Daryatmo: Pak Harto Bijaksana dan Berintuisi Tajam

Bijaksana Dan Berintuisi Tajam[1]

Daryatmo[2]

Saya mulai mendengar nama Pak Harto pada waktu revolusi; waktu itu saya menjadi anggota BKR yang berkedudukan di Yogya. Pak Harto pada waktu itu juga menjadi anggota BKR di kota yang sama tetapi berada dalam batalyon yang berbeda. Pada zaman Jepang, di Yogyakarta terdapat empat batalyon yang disebut daidan. Daidan pertama ada di Wates dimana Pak Harto bertugas sebagai seorang shodancho atau komandan peleton. Daidan kedua di Bantul, dan daidan ketiga berkedudukan di Pingit, di tepi jalan ke Godean, yakni daerah kelahiran Pak Harto. Daidan keempat ada di Wonosari. Jabatan saya pada waktu itu adalah Daidan Fukkan atau Ajudan Komandan Batalyon. Kemudian saya mendengar bahwa Pak Harto pangkatnya naik menjadi chudancho dan ditempatkan di Solo pada markas tentara Jepang yang mengkoordinir daidan-daidan.

Pada waktu di Solo dibentuk BKR, teman-teman di Solo meminta saya untuk bergabung dalam BKR tersebut. Sebenarnya hal ini adalah suatu kebetulan saja, karena waktu itu saya memang telah pindah ke Solo. Tidak lama kemudian saya diminta oleh teman­teman di Yogya untuk pindah ke Yogya. Di BKR Yogya saya tergabung dalam BKR bagian R atau Bagian Rahasia. Nah, Pak Harto pada waktu itu adalah Komandan Batalyon X yang terkenal itu dan kemudian menjadi Komandan Resimen 22. Pada masa-masa inilah saya sering melihat beliau tetapi kami belum saling bertegur sapa.

Pada waktu clash dengan Belanda, saya berada di daerah Muntilan, membawahi Sub-Wehrkreise yang meliputi tiga kewedanaan: Kewedanaan Muntilan, Kewedanaan Salam, dap Kewedanaan Sleman. Setelah clash selesai saya ditempatkan di Purworejo. Batalyon saya termasuk dalam Brigade Kuda Putih yang berada di bawah pimpinan Pak Yani. Ini yang kemudian membuat saya berkenalan dengan Pak Harto, yaitu melalui Peristiwa Andi Aziz yang terjadi di Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1950. Ketika itu Pak Harto mendapat tugas. memimpin Brigade Mataram, yang tergabung dalam Divisi Kawilarang, untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz. Untuk membentuk brigade itu, satu batalyon diambil dari Brigade Pak Harto sendiri, sedangkan yang satunya adalah berasal dari pasukannya Pak Yani, yaitu Batalyon Kresno yang saya pimpin. Penyerahan batalyon saya kepada Brigade Pak Harto adalah atas perintah Pak Gatot Subroto, yang pada waktu itu menjabat Panglima TT-IV/Divisi Diponegoro. Sesudah penyerahan tersebut, selama kurang lebih satu minggu, Pak Harto terus mengawasi batalyon saya dalam rangka reorganisasi dan “rearmament” sebelum diberangkatkan ke Sulawesi Selatan. Sejak penumpasan pemberontakan Andi Aziz itulah saya menjadi anak buah Pak Harto. Setelah penumpasan Andi Aziz selesai saya tetap dalam brigade Pak Harto, karena saya telah dipindahkan secara resmi organik dari brigade Pak Yani kedalam brigade Pak Harto itu.

Dari Sulawesi Selatan, Pak Harto dipindahkan ke Salatiga dan kemudian menjadi Komandan Resimen di Solo. Kemudian beliau menjadi Kepala Staf Divisi Diponegoro, dan selanjutnya menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Pada waktu beliau menjabat Panglima Divisi Diponegoro, saya menjadi Kepala Staf Resimen Sub Teritorium 12, di bawah Pak Yani lagi. Resimen ini berkedudukan di Purwokerto dan daerahnya meliputi keresidenan Banyumas dan Pekalongan. Dalam pelaksanaan tugas, resimen ini memberikan perhatian yang khusus terhadap daerah Brebes dan Tegal yang pada waktu itu sedang dilanda kekacauan karena pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Amir Fatah. Di sana .dibentuk daerah operasi yang diberi nama GBN atau Gerakan Banteng. Karena Pak Yani memimpin daerah operasi tersebut, maka beliau berkedudukan di Slawi yang berada lebih kurang 30 kilometer dari Purwokerto, sehingga saya sebagai Kepala Staf Resimen praktis mewakili Pak Yani di Purwokerto.

