TAJUK RENCANA: MEWASPADAI PENETRASI IDEOLOGI ASING
Jakarta, Suara Pembaruan
SUDAH sering ditegaskan, termasuk oleh Kepala Negara sendiri, bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka. Ini berarti, baik dalam upaya mengisi dan memberikan arti terhadap Pancasila, maupun dalam menerapkannya, kita dituntut untuk secara kreatif mengembangkannya lebih Ianjut, sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Pada sebelah lain, kita menyadari, implementasi dari keterbukaan tersebut tentu saja tidak boleh menghasilkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsipprinsip yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Dengan demikian, keterbukaan itu tidak berarti keterbukaan yang tanpa batas atau kendali. Semua pemikiran yang dikembangkan harus tetap mengacu kepada, dan merupakan penjabaran yang bertanggungjawab dari nilai-nilai dan Prinsip-prinsip Pancasila.
HAL ini kita pandang penting untuk selalu kita ingat dan perhatikan, sebab di dalam upaya mensejalankan pemikiran dengan realitas keadaan, orang dapat menjadi terlalu larut di dalam pragmatisme maupun oportunisme, sehingga melupakan dan bahkan sengaja mengabaikan idealisme.
Dalam kaitan ini harapan Menpora Akbar Tanjung yang disampaikannya kepada para peserta Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas) VIII/92 di Gedung Sumber Daya Pemuda, Cibubur, Jakarta, Senin lalu (3/2), menjadi penting. Menurut Menpora, pemuda hendaknya secara kontinyu mewaspadai berbagai bentuk ancaman terhadap Pancasila, lebih-lebih di masa mendatang karena bentuk dan raganmya makin banyak.
Sebagai contoh, Akbar Tanjung menyebut ideologi kapitalisme dan komunisme, yang keduanya sebenarnya mempunyai akar pemikiran filsafati yang sama, yaitu materialisme. Keduanya pada hakikatnya juga menekankan titik tolak dan pendekatan yang serupa, yaitu kehidupan ekonomi dengan dukungan sistern politik dan militer. Sedangkan bentuk-bentuk konkretisasinya dalam praktik memang berbeda-beda dan tidak selalu kentara kaitannya dengan dasar ideologi aslinya. Itulah sebabnya, kata Menpora, generasi muda perlu terus mewaspadai bentuk-bentuk jelmaan dari kedua ideologi tersebut yang telah beradaptasi dengan perkembangan zaman.
SELAIN kedua ideologi kapitalisme dan komunisme yang telah disebutkan oleh Menpora itu, kita menyadari, masih banyak lagi ideologi maupun pemikiran berdasarkan pandangan filsafati sekuler ataupun religius lainya yang perlu juga diwaspadai. Semua itu terjadi, karena mereka salah menafsirkan Pancasila atau sengaja ingin melenyapkannya.
Tetapi sekarang ini, ancaman demikian sebagaimana pemah diucapkan banyak petinggi militer kita, kemungkinannya sangat tipis. Kalau begitu, kenapa Pak Harto masih mengingatkannya di Tapas dua hari lalu. Peringatan Kepala Negara itu patut kita renungkan secara mendalam sebab menyangkut kehidupan kita sebagai suatu bangsa.
Soalnya yang disebut ancaman dari dalam itu sesuai dengan trend yang ada, bentuknya ptm menjadi dasamuka. Lihat, Mensesneg mengeluh tentang laporan ABS (asal bapak senang) yang ada di mana-mana. Catat pula reaksi para pakar politik yang menyebut merajal elanya budaya takut. Bahkan tidak sedikit yang mengungkapkan tentang kolusi di banyak sektor, terutama dalam bisnis.
Masih pula kebiasaan lain di kalangan birokrasi yakni menjerumuskan pejabat yang tak berposisi lagi dengan mengemukakan kejelekan dan berbagai kegagalannya. Ada pula kebiasaan, begitu tidak punya jabatan, lantas berbicara lantang mengecam aparatur atau kebijakan birokrat.
Tindakan-tindakan seperti ini tentulah tidak termasuk tindakan yang bersifat mendidik. Apalagi jika dikaitkan dengan temuan BPKP, di mana dirugikan Rp 105,582 miliar. Artinya penyelewengan masih berjalan lenggang kangkung di era pembangunan yang menuntut rakyat harus mengetatkan ikat pinggang.
Lihat pula bagaimana perbandingan kehidupan sosial yang kian mencolok. Bukankah semua ini merupakan indikasi masih ramainya oknum yang belum memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD1945. Artinya tindakan demikian betapa pun dapat dimasukkan dalam kategori bahaya ancaman yang hidup di dalam negeri.
Karena itu adalah menjadi tanggungjawab semua pihak untuk mengamankan pembangunan sebagai amanat Pancasila dari berbagai bahaya ancaman dasamuka tersebut. Kadar kebahayaannya justru lebih tebal dibanding ancaman yang datang dari luar.
Di sinilah peranan Pancasila mestinya begitu dominan, karena ia merupakan ideologi terbuka yang keampuhannya telah teruji oleh hempasan gelombang sejarah.
Namun jika Kepala BP7 Oetojo Oesman berani menyatakan jutaan orang yang telah clitatar P4, tetapi Presiden masih harus mengingatkan adanya ancaman dari dalam, yang pada prakteknya terlukis latent, agaknya BP7 perlu mengkaji ulang metode P4 yang selama ini dilaksanakannya.
Sumber : MEDIA INDONESIA (04/02/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 82-83.