EMHA : FIGUR SOEHARTO TETAP DIPERLUKAN

EMHA : FIGUR SOEHARTO TETAP DIPERLUKAN[1]

 

Jakarta, Media Indonesia

Budayawan Emha Ainun Nadjib menilai figur Presiden Soeharto sebagai pemimpin nasional tetap diperlukan.

“Namun beliau akan menghadapi enam tugas kenegaraan yang sangat berat.” katanya kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Menurut Emha keenam tugas utuma itu adalah : Pertama, memulai memimpin bangsa ini, berjalan memproses tegaknya demokrasi yang murni, tegak al-haq dan al-hub kebenaran dan cinta kasih kepada seluruh rakyat.

Kedua, mengajak semua pihak untuk sedia mengorbankan kepentingan­kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok demi terwujudnya ketenteraman dan kesejahteraan seluruh bangsa. Ketiga, mengkondisikan agar seluruh warga negara melakukan perenungan nasional terhadap segala kekurangan yang selama ini terjadi.

Sedangkan tugas keempat adalah melakukan penggalangan proses defragm entarisasi guna membuktikan kesungguhan kolektif bangsa ini atas kesadaran kebangsaan. Kelima, menghindari bumerang-bumerang sejarah yang tercipta oleh kesalahan-kesalahan sendiri dengan cara meminimalisir kecenderungan fragm entarisasi politik, penggumpalan ekonomi, tradisi makar hukum serta pendangkalan kebudayaan. Menurut Emha Ainun Nadjib, tugas kenegaraan keenam adalah merintis pembayaran utang-utang moral sejarah dan meminimalisir berbagai kesalahan yang selama ini terjadi.

Menurut dia, mengingat tugas-tugas kenegaraan yang berat itu maka dibutuhkan seorang negarawan.

“Hanya ada satu figur yang berada pada titik koordinat yang memungkinkan mereka untuk mengaktualisasikan dan mendarmabaktikan kualitasnya, yakni Haji Muhammad Soeharto.” katanya.

Emha Ainun Nadjib melanjutkan,

“Sekarang ini seluruh peta permasalahan politik, perekonomian, hukum dan kebudayaan bermuara dan sangat memiliki ketergantungan pada peran Pak Harto. Pola mekanisme kekuasaan dan watak-watak kebudayaan benegara dan bermasyarakat yang selama ini dikembangkan, membuat seluruh garis, sendi, denyut dan mengalirnya seluruh sulthon di negeri ini berada di tangan beliau.” katanya.

Selain itu, lanjut budayawan yang sering terkena ‘cekal’ itu, seluruh persoalan yang berkaitan dengan fragmentasi politik, irasionalitas ekonomi, ironi-ironi hukum serta suasana ketakutan global.

“Ibarat ada borgol yang melingkari nasib bangsa ini, maka beliaulah (Pak Harto) yang memegang kunci borgol itu. Hitam putih nasib bangsa kita, satu dekade ke depan ini, berada di tangan beliau.” katanya.

Emha Ainun Nadjib juga mengingatkan bahwa sekarang ini tengah terjadi proses pembusukan besar-besaran, pemecah-belahan, dan ketakutan pada semua lini masyarakat sedang terjadi di Indonesia, dengan didukung oleh tidak adanya kekuatan moral dan kultural yang dapat mengantisipasinya.

“Institusi yang kultural dan moral seperti cendekiawan, ilmuwan ataupun kaum ulama tidak dapat mengambil tindakan yang sebenarnya menjadi kewajiban mereka dalam mengantisipasi keadaan yang saat ini terjadi.” jelasnya.

 

Mudah Meletup

Sementara itu Mendagri Moh. Yogie SM menilai sekecil apapun kegiatan dalam bidang politik di negeri ini mudah sekali meletup menjadi peristiwa besaryang berskup nasional.

“Kita harus selalu waspada.” katanya di Bandung, kemarin.

Dalam pidatonya di depan peserta Suspimpemdagri (Kursus Pimpinan Pemerintahan Dalam Negeri) ini, Yogie tidak memberikan penjelasan yang detail. Dia justru mengingatkan memasuki tahap keempat dari 12 tahap pelaksanaan Pemilu 1997 akan ditemui sejumlah manuver politik.

“Kendati sepanjang sejarah orde baru telah melaksanakan Pemilu sebanyak lima kali, namun tidak boleh ada yang menganggap mudah setiap tahap pelaksanaan.” katanya.

Yogie mengakui kualitas pelaksanaan pemilu sangat tergantung dari kemampuan pimpinan dalam mengorganisir anak buahnya.

“Sejak dulu pimpinan yang baik ditandai dengan kemampuan memimpin diri sendiri serta membimbing menyelenggarakan kepentingan seluruh masyarakat.”

(NR/Edi)

Sumber : MEDIA INDONESIA (29/06/1996)

____________________________________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 77-79.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.