Saya masih tetap menjabat Kepala Staf Resimen Sub Teritorium 12 sampai tahun 1956. Kemudian saya masuk pendidikan SSKAD, yang sekarang dikenal sebagai Seskoad. Selesai dari SSKAD saya menjadi Komandan Resimen Sub Teritorium 13  di Yogya. Panglima Divisi Diponegoro masih tetap Pak Harto. Jadi saya kembali bekerja dibawah komando beliau. Tak berapa lama kemudian, pada tahun 1958, saya ditarik oleh Pak Yani untuk menjadi Kepala Staf Komando 17 Agustus dan mendarat di Sumatera Barat. Pak Yani pada waktu itu ditunjuk menjadi Panglima operasi penumpasan pemberontakan PRRI. Setelah dua bulan membantu Pak Yani saya dikirim ke US Army Command and General Staff College di Amerika Serikat selama satu tahun. Rupanya Pak Yani mempunyai rencana sendiri mengapa beliau menarik saya terjun dalam Operasi 17 Agustus tersebut.

Sepulang saya dari AS, Pak Yani menjabat Deputy Pangad, sedangkan Pak Harto masih menjabat Panglima Divisi Diponegoro. Saya sendiri diangkat menjadi Direktur Perhubungan Angkatan Darat, jabatan mana saya pegang selama empat tahun. Sementara itu Pak Yani menduduki jabatan Pangad. Pak Yani kemudian menempatkan saya di Medan sebagai Panglima Kodam II/Bukit Barisan sampai meletus G-30-S/PKI. Dalam peristiwa ini Pak Yani gugur dan sebagai gantinya Presiden Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Pranoto. Kebijaksanaan Bung Karno tersebut menyimpang dari kebiasaan di Angkatan Darat saat itu, yakni apabila Pak Yani selaku Pangad berhalangan, maka Pak Harto selalu ditunjuk untuk mewakili beliau. Sebagai Pangkostrad Pak Harto adalah panglima senior sesudah Pangad, sehingga dengan sendirinya beliau lebih berhak menggantikan Pangad daripada Pak Pranoto, sedangkan kedudukan Pak Pranoto pada waktu itu adalah Asisten Personil Staf AD. Akhirnya pengangkatan Pak Pranoto dibatalkan dan Pak Harto diangkat sebagai Pejabat Pangad.

Setelah Pak Harto menjadi Pangad, oleh beliau saya ditarik ke Jakarta untuk memegang jabatan Asisten VI/Pangad yaitu bidang sosial-politik dan kekaryaan, menggantikan. almarhum Bapak Dr. Sudjono. Tugas saya adalah membantu Pangad membina anggota AD yang bertugas di luar organisasi AD, umpamanya mereka yang menjadi menteri, sekretaris jenderal, atau mereka yang bekerja di lembaga-lembaga kenegaraan ataupun di luar itu. Masalah ini dtanggap penting oleh beliau karena ABRI bukanlah semata­ mata sebagai kekuatan pertahanan-keamanan saja, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik. Ini berarti bahwa ABRI tidak dapat dipisahkan dari keterlibatannya dalam masalah-masalah kenegaraan. Sementara itu Pak Harto telah diangkat sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS.

Dari Asisten VI, jabatan saya naik menjadi Deputy Khusus Pangad yang juga menangani masalah-masalah sosial-politik dan kekaryaan, tetapi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari jabatan yang semula saya pegang, karena hirarkinya adalah sebagai berikut: 1. Pangad, 2. Wakil Pangad, 3.a. Deputy Operasi, b. Deputy Administrasi dan c. Deputy Khusus[3]. Pada tahun 1968 saya dipindahkan dari Deputy Khusus Pangad ke Departemen Hankam, menjadi Kastaf Kekaryaan, sedangkan Menteri Hankam dijabat oleh Pak Harto. Jadi beliau memegang jabatan rangkap yaitu sebagai Pejabat Presiden dan Menteri Hankam/Pangab.

