Guru, Bapak dan Pemimpin Negara
H Gatot Suherman
(Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat, 1978-1988)
Pada awalnya Presiden RI, Bapak Soeharto, adalah seorang pribadi dan pemimpin bangsa yang sangat jauh dari jangkauan pemikiran saya. Bahkan saya memandang beliau sebagai sesuatu yang teramat jauh, terhormat dan amat mustahil untuk dapat mengenal beliau secara dekat apalagi berjabat tangan. Pada waktu itu, sekitar tahun 1967, saya berada di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjabat sebagai Danrem Wira Bhakti berpangkat kolonel, dibawah Panglima Kodam XVI/Udayana yang berkedudukan di Denpasar. Saya menjabat Danrem selama delapan tahun; ini merupakan sesuatu yang agak luar biasa karena seharusnya, menurut kebiasaan dalam dinas militer, suatu jabatan adalah kurang-lebih tiga tahun. Namun seluruh tugas yang menjadi beban tanggung-jawab selaku Danrem saya laksanakan dengan sungguhsungguh, senang hati serta tawakal.
Pada tahun 1975 saya diangkat menjadi Kasdam XVI/Udayana untuk masa tiga tahun; jabatan tersebut praktis saya laksanakan dari tahun 1975 sampai dengan 1978. Dengan menjabat sebagai Kasdam di akhir karir militer saya, rupanya di sinilah awal menuju sesuatu yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya, karena selaku prajurit Saptamarga, saya dikaryakan dan diberi kepercayaan untuk menjadi pimpinan daerah NTB, yang sebelumnya memang sudah saya kenai dan perasaan saya sendiri sudah menyatu bersama masyarakat serta alamnya.
Pada tahun 1978 saya diangkat menjadi Gubernur NTB oleh Bapak Presiden, dan dilantik oleh Bapak Menteri Dalam Negeri atas pilihan rakyat NTB. Dalam hubungan ini saya nyatakan bahwa sebelumnya saya tidak mempunyai relasi, teman, atau kenalan bahkan agul-agulnya, yang dapat mendekatkan saya dengan pimpinan-pimpinan pusat di Jakarta. Waktu itu Bapak Amirmachmud sebagai Menteri Dalam Negeri mengenal saya sebagai salah seorang anggota Muspida Tingkat I NTB. Hanya beliaulah yang saya kenai danmungkin beliau kala itu tahu sejauh mana prestasi yang sudah saya capai di NTB. Dan juga saya mendapat restu dari Bapak M Jusuf, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Hankam/Pangab. Saya meyakini bahwa kesemuanya itu merupakan hikmah yang kita peroleh apabila menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh, senang hati dan tawakal. Pada waktu menjabat Gubernur selama dua kali masa bakti, yakni dari tahun 1978 sampai 1988, inilah awal perkenalkan saya dengan Bapak Presiden dan Ibu Tien Soeharto.
Selama saya menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah NTB itu, saya mempunyai kesan bahwa Pak Harto sebagai Kepala Negara sangat jitu dalam memilih maupun menempatkan para pembantu beliau. Bagi saya selaku Gubernur/Kepala Daerah untuk menyampaikan aspirasi saya dalam memimpin daerah, adalah mudah atau saya merasa pas dalam meminta pendapat, saran melalui pembantu-pembantu beliau, yang nantinya akan sampai kepada Bapak Presiden.
