GELAR BAPAK PEMBANGUNAN PUNYA NILAI HUKUM YANG SANGAT TINGGI
Pemberian gelar Bapak Pembangunan bagi Presiden Soeharto oleh wakil rakyat dalam Sidang Umum MPR 1983 mempunyai nilai hukum yang sangat tinggi, H.Abdul Malik, advokat anggota Peradin, menyatakan.
Abdul Malik yang juga anggota DPRD propinsi D.I. Yogyakarta (Fraksi PPP), itu lebih lanjut mengatakan, gelar bagi Presiden Soeharto dari forum resmi itu secara yuridis sah dan benar. Karena gelar itu sudah diformulasikan dalam bentuk tingkat tinggi, satu tingkat di bawah Undang-Undang Dasar 1945.
"Penyebutan itu berlaku pada setiap acara resmi, juga dalam undang-undang dan lembaran negara. Sedang secara politis sebutan gelar itu tidak ada persoalan," sambungnya.
Berlaku Bagi Sernua
"Secara yuridis, sebutan gelar itu berlaku juga bagi semua warga negara yang berdiam di wilayah tanah air Indonesia, termasuk juga warga negara asing. Juga bagi yang setuju atau tidak setuju terhadap pemberian gelar itu," ujar Abdul Malik.
"Ini terjadi," sambungnya, "karena setiap produk hukum yang dibuat secara sah, sifatnya mengikat semua pihak yang berdiam dalam suatu wilayah negara. Bentuk hukumnya berlaku pula bagi yang mengetahui maupun yang belum mengetahui keputusan gelar itu."
"Seperti halnya dengan suatu ketetapan MPR, diketahui atau tidak oleh warga masyarakat yang berdiam di wilayah Indonesia bukan merupakan alasan," katanya lagi.
Menurut Abdul Malik, gelar Bapak Pembangunan bagi Presiden Soeharto perlu dibuatkan ketetapan baru agarmempunyai jaminan kekuatan sampai dikemudian hari, sehingga gelar itu tetap kokoh disandangnya sekalipun nantinya Pak Harto sudah melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI.
Di samping itu ketetapan gelar yang diberikan oleh rakyat Indonesia menjadi jelas pula fungsinya. Dia menilai, pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto selaku Mandataris MPR 1 Maret lalu sebagai sangat bagus, "mencerminkan sifat dan sikap pribadi yang agung dari Pak Harto sebagai Presiden RI," sambungnya.
Untuk masa datang dia mengharapkan para pembantunya memiliki sifat keterbukaan dan demokratis serta mampu tampil sebagai pengasuh atau pengayom terhadap seluruh rakyat yang memerlukan pelayanan, seperti yang diperlihatkan oleh PakHarto dalam pertanggungan jawabannya di depan Sidang Umum MPR.
Di samping pula pujian kepada Pak Harto dengan sifat keterbukaannya terhadap kritik, juga koreksi bahkan protes.
"Sifat itu seyogyanya dapat diikuti oleh para pembantunya, karena tidak selalu kritik itu bertujuan merusak," kata Abdul Malik. (RA).
…
Yogyakarta, Jurnal Ekuin
Sumber : JURNAL EKUIN (09/03/1983)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 44-45.