Ajavanese Muslim [1]
Dr. Adhyatma, MPH [2]
Tulisan ini merupakan hasil pengamatan saya, selama kurang lebih tiga tahun menjadi Menteri Kesebatan dalam Kabinet Pembangunan V, mengenai Presiden Soeharto. Saya menyadari bahwa basil pengamatan ini tidak sempurna karena terbatasnya pertemuan dan pengalaman bersama Presiden Soeharto. Selain itu sebelum saya diangkat menjadi Menteri Kesehatan, baru dua kali saya bertemu dengan beliau. Dan itupun dalam kedudukan saya sebagai Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, mendampingi Menteri Kesehatan Dr. Suwardjono Suryimingrat yang mengbadap Presiden Soeharto.
Pertemuan pertama berlangsung di Bina Graha dan pertemuan kedua di Cendana. Pada pertemuan kedua di Cendana, dalam rangka menggalakkan imunisasi, Presiden Soeharto yang didampingi Ibu Tien Soebarto, memberikan imunisasi polio pada salah seorang bayi. Peristiwa itu diabadikan dan kemudian dicetak beribu-ribu poster yang disebarkan ke selurub pelosok tanah air. Keterlibatan Presiden Soeharto secara langsung dalam program imunisasi menunjukkan besarnya perhatian beliau terbadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya kesejahteraan anak. Selain itu peristiwa tersebut menunjukkan pula komitmen yang kuat dari pimpinan negara terhadap program yang mempunyai daya ungkit yang besar dalam meningkatkan taraf kesebatan rakyat.
Peristiwa Presiden Soeharto memberi imunisasi polio itu juga telah diketahui di luar negeri. Mr. James P Grant, Direktur Eksekutif UNICEF, dalam perjalanan kelilingnya ke berbagai negara berkembang untuk menggalakkan program imunisasi global (universal child immunization) selalu membawa poster tersebut didalam tasnya. Setiap kali bertemu dengan kepala negara yang dikunjunginya, beliau menunjukkan poster tersebut disertai himbauan agar kepala negara yang ditemui itu mengikuti apa yang dilakukan Presiden Soeharto dan memberikan komitmen yang kuat bagi program imunisasi.
Pertemuan yang ketiga pada tanggal 17 Maret 1988, malam hari, merupakan peristiwa penting bagi saya. Karena, pada waktu itu Presiden Soeharto menunjuk saya untuk duduk dalam Kabinet Pembangunan V sebagai Menteri Kesehatan. Dalam kesempatan itu, beliau menjelaskan kepada saya mengenai masalah-masalah yang harus beliau tangani setelah beliau terpilih kembali sebagai Presiden Republik Indonesia. Dan, masalah paling utama yang dihadapi adalah membentuk Kabinet Pembangunan V. Beliau juga .menjelaskan masalah-masalah khusus yang terdapat di bidang kesehatan, dan yang terpenting diantaranya ada dua, yaitu: masalah harga obat yang tidak terjangkau oleh masyarakat luas, dan masalah ketenagaan kesehatan khususnya pemerataannya. Pada waktu itu saya masih menjabat sebagai Regional Advisor for Primary Health Care pada UNICEF Regional Office di Bangkok. Oleh karena itu pembicaraan kami lebih banyak dititikberatkan pada pengalaman dan pengetahuan saya mengenai masalah harga obat di berbagai negara Asia.
Dari pembicaraan itu saya mendapat kesimpulan bahwa tugas utama yang harus saya emban, walaupun beliau tidak mengatakannya secara khusus, adalah menurunkan harga obat dan pemerataan pelayanan kesehatan. Hal yang menarik perhatian saya dalam pertemuan tersebut adalah bahwa walaupun waktu yang tersedia sangat terbatas, dan masih ada tamu lain yang menunggu di luar, pembicaraan dengan beliau berlangsung dalam suasana yang santai. Sama sekali tidak terasa suasana yang tegang atau tergesa-gesa. Saya mendapat kesan bahwa Pak Soeharto adalah orang yang tenang, sabar dan pandai mengendalikan emosi, pandai menekan perasaan yang sebenarnya.