Didalam kepemimpinannya, Presiden Soeharto sangat mumpuni dan sangat tepat memprioritaskan aspek mana yang menjadi penekanan dalam tiap-tiap Pelita. Hal ini memudahkan saya untuk melaksanakan penekanan yang menjadi program pembangunan, khususrtya di NTB. Didalam merencanakan program pembangunan nasional, Bapak Presiden tidak pernah lupa dan selalu mengingat serta sangat memperhatikan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak. Contoh: program kebutuhan dasar rakyat yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
Bimbingan Bapak Presiden sangat saya rasakan ketika program tersebut saya laksanakan di daerah. Wujudnya secara jelas adalah apa yang disebut stabilitas nasional yang dinamis, yaitu didalam masyarakat diharapkan rakyat tetap tenang, tidak resah namun selalu ada dinamika, ada kemajuan dan nampak hasil-hasilnya. Sebagai contoh nyata dapat saya ungkapkan pengalaman saya. Di daerah NTB, kebutuhan pangan merupakan permasalahan yang paling sulit, padahal pangan adalah kebutuhan yang mendasar untuk daerah ini sejak zaman penjajahan dahulu. Sejak zaman Belanda, ada beberapa wilayah di NTB yang selalu menderita kelaparan, kekeringan, kemiskinan dan keterbelakangan. Hal ini saya rasakan pada masa saya memimpin daerah ini dan tercermin didalam sikap mental rakyat sehari-hari terutama didalam menghadapi tantangantantangan yang ada. Dengan demikian bagi saya pribadi program yang beliau tekankan sangat berkesinambungan dan tidak lari jauh dari kenyataan yang ada pacta masyarakat kita, mudah, tepat dan proporsional.
Inilah yang saya lihat dan laporkan kepada beliau sebagai kepala negara. Selama dua periode memimpin NTB, saya mendapat dan menghadapi banyak hal, baik yang menarik maupun mencemaskan. Tapi seandainya saya ditanya bagaimana kesan saya terhadap beliau pribadi dalam beberapa kali perjumpaan, maka dengan tegas saya katakan bahwa Pak Harto adalah seorang pribadi yang saya kagumi, saya segani dan bahkan saya sebagai orang Yogyakarta merasakan bahwa beliau pantas di pepundi (bahasa Indonesia diagungkan).
Jadi dapat dikatakan bahwa terkadang beliau saya kesankan jauh, tetapi pada suatu waktu beliau adalah dekat dan lagi seperti seorang ayah serta guru saya. Saya ingat ketika saya mengalami kelelahan sehingga saya jatuh sakit yang rupanya serius dan terpaksa dirawat di ICU Rumah Sakit Mataram. Padahal ketika itu saya tahu persis bahwa Sidang Umum MPR tahun 1988 akan dilangsungkan seminggu kemudian. Dapat dibayangkan betapa gundah dan kacaunya hati saya. Kepada Allah saya memohon agar saya segera sehat dan dapat menghadiri sidang MPR tersebut.
Dalam keadaan pasrah, sewaktu berada di Jakarta isteri saya mendapat telepon dari Bapak Soepardjo Roestam, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Beliau bertanya:
“Bu, saya dengar Pak Herman sakit dan sedang dirawat di ICU Rumah Sakit Mataram”. Isteri saya menjawab: “Benar Pak Pardjo, kami jadi bingung juga ini”.
Saat itu Pak Pardjo menyampaikan kepada Bapak Presiden bahwa saya sakit di Mataram dan tidak mungkin ikut. Sidang Umum MPR tahun 1988. Tidak dinyana dan diduga harapan saya terkabul untuk dapat segera membagi rasa, mengadu kepada beliau. Kemudian dokter dari Jakarta datang ke Mataram atas perintah Pak Pardjo, bersamaan dengan surat ucapan semoga lekas sembuh dari Pak Harto. Syukur alhamdulillah rupanya simpati dan perhatian Pak Harto menjadi obat untuk kesembuhan saya. Niat saya timbul kembali untuk harus segera sehat, sehingga memungkinkan saya menyelesaikan program saya di daerah yang saya cintai dengan setulus hati.
Disamping kesan saya sewaktu sakit itu, saya juga mempunyai atau mendapat sesuatu yang merasuk dalam jiwa saya, yaitu pepatah-petitih Jawa yang beliau katakan ketika kami bercakap cakap panjang-lebar didalam kendaraan pada suatu kunjungan beliau di NTB. Pada waktu itu beliau mengucapkan kata-kata yang amat luas maknanya yaitu:
“Pak Herman, memperhatikan orang itu amat sulit”.