Disamping merangkap Menhankam/Pangab, Pak Harto juga memegang langsung Kopkamtib. Pak Harto kemudian mengangkat Pak Panggabean sebagai Wapangab. Jabatan Menhankam/Pangab kemudian diserahkan kepada Pak Panggabean yang juga merangkap sebagai Wakil Harian Pangkopkamtib. Pada akhirnya jabatan Pangkopkamtib diserahkan kepada Pak Sumitro yang sebelumnya menjabat Wakil Pangab. Sebagai Pangkopkamtib, ia mempunyai dua orang Kepala Staf, yaitu Kastaf Harian I yang bertugas menangani masalah operasi militer dan Kastaf Harian II yang menangani masalah operasi sospol. Jabatan yang terakhir ini saya pegang dari tahun 1968 sampai 1978.

Pada masa-masa inilah saya mengalami dan dapat merasakan kepemimpinan Pak Harto, baik sebagai seorang militer maupun sebagai kepala pemerintahan. Beliau adalah seorang pemimpin yang tegas, cepat, dan dapat mengambil suatu tindakan yang tepat dan bijaksana. Penumpasan G-30-S/PKI telah membuktikan ketegasan dan kecepatan tindakan beliau. Beliau pulalah yang dengan cepat tanpa ragu membubarkan PKI setelah menerima Surat Perintah 11 Maret, padahal kita semua mengetahui bahwa Bung Karno sendiri enggan untuk melakukannya. Tidaklah mengherankan kalau pada akhirnya rakyat melalui MPRS mempercayakan pimpinan pemerintahan dan negara kedalam tangan beliau sebagai Pejabat Presiden. Pak Hartolah yang berhasil menegakkan kembali tatanan politik dan konstitusi kita yang dikacaukan oleh PKI dengan percobaan perebutan kekuasaan.

Kebijaksanaan Pak Harto dapat dilihat dalam cara-cara beliau menangani masalah yang dihadapi, baik dalam scope nasional yang luas maupun yang sempit, seperti masalah-masalah dalam Angkatan Darat. Umpamanya pada tahun 1978 timbul masalah dalam mengisi jabatan Kasad; yang dinominasi adalah Letjen. Widodo. Dahulu ia adalah komandan kompi dalam batalyon saya, jadi ia berada di bawah komando saya. Sebagai Kaskar Hankam, pangkat yang tertinggi adalah letnan jenderal. Jni tentu saja janggal, sebab seorang bekas komandan kompi saya akan menjadi Kasad dan dapat dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal berbintang empat, sedangkan saya bekas komandan batalyonnya menjabat Kaskar berpangkat letnan jenderal (berbintang tiga). Hal ini tentunya harus dicarikan jalan pemecahannya.

Dalam menghadapi masalah tersebut, di sinilah kita dapat melihat pemikiran beliau yang bijaksana dan saya kagumi sampai sekarang. Oleh Pak Harto saya dipindahkan dari Kaskar menjadi Kastaf Kopkamtib dan karena jabatan tersebut dapat dijabat oleh seorang perwira tinggi berbintang empat, maka pangkat saya dinaikkan menjadi jenderal berbintang empat. Jadi Pak Widodo menjadi Kasad dan saya menjadi Kepala Staf Kopkamtib. Saya memegang jabatan ini hanya selama satu bulan saja, sebab timbul suatu perkembangan baru yang berkenaan dengan masalah jabatan Ketua MPR/DPR.

Dalam hubungan ini, pada bulan Maret 1978 almarhum Pak Adam Malik, yang sebelumnya menjabat Ketua MPR/DPR di angkat menjadi Wakil Presiden, sehingga kursi Ketua MPR/DPR menjadi kosong. Sebelum terjadinya kekosongan itu, saya ditugaskan oleh Pak Harto untuk menjadi anggota MPR/DPR. Maksudnya supaya saya dapat memenuhi syarat kalau nanti terjadi pemilihan untuk Ketua MPR/DPR. Akhir dari strategi Pak Harto ini, saya diangkat menjadi Ketua MPR/DPR untuk masa jabatan 1978-1982. Sesudah Pemilu 1982 kedudukan saya digantikan oleh Pak Amirmachmud dan saya kembali menjadi anggota MPR/DPR biasa dan masuk dalam komisi VII sampai saya pensiun sebagai anggota MPR/DPR pada tanggal 1 Oktober 1987[4].

