Editorial: PROYEKSI 1992
Jakarta, Media Indonesia
Pintu 1991 sudah tertutup. Ia tidak akan kembali sampai kapan pun. Bangsa dan negara Indonesia telah melewatinya dengan selamat, meskipun berbagai persoalan menghadang.
Kaki kita kini telah menapak di pangkal 1992, di mana era globalisasi tengah merambah dunia. Artinya persoalan demi persoalan tak kalah lincah dengan pemilik tahun ini monyet.
Presiden Soeharto karenanya merasa perlu memperingatkan rakyat. “Rasa persatuan dan kesatuan tidak bisa kita anggap sebagai barang jadi.”
Peringatan Presiden tentu ada kaitannya dengan beberapa negara yang tak dapat melewati tahun 1991 dengan langgeng, tetapi harus dengan peluru dan darah seperti di Yugoslavia, Georgia, Irak, Kamboja, dan lain-lain. Atau dengan berbagai perpecahan seperti yang terjadi di Uni Soviet, yang akhimya bubar, dan negara-negara Eropa Timur yang dipaksa menggugurkan idealismenya.
Semua itu terjadi, terutama sekali karena semunya persatuan dan kesatuan di negara-negara tersebut. Selain diberati berbagai beban perekonomian yang sangat timpang dirasakan rakyat.
Indonesia berusaha menghindari hal tersebut, meskipun tidak menutup pintu bagi datangnya arus perubahan. “Perubahan-perubahan yang kita inginkan akan kita lakukan dengan sikap tanggungjawab, kehati-hatian dan kewaspadaan. Perubahan itu tidak boleh membuka celah-celah rawan, sehingga membahayakan kesatuan dan persatuan,” begitu kata Presiden dalam pidato akhir tahun 1991 Selasa malam.
Semua ini jelas terkait dengan pelaksanaan program pembangunan yang tidak mungkin bisa dihempas oleh kekuatan apa pun. Apalagi dalam tahun 1992 ini, ada dua perhelatan besar yang dihadapi bangsa Indonesia, Pemilu dan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok.
Menghadapi pesta demokrasi, Pak Harto telah wanti-wanti, cegah fanatisme golongan dalam bentuk apa pun. Sungguh ini wanti-wanti yang sangat beralasan, karena sudah banyak contoh di belahan jagat ini, betapa demokrasi itu justru dijadikan tangga untuk kepentingan pribadi atau golongan, bukan untuk kepentingan rakyat.
Sekian banyak mengestimasikan suhu politik meningkat ditahun monyet ini, namun karena pemilu dimaksudkan untuk menyegarkan wawasan, gagasan, rencana, dan kebijakan baru untuk lima tahun mendatang, jelas pencegahan lahirnya fanatisme golongan adalah obat demi masa depan generasi bangsa.
Presiden juga menggaris bawahi masalah ketahanan ekonomi, yang masih tegar pada 1991, meskipun dibebani banyak masalah. Keberhasilan Indonesia menekan tingkat inflasi, meskipun dengan pengorbanan yang cukup berat dirasakan dunia usaha, dan terhambatnya beberapa megaproyek, merupakan konsekuensi yang sulit dihindari. Presiden pun menyadari hal itu, sehingga meminta kesediaan semua pihak untuk memikulnya agar ketahanan ekonomi tetap terpelihara.
Proyeksi 1992 sudah jelas. Ledakan informasi plus rivalitas berbagai kelompok ekonomi adalah tantangan. Memasuki era tantangan, perlu kesiapan lahir dan batin. Kebijakan baru adalah mutlak, penggalakan penarikan pajak wajib hukurnnya, penipisan subsidi pun tak terhindarkan, artinya BBM naik bukan mustahil. Memupuk rasa persatuan seperti yang dicanangkan Presiden adalah senjata ampuh kita.
Sumber : MEDIA INDONESIA (02/01/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 13-14.