Betapa dalam dan luas maknanya terutama dalam kenyataan sehari-hari. Dengan diangkatnya saya sebagai Kepala Daerah berarti saya diangkat sebagai pembantu beliau dan sekaligus sebagai penguasa tunggal di daerah. Suatu hal yang mendalam dan menjadi peristiwa yang amat lekat dalam ingatan saya adalah pada awal tugas itu dilaksanakan. Ketika itu saya belum sempat mengkonsolidasikan staf di jajaran pemerintah daerah NTB dan belum sempat tertatap muka, berkomunikasi dengan masyarakat NTB. Dan pada waktu itu pula NTB termasuk daerah rawan pangan nasional yang teramat memprihatinkan, yaitu dengan kurangnya pangan di beberapa daerahnya.
Sekitar tahun 1978 suatu peristiwa besar yang amat mencemaskan datang di bumi NTB yaitu gempa bumi yang menghancurkan wilayah bagian barat pulau Lombok. Di sinilah awal saya mulai memandang beliau sebagai sosok pribadi yang benar-benar sebagai kepala negara. Apa yang beliau lakukan? Ketika itu Sesdalopbang, Bapak Solichin GP, datang meninjau guna melihat akibat gempa bumi tersebut. Pak Solichin mungkin merasa tertarik melihat sikap dan cara kerja saya ketika itu. Karena melihat bagaimana penanggulangan yang saya lakukan, beliau merasa perlu untuk melaporkan masalah gempa bumi ini kepada Bapak Presiden.
Pak Harto dengan spontan memberikan bantuan untuk membangun kembali daerah dalam lokasi gempa bumi ini. Bantuan yang beliau berikan berupa semen, beras, dan uang ala kadarnya sebagai perangsang. Ketika itu terdapat lebih-kurang 70 buah masjid, 50 buah SD, puluhan kantor desa, pasar, dan ribuan rumah penduduk di daerah ini hancur. Setelan gempa bumi tersebut, kami mulai lagi membangun sekolah-sekolah, kantor-kantor, pasar, rumah penduduk dan masjid/mushalla yang memakan waktu kurang lebih enam bulan. Pada waktu itulah Pak Harto berkunjung ke NTB, yaitu untuk meresmikan pembangunan kembali sarana dan prasarana yang hancur akibat gempa bumi tersebut. Dan itu pula kunjungan beliau pertama kali ke provinsi ini.
Saya dan juga seluruh rakyat NTB merasa amat bangga. dan berbesar hati dengan perhatian yang beliau berikan terhadap musibah yang menimpa sebagian Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Masyarakat NTB, khususnya yang ada di daerah lokasi gempa bumi, secara otomatis bangkit pula semangatnya. Rakyat NTB begitu bangga bahwa NTB, yang sudah hampir lebih kurang 20 tahun belum sempat dikunjungi beliau, mulai diperhatikan dan dibicarakan di banyak media massa ibu kota.
Kesan saya yang kedua sebagai Kepala Daerah NTB adalah bahwa provinsi ini merupakan daerah yang selalu dilanda kelaparan di dua pertiga daerahnya. Disamping kelaparan, kematian akibat HO juga selalu melanda daerah Lombok Tengah bagian selatan, sebagian Kabupaten Sumbawa, Dompu dan Bima. Hal ini menjadi perhatian saya yang utama, sehingga menjadi prioritas utama dalam program saya, karena situasinya memang amat mencemaskan. Di sini saya merasakan satu dilema, apakah kita akan menaklukkan alam atau ditaklukkan oleh alam.
Kembali Pak Solichin membantu saya dengan saran-saran dan pendapat tentang bagaimana cara yang lebih baik untuk menanggu langi ini semua. Akhirnya melalui suatu kerja keras dan niat yang sungguh, didapatlah satu sistem tanam, yang sekarang kita kenai dengan nama sistem tanam padi Gogo Rancah (“Gora”).