Dari beberapa pengalaman saya selama membantu beliau, baik dalam bidang pemerintahan ataupun sebagai anak buah beliau dalam operasi-operasi kemiliteran, dapatlah saya simpulkan bahwa sikap·kepemimpinan beliau adalah sangat menarik. Saya katakan “menarik” tidak lain karena didalamnya terdapat perpaduan dari beberapa hal yang saling bertaut dan melengkapi: kearifan dan kebijaksanaan. Kearifan dan kebijaksanaan beliau terlihat misalnya pada waktu beliau menangani masalah saya dan Pak Widodo itu. Disamping bijaksana, beliau adalah juga seorang ahli strategi; hal ini saya alami pada waktu saya akan menjadi Ketua MPR/DPR. Pada waktu itu saya sama sekali tak mengetahui rencana beliau mengenai saya. Langkah-langkah beliau memang hebat, sehingga kita kadang-kadang tidak mengetahui apa yang sedang beliau pikirkan untuk kepentingan kita.

Sebagai seorang pimpinan militer, komandonya juga sangat mengesankan, karena Pak Harto sangat memperhatikan kepentingan anak buahnya sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Contohnya, pada waktu batalyon saya masuk kedalam komando beliau. Sebetulnya sebagai seorang komandan beliau tak perlu mengawasi semua hal tersebut, cukup diserahkan kepada orang lain saja. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pak Harto; beliau terus menerus mengawasi reorganisasi dan “rearmament” batalyon saya. Inilah barangkali yang merupakan dorongan kuat pada anak buah untuk bekerja keras dan memegang teguh disiplin, karena beliau sendiri memberikan contoh yang demikian. Di bawah kepemimpinan beliau, kami merasakan adanya semacam dukungan moril, karena kami merasa diperhatikan.

Terhadap rakyatpun perhatian beliau sangat besar. Waktu masih menjabat sebagai panglima, Pak Harto tidak hanya memperhatikan keadaan para prajurit, tetapi juga memperhatikan keadaan rakyat yang ada didalam teritorium beliau. Perhatian Pak Harto memang sungguh besar apalagi terhadap rakyat kecil, terutama yang berkenaan dengan kepentingan para petani. Mengapa perhatian Pak Harto begitu besar terhadap mereka? Saya kira karena beliau berasal dari keluarga petani dan mayoritas rakyat kita adalah petani, seperti yang selalu beliau utarakan. Perhatian Pak Harto itu antara lain diwujudkan dalam mempopulerkan “pompanisasi”, disamping membuat dan memperbaiki irigasi. Beliau·selalu menekankan, bahwa pengairan sawah petani harus baik, dan beliau sendiri mengetahui betul seluk beluk pertanian sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Itulah sebabnya saya melihat pribadi beliau sebagai seorang detailist dan perfectionist.

Ketika saya masih bertugas di lapangan dan menjadi bawahan Pak Harto, pada setiap beliau akan melakukan inspeksi, kami harus siap betul dengan segala hal yang berkenaan dengan tugas. Dalam hal ini beliau bukan hanya tahu mengenai garis besarnya saja tentang suatu masalah, tetapi juga sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Umpamanya, saya mendapat perintah untuk membawa pasukan saya ke cot (suatu ketinggian) pada jam tujuh pagi; nah, jangan berani mengatakan bahwa kita telah ke sana kalau kita memang tidak ke sana, karena sering beliau sudah berada di cot tersebut sebelum jam tujuh pagi.

Mempunyai suatu keberanian sudah merupakan hal biasa bagi seorang militer. Tetapi pada Pak Harto, selain sifat tersebut, beliau adalah juga seorang yang dapat mengambil keputusan dengan cepat serta tepat. Dan ketenangan beliau sungguh luar biasa. Dalam menghadapi situasi yang kritis beliau tetap tenang. Hal ini saya alami pada waktu saya bertugas di Sulawesi Selatan dengan markas brigade di Makassar atau Ujung Pandang sekarang. Pacta suatu sore sepulang saya dari menonton bioskop, tiba-tiba terdengar suara-suara senjata otomatis. Pada waktu itu penumpasan terhadap Andi Aziz telah selesai, sehingga itu berarti sisa-sisa KNIL mulai menyerang kami.

