PERLUNYA PENAFSIRAN IDEOLOGI
Jakarta, Pelita
Ketika menerima para peserta Penataran Kewaspadaan Nasional bagi Pemuda VIII di petemakan Tapos, Bogor, Ahad lalu, Presiden Soeharto mengingatkan bahwa ancaman dari luar kini mereka, dan yang justru paling berbahaya adalah ancaman dari dalam negeri, dan ini memerlukan kewaspadaan nasional.
Meredanya ancaman dari luar merupakan konsekuensi logis dari berakhimya perang dingin antara Timur dan Barat. Perang dingin selama ini telah menimbulkan polarisasi dunia dari segi ideologi. Tetapi dengan ambruknya Uni Soviet sebagai pemimpin dari Blok Timur, ketegangan dengan pihak Barat, dan sekaligus polarisasi ideologis dunia, dengan sendirinya berakhir.
Yang menarik ialah bahwa polarisasi ideologis Timur-Barat itu berakhir pada saat bangsa kita sudah selesai memantapkan dirinya dari segi ideologi ini. Dengan diterima dan ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berrnasyarakat, berbangsa dan bernegara boleh dikatakan kita telah tidak lagi menghadapi masalah ideologi. Setidaknya kita tidak lagi mengalami pertentangan sebagai bangsa akibat polarisasi ideologis, seperti yang pernah terjadi di masa Orde Lama.
Namun, selesainya persoalan ideologis tidak berarti tidak akan muncul ancaman dari dalam negeri sebagaimana yang diingatkan oleh Kepala Negara, justru paling berbahaya sekarang ini.
Tampaknya memang sumber konflik sosial dan ancaman dari dalam negeri sudah bergeser, dari bentuknya yang bersifat ideologis kepada ancaman yang disebabkan oleh masalah-masalah riil dan empiris yang dihadapi oleh bangsa kita. Misalnya saja kesenjangan sosial.
Pembangunan nasional, tak dapat dipungkiri, telah banyak membawa kemajuan bagi bangsa ini. Tetapi sebagai efek samping, dalam proses pembangunan masih ada orang-orang atau kelompok sosial tertentu yang belum memperoleh hasil pembangunan yang memadai. Rakyat kita masih ada yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan tak mungkin diberantas menjadi betul-betul 0%, tetapi upaya untuk menguranginya tentu saja merupakan tuntutan dalam proses pembangunan. Kemiskinan tidak saja dapat merendahkan martabat bangsa ini, tetapi juga, yang lebih, mengkhawatirkan, bisa menjadi sumber konflik sosial yang dapat mengancam stabilitas nasional.
Yang perlu diwaspadai ialah bahwa kesenjangan sosial cenderung menimbulkan polarisasi baru. Di masa lalu bangsa kita mengalami polarisasi ideologis dan bersifat horizontal, dan karena itu timbul konflik ideologis yang menghambat kemajuan bangsa. Kini timbul polarisasi sosial yang bersifat vertikal, yakni pelapisan sosial yang cukup tajam, dan ini tentu juga potensial melahirkan konflik.
Selain itu, berkat pendidikan, masyarakat kita makin terpelajar, sehingga mereka makin mengerti hak-hak di samping kewajiban. Peningkatan kesadaran mereka tentang hak-hak sebagai warga negaraju ga dimungkinkan oleh makin luasnya informasi melalui berbagai saluran, baik media cetak maupun elektronik, dari dalam dan luar negeri.
Kesadaran warga negara tentang hak-haknya itu mendorong mereka menuntut hal-hal yang seharusnya mereka terima. Dengan kata lain, tuntutan akan keadilan dan demokrasi tampaknya akan meningkat di masa datang.
Meningkatnya pemogokan buruh akhir-akhir ini, yang disebabkan oleh tumbuhnya perasaan pada mereka sebagai telah diperlakukan secara tidak adil, merupakan bukti konkret dari tuntutan mengenai perlunya ditegakkan keadilan itu paling tidak dalam bentuk pemberian upah di atas batas minimum dan ketetapanĀ ketetapan lain yang telah disepakati bersama.
Begitu pula seringnya datang kelompok-kelompok masyarakat untuk mengadukan ke DPR masalah-masalah yang mereka hadapi, dan yang terpenting adalah masalah tanah, bisa menunjukkan berkembangnya kesadaran tentang penerapan prinsip keadilan yang oleh mereka dirasakan masih kurang mereka peroleh.
Menghadapi semua itu, sangat tepat penegasan Kepala Negara bahwa bangsa Indonesia harus bisa mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini tidak hanya menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, tetapi juga mengamalkan nilaiĀnilai yang terkandung dalam kelima silanya-terutama, dalam konteks ini, tentunya, demokrasi dan keadilan sosial.
Untuk mengamalkan Pancasila diperlukan penjabaran dan penafsiran untuk mengaktuali sasikan nilai-nilainya secara empiris. Persepsi masyarakat tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sering berubah sejalan, dengan dinamika dan kemajuan masyarakat itu.
Biasanya masyarakat mendukung suatu ideologi, apalagi bila ideologi itu masih bisa dirasakan relevan dan menjawab kebutuhan mereka. Bubarnya Uni Soviet disebabkan oleh, yang terpenting, kenyataan bahwa ideologi komunis yang mereka anut selama ini tidak mampu lagi menjawab kebutuhan masyarakat yang telah berubah.
Itulah sebabnya nilai-nilai Pancasila senantiasa memerlukan jalan-jalan aplikasi dan penafsiran terus-menerus, agar ideologi bersama ini akan selalu bisa dipahami dan diamalkan dalam masyarakat kita yang berubah cepat ini. Khususnya dalam hal ini perlunya penafsiran dan pelaksanaan nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial, untuk menghindari munculnya ancaman dari dalam negeri.
Sumber : PELITA (05/02/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 83-85.