Waktu pelaksanaan program ini, kami tidak menunggu terlalu lama; saya langsung menghadap Bapak Presiden dengan Pak Solichin untuk mendapat petunjuk dari beliau. Beliau merestui dan memberi kan petunjuk yang amat berharga, dan ini menjadi dasar tindakan saya waktu itu. Pak Harto berpesan bahwa sistem tanam padi Gora adalah cara satu-satunya untuk mengatasi keadaan genting dan kelaparan yang berkepanjangan ini. Waktu itu saya mengusulkan rencana untuk menanam padi, serentak secara total dan revolusioner diatas 52.000 hektar lahan untuk daerah Pulau Lombok. dan Pulau Sumbawa. Beliau merasa terkejut dengan usulan saya ini. Karena apakah mungkin menanam padi dengan jumlah luas yang luar biasa itu sekaligus, dengan kondisi alam yang kurang menguntungkan; padahal dalam uji coba hanya lima hektar sebagai demplot (contoh percobaan atau uji coba).
Dalam hati kecil saya ketika itu, saya berniat untuk tidak akan mengurangi luas laban yang akan ditamim dengan sistem Gora ini. Karena, saya tahu persis dan yakin akan keberhasilannya. Tekad saya tersebut dilandasi dengan keadaan rakyat yang sudah demikian apatis dan putus asa akibat selalu kekurangan pangan. Kalau keadaan tersebut berlarut-larut, maka akan menimbulkan watak atau sikap mental mereka yang buruk di kemudian hari; mereka akan melakukan apa saja, termasuk melawan hukum, demi memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Saat saya tunjukkan niat saya ini, ada satu moment yang ditunjukkan oleh Bapak Presiden. Beliau memperlihatkan kesan tidak percaya, yang biasanya oleh orang Jawa disebut srengen (antara marah dan iba hati), sambil berkata:
”Air saja tidak ada di daerahmu, bagaimana mungkin menanam dua kali setahun dalam jumlah yang sebanyak itu”. Selanjutnya beliau menambahkan: “Kalau ini gagal, bukan kamu sebagai Kepala Daerah tapi Pemerintah Pusat yang akan merasakan juga kegagalannya secara nasional”.
Mendengar hal itu diucapkan beliau, saya menjadi deg-degan dan “ngeri” sendiri, sehingga saya bertanya pada diri sendiri: “Apakah mungkin rencana besar tersebut mampu saya laksanakan?”
Kemudian saya sadar bahwa betapa benar apa yang diungkapkan oleh beliau. Risikonya memang demikian tinggi, sebab kalau rencana itu gagal maka lebih-kurang satu juta manusia akan semakin menderita, disamping kembali menjadi pesimis dan apatis; dan hanya malapetaka yang lebih besar yang akan terjadi. Saya menyadari sedalam-dalamnya bahwa sistem Gora ini sungguh amat berat untuk diterapkan karena baru kali inilah akan dilaksanakan. Disamping itu saya dihadapkan pada permasalahan situasi dan kondisi masyarakat NTB yang teramat miskin, lemah, putus. asa dan sering kelaparan. Tetapi saya harus mengajak mereka un,tuk memegang linggis (sebagai pengganti cangkul) guna mengolah tanah pertanian. Ini berarti sekaligus mengubah sikap mental mereka untuk berorientasi pada bidang pertanian, karena sistem gogo-rancah merupakan satu-satunya jalan untuk mengubah nasib mereka.