Kesan saya yang lain dari pertemuan tersebut adalah bahwa cara berpikir beliau sangat sistematis, tidak rumit, tidak kompleks dan semuanya dikemukakan dalam bahasa yang sederhana dan jelas. Setelah saya dilantik menjadi Menteri Kesehatan pada tanggal 21 Maret 1988, maka usaha saya yang penting adalah memahami dan mengenal secara lebih baik Presiden Soeharto. Yang saya maksud di sini bukanlah jabatannya, akan tetapi cara berpikirnya, sikap perilakunya dan falsafah yang beliau anut dalam kehidupan beliau. Dengan memahami dan mengenal secara lebih mendalam apa dan siapa Soeharto itu, maka tugas saya sebagai pembantu beliau akan jauh lebih mudah untuk dilaksanakan.
Sekarang ini setelah lebih-kurang tiga tahun lamanya saya bertugas sebagai pembantu beliau, dimana dalam jangka waktu itu, saya mencoba mengamati beliau terus menerus untuk dapat mengenal beliau secara lebih baik, maka kesan yang saya peroleh dapat saya kemukakan sebagai berikut.
Kesan saya yang pertama adalah bahwa beliau adalah seorang Muslim yang patuh, namun beliau tidak kehilangan identitasnya sebagai orang Jawa. Identitasnya sebagai orang Jawa tetap hidup dan tampak jelas pada diri beliau. Etika Jawa atau filsafat mengenai bidang moral yang dianut masyarakat Jawa beliau resapi benar. Hal ini dapat dimengerti karena beliau memang dilahirkan dan di didik dalam lingkungan pedesaan Jawa Tengah.
Setelah membaca buku beliau yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, maka ternyata apa yang saya duga sebelumnya adalah benar. Pada waktu beliau masih kanak-kanak di Wonogiri, beliau mendapat pendidikan dalam suasana pedesaan Jawa yang memiliki ciri kultur Jawa yang religius. Beliau sering mengikuti dan mendengarkan ceramah-ceramah dan ajaran agama Islam dari Kyai Daryatmo.
Kebetulan saya sendiri pada waktu revolusi kemerdekaan dahulu pernah mengungsi sampai di Wonogiri, dan pernah menginap selama lebih kurang dua minggu di rumah Kyai Daryatmo. Ketika itu saya masih SMP, dan kebetulan paman saya menjadi murid Kyai Daryatmo. Karena itu sewaktu saya membaca nama Kyai Daryatmo dalam buku Pak Harto, saya langsung teringat bahwa saya tahu dan pernah tinggal di rumahnya. Jadi saya dapat merasakan suasana dimana Pak Harto dididik waktu kecil, yaitu suasana keagamaan Islam yang dipadu dengan filsafat moral Jawa.
Dalam filsafat moral Jawa dikenal berbagai kaidah diantaranya adalah sikap untuk selalu mengutamakan keselarasan, keserasian atau harmoni sehingga tercapai keadaan yang tenang dan tenteram. Sejalan dengan itu orang Jawa di tuntut untuk selalu bersikap tenang, dapat mengendalikan diri, tidak menunjukkan rasa terkejut (kaget). ltulah sebabnya dalam langkah-langkahnya ia tidak suka mengadakan pendadakan atau kejutan-kejutan. Karena, hal tersebut dapat menimbulkan ketidakserasian, kegoncangan dalam masyarakat. Sikap-sikap dan perilaku perilaku tersebut dapat kita temukan semuanya pada diri Pak Harto.
Sebagai salah seorang pembantu beliau, saya harus memperhitungkan sikap perilaku beliau tersebut. Artinya langkah apapun yang akan saya laksanakan di bidang kesehatan hendaknya tidak merupakan pendadakan/kejutan, karena hal tersebut dapat menimbulkan kegoncangan, ketidakserasian dalam masyarakat. Yang penting adalah sekali tujuan sudah ditentukan, saya harus tegas (firm) dan konsisten.
Hal lain yang berkesan bagi saya adalah proses beliau menggantikan kedudukan Bung Karno sebagai Presiden, tidak dirasakan sebagai suatu peristiwa yang penuh dengan kejutan, pendadakan, atau kegoncangan. Saya mulai yakin setelah melihat film Jakarta 1966 yang dipertunjukkan khusus untuk para menteri. Dalam film tersebut jelas sekali kelihatan bahwa beliau mencoba mengatasi peristiwa tersebut tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan. Waktu beliau berdialog dengan Presiden RI pertama, kelihatannya Pak Harto mengalah, namun tetap konsisten dalam sikapnya, sampai akhirnya Surat Perintah 11 Maret itu keluar. Dalam semua rentetan peristiwa ini, beliau selalu berusaha untuk tidak menimbulkan kejutankejutan.