Pada waktu itu saya sedang bertugas mewakili Pak Harto yang sedang dinas ke Jakarta. Diantara desingan peluru, saya melarikan mobil dengan cepat ke markas brigade. Saya mengetahui dari seorang penjaga bahwa Pak Harto sudah berada di markas itu sejak pukul empat sore. Saya segera melapor dan menjelaskan strategi untuk menghadapi penyerangan yang mendadak tadi. Dengan tenang Pak Harto memerintahkan saya untuk kembali ke Sungguminasa yang berada sejauh 10 kilometer dari Makassar, karena memang di sanalah kedudukan batalyon saya. Karena saya tidak membawa senjata, Pak Harto lalu memberikan pistol yang sedang beliau pakai kepada saya dan saya juga diberinya seorang prajurit sebagai pengawal. Pada waktu itu semua memakai seragam militer hanya saya saja yang memakai baju sipil. Agak “rikuh” juga saya pada waktu itu. Menghadapi penyerangan yang tiba-tiba itu sama sekali tidak terlihat sedikitpun kepanikan pada wajahnya. Begitu pula dalam penumpasan G-30-S/PKI pada tahun 1965; Pak Harto telah menunjukkan kecepatan dan ketepatan strategi beliau.

Sesudah Pak Harto memimpin negara justru sifat beliau yang demikianlah yang mendukung keberhasilan beliau, karena wujud dari sifat yang demikian adalah ketegasan dan konsistensi pacta setiap langkah kebijaksanaan beliau. Tetapi, mungkin, banyak orang yang berpendapat bahwa sikap konsisten beliaulah yang menyebabkan beliau bersikap tidak terbuka dan tidak demokratis. Hal ini sama sekali tidak benar. Pak Harto adalah seorang yang demokratis dan bersifat kebapakan sekali, tetapi untuk sesuatu hal yang prinsipil memang tidak mudah untuk menggoyahkan keputusannya.

Satu hal yang mungkin belum banyak diketahui oleh orang banyak adalah bahwa beliau itu jangan dikilani dadane. “Kilan” itu artinya jengkal; jadi kita itu jangan sok kuminter atau “suka menggurui” beliau, karena menurut beliau, segala hal yang kita hasilkan di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Umpamanya sering diucapkan oleh Pak Harto peribahasa seperti, aja rumangsa bisa, ning ora bisa rumangsa, artinya jangan merasa bisa, tetapi kita harus bisa merasakan, bahwa kita manusia ini hanyalah alat Tuhan Yang Maha Kuasa. Contohnya dalam hal ini umpamanya pada waktu beliau menghadapi kasus Sawito, yang mengatakan telah memperoleh wangsit untuk menjadi presiden.

Karena saya telah lama menjadi pembantu beliau tentunya saya banyak memahami sifat-sifat beliau, sehingga saya tidak berani melakukan tindakan yang bersifat ngilani dadane tadi. Misalnya saja pada waktu saya menjabat Ketua DPR/MPR, saya mendapat undangan untuk menghadiri International Conference dari PBB yang akan diadakan di Beijing. DPR akan mengirimkan lima orang wakil, tetapi Fraksi Karya Pembangunan menambahnya dengan delapan orang. Saya mendengar kabar bahwa Pak Harto tidak setuju dan oleh Pak Sudharmono, yang waktu itu masih menjadi Menteri Sekretaris Negara, saya diminta supaya menanyakannya langsung kepada Presiden. Waktu saya menghadap beliau, saya berkata: “Pak, ini ada undangan dari PBB tetapi sayang tempatnya kok di Beijing. Kita tak usah pergi saja ya Pak?” Jawaban Pak Harto adalah diluar dugaan: “Ya, nggak gitu, masalahnya siaran radio Beijing itu masih selalu menjelek-jelekkan kita, makanya kalau pergi ke sana jangan gemruduk (beramai-ramai), yaitu lima orang saja”. Seandainya saya mengatakan bahwa hal itu penting, mungkin beliau akan mengatakan “tidak”.