Sekonyong-konyong naluri prajurit saya membisikkan bahwa saya telah sampai pada satu titik dimana saya harus “membunuh atau dibunuh” dalam rangka upaya memajukan dan memakmurkan rakyat NTB dengan melakukan sistem tanam padi Gora guna pemenuhan kebutuhan pangan rakyat. Lalu saya mengucapkan “Bismillahirahmanirahim” didalam hati dan dengan kekuatan batin yang ada pada diri saya, saya berkata kepada Bapak Presiden: “Insya Allah akan saya lakukan dengan sekuat tenaga, mohon bimbingan, petunjuk dan doa restu Bapak untuk pelaksanaan sistem tanam padi Gora ini”. Pak Harto memberikan dorongan kekuatan dan menjawab: “Ya, laksanakan kalau memang sudah menjadi tekadmu”, sambil beliau memberikan petunjuk dari yang umum sampai ke yang sedetail-detailnya.
Saya menjadi lega dan sekaligus bangga terhadap beliau yang sangat menguasai permasalahan•sistem Gora yang baru kali itu akan saya laksanakan. Beliau juga meramalkan berapa hasil yang akan didapat per hcktarnya, sambil menghitung tanpa kalkulator. Kembali saya menjadi salut, heran dan kagum. Betapa hebatnya beliau ini, serba cepat menghitung dari ubinannya sampai hasil seluruh yang ribuan hektar itu. Dan memang ramalan beliau tidak meleset, yaitu sebelum Gora hanya dua ton gabah kering giling, kini menjadi enam ton gabah kering giling dan satu kali kedele.
Ketika program tanam padi Gora ini dilaksanakan di NTB semua aparat terlibat dan secara otomatis melaksanakannya. Sampai ketika musim panen tiba, Pak Harto dan Ibu Tien sendiri datang untuk memanen bersama rakyat NTB. Sebelum memanen, beliau berkeliling di Pulau Lombok, di daerah-daerah kering, berjam-jam memandang hamparan padi menguning siap untuk dipanen. Sepanjang mata memandang hanya padi, gilar-gilar bagai permadani dan beliau berucap: “Aku ora nyono” (yang dalam bahasa Indonesianya berarti: Saya tidak mengira akan sukses). Ketika itu rakyat dan pemerintah daerah NTB sangat berbangga hati karena beliau berkenan hadir dengan disertai beberapa menteri untuk menyaksikan panen raya ini.
Untuk selanjutnya beliau berkenan hadir pula pada saat-saat tertentu yang menjadi bagian penting didalam sejarah kemajuan Provinsi NTB. Misalnya, peresmian Waduk Batu Jai di Lombok Tengah, panen mutiara di Tanjung Betro, Sumbawa, panen raya bawang putih di Sembalun, Lombok Timur, dan peresmian Laboratorium Hepatitis, yang menjadi kebanggaan NTB, karena merupakan satu-satunya laboratorium yang ada di Indonesia. Secara keseluruhan Bapak Presiden telah lima kali berkunjung ke Nusa Tenggara Barat, sehingga menimbulkan kesan yang sangat mendalam pada rakyat NTB. Lebih-lebih lagi dengan kesediaan beliau untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan memotivisir rakyat untuk bekerja lebih keras lagi dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Demikianlah kesan saya terhadap beliau dalam tugas beliau sebagai pimpinan negara atau sebagai Kepala Negara.
Pangan adalah hal yang menjadi ma alah utama di NTB, tetapi ada baiknya saya juga berbicara tentang masalah yang menunjang pembangunan NTB di sektor lain. Ini juga menyangkut baik dukungan moral, terutama kelonggaran yang diberikan Pak Harto, maupun batasan yang ditekankan kepada saya seba,gai Gubernur NTB. Saya ingin berbicara tentang batasan, kalau memang hal ini dapat dikatakan sebagai pembatasan. Tetapi saya merasa bahwa beliau tidak membatasi terlalu ketat. Mengapa? Sebab, beliau selalu berpatokan pada Trilogi Pembangunan, Delapan Sukses dan GBHN. Justru beliau lebih banyak memberikan kelonggaran pada saya yang berada di daerah, hal ini nampak sekali jika kita perhatikan bahwa NTB relatif maju di segala sektor pembangunan. Jadi bukan hanya Gora yang menjadi tumpuan pembangunan NTB.
