EINSTEIN “FOR PRESIDENT”
Berdasar sales promotion dari unsur-unsur Yahudi dalam persuratkabaran AS, sang Einstein diangkat menjadi seorang jenius suatu mitos. Hal ini tidak sulit terjadi, karena hanya sedikit orang membaca tulisannya, dan bagi semua orang awam, omongan tentang dimensi ke empat tidak masuk akal.
Akibat dari mistifikasi itu ialah usul sejumlah warga negara Israel, supaya sang profesor dipilih menjadi presiden dari negara Yahudi yang masih muda itu.
Banyak orang berpendapat, yang bisa menyelesaikan soal matematik yang rumit, juga bisa mengurus kepentingan negara. Hal itu disebut efek halo, kepala orang suci bersinar dan seluruh badannya menjadi halus dan indah.
Eisenhower, pandai sebagai jenderal, dipilih menjadi presiden, karena yang bisa berhasil waktu D-Day, juga pasti berhasil padahari-hari lain dalam usaha negara. Pendapat ini salah, dan riwayat Eisenhower membuktikan hal itu, he didn’t do anything and he didn’t do it splendidly.
Ny. Corazon Aquino mau diangkat menjadi presiden, hanya karena suaminya dibunuh oleh tentara. Kalau seseorang diangkat raja, sultan, presiden atau khalifah, atas dasar manakah seseorang harus dipilih? Hanya orang yang mengerti segala bidang dan yang bisa menyelesaikan semua persoalan, pantas diangkat ke atas tahta yang mulia. Nyatanya orang semacam itu tidak ada.
Mungkin dijawab, kalau dia pandai memilih pembantu-pembantu (Jenderal dan Menteri), dia sendiri tidak perlu mengetahui apa-apa, karena the King reigns, the civil service governs. Tapi jelas, bahwa Hatta pasti sanggup memilih menteri yang baik dan jelas pula yang ditunjuk dewa-dewi menjadi presiden ialah Soekarno, bukan Hatta.
Kalau begitu, bagaimana kualifikasi orang yang boleh duduk di belakang meja tulis dengan papan : the buck stops here..? Pertanyaan hanya bisa dijawab, kalau kasus diperiksa satu per satu, mengapa Golda Meir dipilih, mengapa Rajiv Gandhi atau Nixon.
Mengatakan, bahwa Ronald Reagan dipilih, karena dia cocok dengan syarat-syarat showmanship yang diperlukan media massa (terutama TV), mungkin jawaban terlalu sederhana. Frank Sinatra adalah aktor yang lebih baik. Reagan memenuhi suatu bayangan dari the real all round American (sang bapak yang baik untuk semua musim).
Meskipun dalam pilihan pembantu (Haig, Me Farlaine), dia meloncat dari celaka menuju celaka, dia rupanya mempunyai suatu naluri jenial, mengurangi pajak dan membiarkan defisit naik mencapai ketinggian astronomis dan membiarkan ahli-ahli ekonomi berteriak sampai mulut mereka berbusa dan berhasil. Pengangguran turun, dollar tambah kuat, dan setiap Yankee sewaktu Thansk givings Day bisa membeli seekor kalkun.
Begitulah ceriteranya, hanya ada soal, apakah dongeng itu benar? John Kennedy dipilih, kata public relations officer, karena dia mewakili generasi muda AS.
Slogan dari the new frontier memberi harapan bagi penonton TV yang putus asa, tapi ada orang lain yang mengatakan, dia dipilih karena ayahnya membeli suara-suara di Virginia.
Rajiv Gandhi naik tahta atas punggung ibunya, dan Jimmy Carter dipilih karena dia suka membaca Bible, dan orang AS sudah mual mendengar cerita kebusukan Nixon yang bisa maki-maki serupa penjual ikan basah. Tapi Carter dianggap presiden yang tidak mencapai apa-apa, sedang Nixon mendapat nama kekal dalam buku sejarah dunia, karena dia membawa Cina ke dalam arena bangsa-bangsa.
Sumbangan untuk penyelesaian soal yang rumit itu, dicari dalam teori tentang kepemimpinan : follow the leader, siapakah berhasil mendapat kepercayaan dari para pengikutnya. Yang menjadi pemimpin ialah orang yang memenuhi kebutuhan. Kalau negara kacau, yang menjadi pemimpin ialah orang yang bisa mewakili semua golongan.
Kalau ada ancaman perang, orang yang berani dan memberi semangat diberikan tempat di muka, biarlah sebagai diproses atau diktator. Kalau orang mencari suatu lambang (seperti sesudah watergate), orang yang memenuhi syarat lambang bisa berhasil. Omongan ini bisa ditambah dengan cerita mengenai kharisma, tradisi dan keahlian.
Yang mungkin juga bisa direnungkan ialah sumbangan dari sudut sejarah. Fernand Braudel yang meninggal tahun 1984 pada umur 83 tahun bertanya, apakah persoalan tentang raja, sultan atau khalifah tidak terlalu dibesar besarkan?
Dalam buku “The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II” dan dalam tiga jilid dari “Civilization and Capitalism”, dia terutama meneliti iklim, geografi dan perkembangan sosiokultural. Pembesar-pembesar dan kejadian politik dianggap disturbances crests of foam that the tides of history carry on their strong backs, busa atas ombak laut sejarah.
Abad ke dua puluh ialah abad dari Ford (tukang patri yang bikin mobil), Fenni (guru fisika yang bikin bom atom) dan bukan zaman dari Andropov, Paus Yohannes atau The Bey of Tunis. Tidak terjadi setiap hari, seorang raja atau presiden mengambil keputusan yang mengubah aliran sejarah dunia.
Kalau Hap Seng, Didi Marhaen dan Jan Modaal tidak setiap hari memerah sapi, menanam padi atau tidur bersama istrinya, riwayat baik dari Reagan maupun Gorbachev lekas selesai.
Archimedes yang berteriak Eureka, dan Luther yang bilang non possumus (di sini saya berdiri, bagi saya tidak ada jalanlain), mengubah pemutaran dunia, tapi hal itu tidak terjadi setiap hari.
Yang mengerikan ialah kenyataan, bahwa syarat-syarat kepresidenan tidak diketahui, padahal dia di Washington tetap duduk di belakang meja dengan tombol landasan seribu megaton.
Kalau nasib dunia diletakkan dalam tangan bekas bintang film koboi, siapa tidak menggigil dan mau lari ke bawah meja sang ibu di rumah?
Domine salvumjac regem, kata umat, terangilah, oh Tuhan, akal dari sang raja, tapi filsuf yang sinis berbisik : dum delirant reges populus in dolore, raja tertawa rakyat menangis. ltulah sejarah manusia, the stuff of which Gods dreams are made. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (21/01/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 707-711.