Masalah lahirnya kepemimpinan Pak Harto juga patut mendapat sorotan. Beliau tampil sebagai pemimpin pada waktu keadaan darurat: Pada waktu bangsa dan negara berada dalam keadaan bahaya, beliau tampil tanpa diminta dan segera mengambil langkahlangkah untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari pemberontakan PKI. Masalah ini selalu saya kemukakan dalam ceramah ceramah saya. Contoh lain yang serupa, barangkali, adalah Aquino yang tampil ke depan pada saat bangsa dan negara Filipina dalam keadaan darurat. Kedua-duanya, Pak Harto dan Aquino, tidak dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Pak Harto seorang militer biasa (Panglima Kostrad), dan Aquino adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Hal ini berbeda dengan misalnya Indira Gandhi atau Benazir Bhutto, yang sejak semula telah diarahkan oleh ambisi mereka dan secara berencana telah mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin. Pak Harto tampil ke depan dalam keadaan darurat. Mengapa? Karena, beliau mengutamakan keselamatan bangsa dan negara, dan bukan politik. Dalam keadaan normal Pak Harto tidak tampak menonjol sebagai pemimpin. Beliau memberikan kesempatan kepada para menteri untuk tampil ke depan di bidang masing-masing, dan beliau mendukung dari belakang dengan memberikan pengarahan yang diperlukan. Ini merupakan contoh kepemimpinan ing ngarsa sung tulada dan tut wuri handayani.
Peristiwa unik yang pernah saya alami dalam hubungan saya dengan Presiden Soeharto adalah dalam rangka menghilangkan rasa takut yang berlebihan, di dalam kalangan masyarakat, terhadap penyakit dan penderita kusta. Kita semua mengetahui bahwa penyakit dan penderita kusta, sampai saat ini, masih ditakuti oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan antara lain karena cacat-cacat yang dapat ditimbulkan oleh penyakit kusta. Selain itu, diantara masyarakat ada yang menganggap bahwa penyakit kusta adalah kutukan Tuhan, penyakit yang sangat menular, penyakit keturunan, dan tidak dapat disembuhkan. Untuk menghilangkah anggapan tersebut pemerintah terus menerus memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan masyarakat mengenai penyakit kusta. Lalu terlintas dalam pikiran saya, sekiranya Presiden Soeharto bersedia turun tangan seperti yang beliau lakukan dengan program imunisasi, maka dampaknya terhadap penyakit dan penderita kusta akan besar. Rasa takut yang berlebihan dari masyarakat terhadap penyakit dan penderita kusta pasti akan berubah.
Ternyata beliau bahkan bersedia menerima para penderita penyakit kusta ini di ruang kerjanya. Dan hal ini benar-benar di luar dugaan saya. Setelah beliau mendapat penjelasan seperlunya mengenai penyakit kusta secara langsung dari saya maupun Ny. Hardiyanti Rukmana, Ketua Umum HIPSI, yang juga memberikan perhatian yang besar terhadap masalah kusta, dan setelah para penderita kusta dipersiapkan dengan baik untuk dihadapkan ke Bina Graha, maka akhirnya Presiden Soeharto menerima enam penderita kusta di ruang kerjanya. Peristiwa ini yang kemudian ditayangkan TVRI sungguh merupakan peristiwa yang penting bagi pembangunan kesehatan di Indonesia, khususnya penanggulangan kusta, dan patut dicatat dalam sejarah kesehatan di Indonesia.
Peristiwa lain yang menunjukkan perhatian yang besar dari Presiden Soeharto terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat luas adalah pada waktu timbulnya kejadian luar biasa, yaitu tercemarnya roti biskuit yang diproduksi oleh tiga pabrik roti dengan bahan berbahaya sodium nitrit. Peristiwa ini telah menimbulkan korban yang cukup banyak, terutama di antara konsumen di desadesa. Karena, roti biskuit tersebut tersebar luas sampai di desa-desa dengan harga yang terjangkau oleh masyrakat. Pada waktu saya melaporkan kejadian tersebut kepada Presiden Soeharto, beliau telah memberikan petunjuk-petunjuk yang terperinci mengenai tindakantindakan yang harus dilaksanakan dengan cepat tetapi tidak sampai meresahkan rakyat banyak. Dalam kesibukannya sebagai Presiden, peristiwa tersebut tetap beliau amati dan ikuti terus-menerus perkembangannya dari hari ke hari, sambil memberi petunjuk-petunjuk lewat Menteri Muda/Sekretaris Kabinet kepada saya.