Beberapa kali beliau datang ke NTB dan, biasanya ada halhal yang teramat penting yang akan menjadi topik untuk ditinjau, pada waktu itu pula Pak Harto selalu bertanya apakah ada terobosan baru yang dicapai di NTB. Apakah ada hal yang merupakan suatu surprise yang nantinya akan menaikkan pamor NTB di mata provinsi lain? Inilah yang merupakan bukti dari kelonggaran yang diberikan beliau pada para pembantu beliau di daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Mengapa hal ini saya katakan sebagai suatu kelonggaran? Karena Pak Harto selalu menekankan, coba gali potensi daerahmu, jangan yang sulit-sulit dan tidak jlimet tapi yang efektif bagi pembangunan dan rakyat, dan jika akan ekspose jarigan neko-neko. Lihat sekelilingmu, ujar Pak Harto, lalu berangkat dari yang ada, kemudian kita berbuat sesuatu sehingga hasil dan manfaatnya akan dapat dirasakan langsung oleh rakyat banyak.
Sebagai contoh adalah kepadatan penduduk NTB yang pertumbuhannya amat cepat yakni kurang-lebih 3,5% pada tahun 1978. Hal ini merupakan masalah bagi NTB karena lapangan kerja sudah demikian padat. Dengan demikian jalan keluar apa yang harus kita pikirkan. Didorong oleh situasi demikian, dan dari keadaan Pulau Bali sebagai pusat industri pariwisata yang sekarang ini relatif jenuh, padat dan tidak lagi senyaman dulu, lalu timbul idea saya. Saya berpikir bagajmana supaya NTB bisa menjadi seperti Pulau Bali. Paling tidak bisa menyerap 30% wisatawan asing yang datang ke Bali. Saya ingin agar mereka juga berminat datang ke Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa yang keindahan alam dan potensinya sama. Nah, inilah yang saya namakan terobosan baru, karena sebelumnya tidak terpikirkan, tetapi diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang bermanfaat bagi rakyat. Demikian pula menyangkut industri yang lain, dimana Pak Harto selalu memberikan petunjuk, tetapi juga kelonggaran •bagi daerah untuk melaksanakan, mengembangkan, dan mendiversifikasikannya.
Dengan demikian secara pribadi saya selalu merasa mantap, tidak ragu-ragu dan yakin bahwa kesempatan ataupun hal baru yang perlu diperbuat oleh daerah, akan direstui oleh Pak Harto selama hal itu dikaitkan pada kepentingan umum. Dengan ridha Tuhan Yang Maha Kuasa dan kepercayaan yang dilimpahkan Bapak Presiden kepada saya, maka dalam waktu yang hampir berturut turut saya menerima beberapa penghargaan, salah satunya adalah Bintang Mahaputra. Pemberian Bintang Mahaputra ini amat berat persyaratannya karena menyangkut kemajuan seluruh sektor pembangunan, namun saya yakin bahwa Bapak Presiden mempunyai penilaian tersendiri terhadap NTB. Dengan anugerah ini secara otomatis, NTB sudah pantas untuk tampil bersama-sama provinsi lain yang sudah maju. Di sini ditunjukkan bahwa NTB tidak lagi ter,belakang dan kekeringan, tetapi sama seperti provinsi lain yang memiliki kelebihan yang khas. Penghargaan ini dengan sendirinya merombak mental rakyat yang tadinya apatis menjadi antusias dinamik, menimbulkan rasa percaya diri pada masyarakatnya. Akhirnya sering kita dengar atau baca ungkapan yang membuat saya dan rakyat NTB berbangga hati, yaitu: “lngat Gora ingat NTB, dan ingat NTB ingat Gora”. Kesemuanya itu berkat ridha Tuhan Yang Maha Kuasa, disamping partisipasi masyarakat, para tuan guru, ulama, dan aparat dari dinas-dinas yangterkait bahkan para penyuluh lapangan yang telah bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat NTB.
