengan segi-segi kehidupan sebagai anggota dan pimpinan masyarakat serta sebagai pejabat di lingkungan pemerintahan adalah agar kita tidak tergoda oleh tahta, wanita dan harta. Pesan ini dimaksudkan beliau untuk disampaikan kepada generasi muda yang menyiapkan diri sebagai generasi penerus.

Demikianlah sekilas kesan-kesan saya tentang Pak Harto. Pengabdian yang diberikan beliau kepada persada Indonesia akan selalu terpatri dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dan dapat menjadi pedoman bagi generasi penerus

***


[1]     Cosmas Batubara, “Teguh, Namun Persuasif”, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 255-233.

[2]     Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat dalam Kabinet Pembangunan III; Menteri Negara Perumahan Rakyat dalam Kabinet Pembangunan IV; Menteri Tenaga Kerja dalam Kabinet Pembangunan V.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.