Selama menjadi Menteri, saya menghadap Presiden untuk memberikan informasi secara teratur kira-kira sekali dalam satu atau dua bulan. Hal ini saya lakukan dengan membawa laporan tertulis, dan sekaligus juga melaporkan secara lisan dan meminta petunjuk dari beliau dalam hal-hal yang sulit dan penting. Melaporkan secara berkala ini juga merupakan suatu kesempatan untuk mencocokkan apakah kebijaksanaan yang telah saya ambil di bidang saya sudah sama dengan strategi beliau mengenai permasalahan yang sama. Disamping mencocokkan wawasan, petunjuk-petunjuk maupun pandangan-pandangan yang beliau berikan, terutama mengenai permasalahan yang belum dapat saya putuskan sendiri, adalah penting untuk saya.
Mengenai pelaksanaan tugas menteri di Indonesia, dipandang dari segi kelonggaran atau keleluasaannya, sesungguhnya kita ini beruntung sekali. Karena, pembangunan nasional dilaksanakan mengikuti sistem yang sudah baku. MPR memberikan arah dan tujuan dari pembangunan untuk setiap lima tahun berupa Tap MPR, yaitu GBHN. GBHN ini merupakan amanat MPR yang harus dilaksanakan oleh pemerintah bersama rakyat. GBHN ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Repelita, yang terdiri dari Repelita Nasional dan Repelita Daerah per provinsi. Dalam Repelita Nasional yang seterusnya terbagi menjadi per sektor dapat ditemukan dengan jelas jenis-jenis program dan sasaran-sasaranhya. Yang tidak disebutkan adalah biaya, karena hal ini tergantung dari penerimaan negara.
Jelaslah bahwa seorang pembantu Presiden atau menteri mempunyai tugas yang jelas dan mengetahui apa yang mesti dikerjakan dan dicapai. Apabila dananya tersedia, maka tugas menteri adalah menentukan alokasi dana tersebut dengan memperhatikan prioritas.
Presiden bertanggungjawab untuk mengawasi agar segala sesuatunya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tentu saja beliau berusaha untuk mengadakan koordinasi antar berbagai menteri yang tugasnya berkaitan satu sama lain. Untuk memudahkan koordinasi, maka Presiden mengadakan menko-menko yang membawahi bidang-bidang tertentu. Presiden selalu memberi kelonggaran yang sangat besar kepada para menteri, selama mereka mengikuti GBHN dan Repelita. Sementara hambatan-hambatan yangterjadi dilaporkan dalam rapat koordinasi kompartemen masing-masing atau langsung kepada Presiden.
Hal lain yang menarik mengenai Presiden Soeharto yang perlu saya kemukakan di sini adalah bahwa beliau tetap memberikan perhatian kepada mereka yang telah tergeser dari jabatannya. Contohnya, sebagai menteri saya mempunyai kewenangan untuk mengadakan mutasi-mutasi personalia untuk kepentingan dinas. Khususnya bila hal ini menyangkut eselon I, maka hal tersebut saya kerjakan sesuai dengan petunjuk beliau. Yang amat saya hargai dari Presiden Soeharto adalah bahwa beliau masih menanyakan mengenai pejabat-pejabat yang telah digeser: “Mau dikemanakan mereka?” Ini adalah sangat manusiawi. Saya sependapat bahwa sebagai pemimpin kita tidak saja harus memperhatikan orang selama ia berguna untuk kita dan membantu kita, tetapi juga setelah ia digeser dari jabatannya, karena bagaimanapun juga ia pernah kita pilih untuk membantu kita.
Sebagai penutup dapat saya kemukakan bahwa sebagai pembantu Presiden maka keberadaan beliau dalam kehidupan saya menjadi penting. Falsafah yang beliau anut akan mempengaruhi sikap perilaku beliau, dan selanjutnya mempengaruhi cara-cara beliau memimpin sebagai Presiden. Saya harus memperhatikan hal itu semua dan harapan saya adalah di waktu-waktu mendatang, saya mendapat kesempatan untuk mengamati dan mengenal beliau lebih dekat lagi demi kelancaran tugas yang beliau berikan
***