Akhirnya, saya ingin berbicara sedikit mengenai kesan saya pribadi yang mana lebih menunjuk kepada hal-hal yang ada di luar pekerjaan resmi saya. Saya akan mengungkapkan hal-hal dari sekian kali perjumpaan dan kebersamaan saya dengan Pak Harto serta dari sekian kali Pak Harto memberi petunjuk kepada saya. Sampai saat ini saya masih mengenang beliau lebih dari sekadar seseorang pribadi yang menyenangkan. Terkadang saya amat terharu akan suatu peristiwa sewaktu saya diikutsertakan dalam rombongan Pak Harto ke Italia untuk menghadiri sidang FAO di Roma. Didalam pidato di sana beliau memberikan gambaran sukses pertanian di Indonesia dengan menyebutkan sebagai salah satu contohnya adalah keberhasilan Gora di Pulau Lombok, Provinsi NTB. Saya sangat terkejut mendengar beliau mengungkapkannya, tetapi juga amat bangga karena sistem tanam padi Gora diangkat sebagai bagian dari topik pidato beliau di arena internasional. Padahal peserta sidang adalah para tokoh dunia, antara lain Presiden Prancis, Direktur Jenderal FAO dan ketua-ketua delegasi dari negara-negara di bumi bagian selatan dan utara. Sungguh saya amat merasa terharu dan bahagia campur bangga. Demikian juga Pak Affandi (Menteri Pertanian waktu itu) yang ikutserta dalam rombongan, sudah tentu mem punyai perasaan yang sama, karena beliau juga termasuk yang bertanggungjawab atas suksesnya program pertanian di Indonesia, termasuk NTB.
Pidato Pak Harto Sftngat memukau; suasana sidang terasa hening, agung, dan regeng. Keharuan saya kali ini mungkin dikarenakan saya sungguh-sungguh ikhlas tanpa pamrih melaksanakan tugas dan menjalankan kepemimpinan saya selama di NTB. Rupanya inilah hikmah dan merupakan puncak kepuasan diri saya atas keberhasilan yang sudah dicapai rakyat NTB. Dalam hati saya ber kata: “Luar biasa beliau ini, disamping berwibawa, beliau juga amat karismatik”. Pidato beliau ini disambut dengan tepuk tangan riuh rendah dan lama; hadirin terkesan dengan penampilan beliau yang sederhana dan penuh makna dalam satu forum internasional. Dalain acara sidang memperingati ulang tahun ke-40 FAO ini, Indonesia sudah dapat meyakinkan dunia bahwa Indonesia dari negara peng impor beras terbesar di dunia menjadi negara swasembada beras. Sekaligus pula terlihat bahwa Indonesia amat mernperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Demikianlah dari semua petunjuk, arahan, harapan dan keinginan Pak Harto dalam memimpin kabinetnya yang tercermin dalam rencana-rencana pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, khususnya pembangunan di NTB, beliau telah banyak memberikan pelajaran pada saya; pengalaman ini amat berkesan pada diri saya. Saya bersyukur ke hadirat Allah SWT karena amat banyak kemajuan yang dicapai NTB, disamping kekurahgan kekurangan yang terus-menerus diupayakan peningkatannya selama kurun waktu antara tahun 1978 sampai dengan tahun 1988.
Dalam melaksanakan program-program pembangunan, saya tidak pernah merasa sendirian, karena saya selalu diberi kesempatan• dan dibesarkan hati dalam mengupayakan kemajuan NTB. Sebagai pemimpin negara, sebagai guru dan sebagai seorang bapak terhadap anaknya, itulah kesan saya pada Pak Harto. Tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa hampir seluruh waktu dan usia Pak Harto lebih banyak dicurahkan kepada kepentingan bangsa dan negara Indonesia; hal itulah yang menjadikan saya sangat hormat kepada beliau.
***