Contoh lain ialah waktu saya mendapat undangan dari Ketua Parlemen Korea Selatan dan, menurut kabar, di sana saya akan diberikan bintang, sebab dianggap berjasa dalam masalah kerjasama antar parlemen. Saya tahu bahwa hubungan antar negara itu didasarkan pada asas timbal balik, jadi tentunya saya juga akan ganti mengundang Ketua Parlemen Korea Selatan dan memberikannya bintang jasa juga. Nah, di sinilah kesulitannya karena kita belum mempunyai bintang untuk hal tersebut. Saya mengemukakan masalah ini kepada Pak Harto dan saya bertanya apa sebaiknya undangan tersebut kita tolak saja. Beliau malahan memberikan jawaban bahwa undangan tersebut tak usah ditolak. Dan soal bintang? Jawab beliau adalah: “Gampang, nanti kita buatkan atau kita carikan”. Kedua contoh itulah yang saya sebutkan sebagai beliau itu tidak boleh dikilani dadane.

Kedemokratisan dan keterbukaan Pak Harto sangat tercermin dalam kepemimpinan beliau karena selama saya menjadi pembantu beliau kami dapat bebas mengemukakan pikiran-pikiran kami. Tetapi sekali sesuatu telah diputuskan, sangat sukar untuk mengubahnya. Beliau sangat konsisten terhadap suatu keputusan yang telah beliau ambil. Contoh lain yang telah kita ketahui bersama adalah “kefanatikan” Pak Harto dalam memegang teguh  prinsip Pancasila dan UUD 1945, yaitu dua prinsip yang beliau tegaskan pada waktu beliau mulai mengambil alih pemerintahan negara.

Beliau juga menyukai sesuatu hal yang”menantang” (challenging). Pada masa awal pemerintahan Cory, keadaan Manila masih sangat genting. Pada waktu itu para pimpinan negara-negara ASEAN bermaksud akan mengadakan konferensi puncak di sana. Para pimpinan negara-negara ASEAN yang lain ragu-ragu untuk menghadirinya, karena mereka khawatir bila terjadi penyerangan tiba-tiba, disebabkan situasi keamanan yang masih sangat rawan. Kami di sinipun begitu juga. Berbagai organisasi, baik yang formal ataupun yang tidak formal, mengusulkan pada beliau untuk tidak usah berangkat  saja. Tetapi apa jawaban Pak Harto: “Ooh, saya akan datang”. Tetapi beliau mengajukan beberapa persyaratan pada pemerintah Filipina. Persyaratan tersebut antara lain adalah bahwa semua peserta harus berada di satu hotel untuk memudahkan, pengamanan dan koordinasi, upacara-upacara yang tidak perlu supaya dihapuskan, artinya seperlunya saja. Ternyata kesediaan Pak Harto untuk hadir pada konferensi tersebut telah mendorong para kepala pemerintahan ASEAN lainnya untuk hadir di Manila. Nah, bukankah hal itu membuktikan bahwa beliau itu suka pada hal yang menantang? Tetapi hal itu, menurut pendapat saya, adalah suatu perwujudan dari keberanian moril beliau.

Disamping keberanian moril, Pak Harto juga memiliki intuisi yang sangat tajam. Banyak orang mengherankan hal ini. Sebetulnya kita tak perlu heran, kalau saja kita mengetahui bahwa beliau itu selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Segala keputusan yang beliau ambil, sebelumnya beliau mohonkan petunjuk dari Tuhan. “Manusi hanya sekadar melakukan apa yang dikehendaki-Nya”, begitulah yang selalu diucapkan oleh Pak Harto. Itu sebabnya beliau selalu menekankan bahwa kita sebagai manusia supaya bersikap aja gumunan, aja kagetan !an aja dumeh, yang artinya adalahjangan suka heran, jangan suka terkejut dan jangan suka sok atau mentang­ mentang. Mengapa demikian? Karena, bukankah semua yang ada di dunia ini adalah atas kehendak-Nya, atas kekuasaan-Nya, dan bagi Tuhan tidak ada hal yang tidak mungkin?

Bagi saya, berbicara mengenai Pak Harto, seakan-akan melihat sebuah pergelaran wayang, bisa sampai semalam suntuk, dan mungkin belum juga selesai meskipun sudah semalam suntuk. Sebab selama saya mengabdi pada negara, saya cukup lama menjadi pembantu beliau. Kekaguman lain terhadap beliau yang sering dilontarkan orang pada saya adalah mengapa Pak Harto dapat mengantisipasi sesuatu dengan baik; mengapa Pak Harto dapat mengambil suatu keputusan dengan cepat dan tepat.

