EDITORIAL: ANCAMAN DARI DALAM
Jakarta, Media Indonesia
Presiden Soeharto di hadapan peserta Penataran Kewaspadaan Nasional bagi Pemuda VIII di Tapos mengingatkan, ancaman paling berbahaya saat ini datang dari dalam negeri sendiri. Karena itu kewaspadaan nasional perlu ditingkatkan. Pendalaman Pancasila dan UUD 1945 sangat perlu, agar tidak muncul orang-orang yang menyalahkannya dan memiliki pikiran serta altematif lain.
Ancaman dari dalam? Nah, di sini orang awam sebaiknya perlu diberi penjelasan secara gamblang. Karena dalam penguraiannya, Pak Harto sebagaimana biasa selalu datar.
Gambaran tentang adanya ancaman dari dalam itu, bisa saja diterima rakyat macam-macam. Bisa ekstrem kiri atau kanan, yang sudah jelas wajahnya, karena memang pernah terjadi di bruni Ibu Pertiwi ini.
Contohnya, pemberontakan PKI di Madiun 1948, G30S/PKI 1965, ada pula pemberontakan DI/TII, Imron dkk serta pemberontakan lainnya.
Semua itu terjadi, karena mereka salah menafsirkan Pancasila atau sengaja ingin melenyapkannya. Tetapi sekarang ini, ancaman demikian sebagaimana pernah diucapkan banyak petinggi militer kita, kemungkinannya sangat tipis. Kalau begitu, kenapa Pak Harto masih mengingatkannya di Tapos dua hari lalu.
Peringatan Kepala Negara itu patut kita renungkan secara mendalam sebab menyangkut kerudupan kita sebagai suatu bangsa. Soalnya yang disebut ancaman dari dalam itu sesuai dengan trend yang ada, bentuknya pun menjadi dasarmuka.
Lihat, Mensesneg mengeluh tentang laporan ABS (asal bapak senang) yang ada di mana-mana. Catat pula reaksi para pakar politik yang menyebut merajalelanya budaya takut. Bahkan tidak sedikit yang mengungkapkan tentang kolusi di banyak sektor, terutama dalam bisnis.
Masih pula kebiasaan lain di kalangan birokrasi yakni menjerumuskan pejabat yang tak berposisi lagi dengan mengemukakan kejelekan dan berbagai kegaga lannya. Ada pula kebiasaan, begitu tidak punya jabatan, lantas berbicara lantang mengecam aparatur atau kebijakan birokrat.
Tindakan-tindakan seperti ini tentulah tidak termasuk tindakan yang bersifat mendidik. Apalagi jika dikaitkan dengan temuan BPKP, di mana dirugikan Rp 105,582 miliar. Artinya penyelewengan masih berjalan lenggang kangkung di era pembangunan yang menuntut rakyat harus mengetatkan ikat pinggang. Lihat pula bagaimana perbandingan kehidupan sosial yang kian mencolok.
Bukankah semua ini merupakan indikasi masih ramainya oknum yang belum memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Artinya tindakan demikian betapa pun dapat dimasukkan dalam kategori bahaya ancaman yang hidup di dalam negeri.
Karena itu adalah menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mengamankan pembangunan sebagai amanat Pancasila dari berbagai bahaya ancaman dasarmuka tersebut. Kadar kebahayaannya justru lebih tebal dibanding ancaman yang datang dari luar.
Di sinilah peranan Pancasila mestinya begitu dominan, karena ia merupakan ideologi terbuka yang keampuhannya telah teruji oleh hempasan gelombang sejarah.
Namun jika Kepala BP7 Oetojo Oesman berani menyatakan jutaan orang yang telah ditatar P4, tetapi Presiden masih harus mengingatkan adanya ancaman dari dalam, yang pada prakteknya terlukis latent, agaknya BP7 perlu mengkaji ulang metode P4 yang selama ini dilaksanakannya.
Sumber : MEDIA INDONESIA (04/02/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 79-80.