Contohya begini, seorang pimpinan dalam suatu organisasi tentu mempunyai staf yang akan membahas bermacam masalah dan mencari jalan pemecahannya, dan hasil bahasan staf tersebut diajukan kepada pimpinan untuk diputuskan. Cara yang demikian ini adalah cara yang umum dilakukan. Tetapi seringkali tidak demikian halnya dengan Pak Harto. Menghadapi suatu masalah, beliau akan memberikan suatu keputusan terlebih dahulu baru sesudah itu staf. beliau diminta untuk menilainya. Setelah kami, staf, menilai, ternyata keputusan Pak Harto merupakan keputusan yang terbaik. Inilah yang sering membuat kami para staf kagum pada beliau.

Salah satu contoh lain yang menunjukkan bahwa beliau dapat mengambil suatu keputusan dengan cepat dan tepat, dialami oleh seorang sarjana lulusan Jerman yang menjadi pimpinan sebuah perusahaan. Ia menanyakan kepada saya siapakah yang menjadi penasihat Pak Harto. Saya menjawab: “Tidak ada”. Dia tampak heran. Mengapa? Sebab, dia sebagai salah seorang direksi perusahaan merasa kagum bahwa dalam waktu yang sangat singkat Pak Harto telah dapat memberikan jawaban terhadap usul yang diajukan dan keputusan tersebut dianggapnya sangat tepat.

Contoh lain dialami oleh sebuah studi group dari suatu departemen yang terdiri dari para ahli dan didalamnya terdapat ahli dari Jepang. Mereka menganalisa suatu masalah selama beberapa minggu; kemudian mereka menyampaikan beberapa alternatif kepada Pak Harto dan memohon agar beliau menentukan satu pilihan. Mereka mengira bahwa keputusan tersebut akan memakan waktu paling tidak tiga hari. Ternyata, pada keesokan harinya kelompok studi tersebut telah dipanggil menghadap dan Pak Harto telah siap dengan keputusan beliau. Ternyata pilihan Pak Harto adalah sama dengan apa yang mereka perkirakan sebagai suatu keputusan yang terbaik.

Memang banyak hal yang menarik pada diri dan sikap kepemimpinan beliau. Presiden adalah seorang yang rendah hati, tetapi tidak rendah diri, sehingga kadang-kadang orang memberikan penilaian yang salah tentang beliau. Kadang-kadang orang menilai beliau agak lambat dalam menentukan sesuatu. Kesan yang demikian timbul karena mereka tidak mengetahui bahwa dalam setiap langkah, beliau selalu berpegang pada prinsip yang belum saya sebutkan, yaitu prinsip yang mendasari segala tindakan dan sikap beliau. Dalam ruang kerja di rumah beliau, dahulu terdapat tulisan berhuruf Jawa Sa, Sa, Sa. Saya pernah bertanya: “Itu artinya apa Pak?” Beliau lalu menjelaskan, bahwa Sa yang pertama berarti sabar, yang kedua sareh dan yang ketiga adalah sumeleh. Seorang yang sabar, akan selalu bersikap sabar dalam menghadapi segala sesuatu, biarpun yang kita hadapi itu adalah suatu hal yang menggoncangkan, umpamanya suatu musibah.

Sareh adalah, kalau kita berbuat sesuatu tidak boleh tergesa-gesa, tidak boleh bingung, tetapi kita harus memikirkannya dengan tenang dan baru sesudah itu kita mengambil suatu keputusan. Sumeleh adalah, kalau kita telah menetapkan sesuatu kita harus pasrah pada Yang Maha Kuasa. Kalau kita memegang tiga Sa tadi berarti segala langkah yang kita putuskan tidak akan sembarangan saja.

Dalam menghadapi “lawan”, prinsip nglurug tanpa bala atau “maju perang tanpa prajurit”, dan menang tanpa ngasorake, yang berarti bahwa dalam menghadapi lawan bicara atau kalau kita melakukan suatu diplomasi, kita akan berusaha untuk membawa “lawan” menerima kehendak kita tanpa ia merasa “dikalahkan”, selalu beliau terapkan. Inilah yang memberikan kesan pada orang banyak bahwa Pak Harto itu lemah lembut. Dalam memimpin para pembantu beliau, beliau melengkapinya pula dengan ajaran Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut. wuri handayani. Realisasi ajaran tersebut tercermin dalam sikap Pak Harto terhadap para pembantu beliau. Kami diberi kebebasan yang penuh dalam mengembangkan gagasan-gagasan kami, tetapi kami tetap harus melaporkan segala hal yang kami lakukan. Daya ingatan beliau juga kuat sekali. Pak Harto tak akan lupa mengenai sesuatu hal yang pernah kita perbincangkan, walau­ pun hal tersebut telah terjadi beberapa waktu yang lampau.

Sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintahan beliau sudah pasti menghadapi berbagai macam masalah yang sangat menyita waktu dan perhatian beliau, tetapi hal tersebut tidaklah menyebabkan hilangnya perhatian Pak Harto pada hal-hal yang bersifat diluar tugas beliau. Umpamanya saja, Pak Harto mempunyai perhatian yang sangat besar tidak saja pada keluarga beliau tetapi juga terhadap keluarga para pembantu beliau. Beliau sering menanyakan bagaimana keadaan keluarga kami. Tampaknya sapaan yang seperti itu hanya merupakan hal yang sangat kecil, tetapi bagi kami mempunyai arti yang besar, karena kami merasa diperhatikan Presiden.

Sikap Pak Harto yang demikian tidak hanya ditujukan kepada kami saia tetapi juga terhadap orang yang sama sekali belum beliau kenai, seperti perhatian beliau terhadap seorang penjaga jalan kereta api yang hampir setiap hari beliau lewati dalam perjalanan ke kantor. Perhatian beliau tersebut terwujud dalam pemberian bingkisan kepada para penjaga jalan kereta api pada Hari Raya Idul Fitri. Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, Amal Bakti Muslim Pancasila atau Yayasan Dana Gotong Royong, untuk menyebutkan beberapa contoh, adalah yayasan-yayasan untuk menolong orang­orang kecil yang tidak mampu, seperti orang-orang jompo, yatim piatu, atau menolong para janda terutama bagi mereka yang suaminya gugur di Timor Timur. Ini semua merupakan contoh dari besarnya perhatian Presiden pada masalah-masalah yang bersifat sosial dan kemanusiaan.

Mungkin kita semua berpikir bahwa sebagai seorang Presiden, hidup beliau tentunya sangat senang dan bahagia, tetapi saya mempunyai anggapan yang lain. Menurut saya, Presiden adalah the most lonely man in the country. Mengapa? Karena, beliau itu menghadapi berbagai masalah yang bobotnya luar biasa besar dan berat dan tidak habis-habisnya, dan beban tersebut adalah beban untuk memikirkan orang lain. Lalu, saya berpikir, kapankah beliau memikirkan diri dan keluarga beliau sendiri, dimana keeratan, kehangatan dan kemesraan dapat beliau rasakan dengan penuh. Saya berpikir mungkin setiap malam beliau itu tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena meskipun beliau itu bersikap tegas dan keras dalam arti sangat konsisten dalam segala tindakan beliau, tetapi Pak Harto adalah pribadi yang cepat tersentuh atau, dalam bahasa Jawanya, trenyuh. Mungkin beliau sering “menangis”. Habis bagaimana? Harga minyak turun, panen gagal dimakan wereng, kutu loncat, banjir di mana-mana, dan sebagainya. Musibah kereta api atau musibah-musibah lainnya pasti mendatartgkan kesedihan beliau, karena Pak Harto sangat memikirkan semua kejadian tersebut, beliau memang sangat concern. Padahal sebagai pejabat tertinggi negara, tentunya, beliau dapat berbagi rasa dengan orang lain.

Itulah Pak Harto, yang saya kagumi karena ketegaran dan kelembutan beliau, baik sebagai seorang militer maupun sebagai seorang negarawan. Berbahagialah kita di bawah kepemimpinan beliau yang mampu membawa kita ke dalam masa pembangunan yang berkesinambungan. Apa yang saya kemukakan di atas adalah sesuai dengan apa yang saya alami selama ini. Saya mohon dimaafkan, bila terdapat kata-kata atau hal-hal lain.nya yang kurang berkenan di hati.

***



[1]     Daryatmo, “Bijaksana Dan Berintuisi Tajam”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 794-807.

[2]     Jenderal TNI (Purn.); Ketua MPR/DPR masa bakti 1978-1982

[3]  Ketiga deputy tersebut  sama tinggi tingkatannya

[4] Saya pensiun  sebagai anggota ABRI  pada tahuil  1980

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.