Harmoko: Pak Harto Lebih Sebagai Negarawan Daripada Seorang Jenderal

Lebih Sebagai Negarawan Daripada Seorang Jenderal

H. Harmoko (Menteri Penerangan dalam Kabinet Pembangunan V)

Apakah Pak Harto ingin jadi Presiden seumur hidup, Pak?”, demikian salah satu pertanyaan mahasiswa yang diajukan kepada saya ketika saya selesai memberikan ceramah di salah satu kampus di Banda Aceh pada tahun 1985. Saya jelaskan kepada mereka bahwa:

”Pak Harto adalah pemimpin yang menjunjung tinggi konstitusi. Tidak terbetik sedikitpun dalam hati sanubari beliau untuk menjadi Presiden seumur hidup. Bahkan waktu beliau diangkat menjadi Presiden, beliau tidak minta­ minta. Tetapi justru beliau diminta, dipilih dan diangkat sesuai dengan konstitusi, undang-undang kita. Jadi, Pak Harto menghormati dan menjunjung tinggi keputusan MPR. Dan sebagai warga negara yang memiliki tanggungjawab, beliau tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan rakyat. Beliau dengan sekuat tenaga, pikiran, kemampuan serta tekad berkeinginan untuk melaksanakan keputusan-keputusan majelis sebagaimana diamanatkan rakyat. Itulah watak kepemimpinan yang dicerminkan Pak Harto. Bahkan tanggungjawab beliau sejak memimpin Serangan Umum 1 Maret di Yogya, demikian pula sebagai Panglima Mandala untuk merebut Irian Barat, sampai tanggungjawab menumpas G-30-S/PKI, serta tanggungjawab memulihkan keamanan dan ketertiban sebagai pemegang Supersemar, semuanya merupakan rentetan titik-titik fakta sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan rakyat yang diberikan kepada beliau”.

Jawaban saya rupanya dapat dicerna dan setelah suasana hening, kemudian pertanyaan dilanjutkan dengan masalah-masalah pembangunan dan komunikasi. Sengaja cuplikan peristiwa tersebut saya angkat kembali untuk mengawali tulisan ini. Dalam peristiwa tersebut saya ingin menggambarkan makna yang dalam dari kepemimpinan seseorang, khususnya Pak Harto, yang menyangkut masalah kepercayaan dan tanggungjawab. Hal itulah pertama yang mengesankan saya terhadap Pak Harto, tokoh yang mampu menghentikan kesengsaraan sejarah yang dibuat PKI. Tokoh yang mampu memberi kesadaran terhadap kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dengan konstitusi, demokrasi dan hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Menulis tentang Pak Harto, terus terang, mula-mula ada perasaan “was-was” pada diri saya. Betapa tidak, Pak Harto memiliki pengalaman hidup dan perjuangan yang begitu luas; dari sisi mana kita harus memulai menulisnya. Lebih-lebih generasi seperti saya yang mengenal Pak Harto secara dekat dalam periode-periode tertentu saja; sementara itu sudah banyak tulisan tentang Pak Harto diterbitkan dan ditulis oleh penulis-penulis, baik dalam negeri maupun luar negeri, dengan bobotnya yang bervariasi. Tetapi karena didorong oleh keinginan untuk menulis secara wajar, seperti apa yang saya alami setelah langsung menjadi pembantu beliau, perasaan was was itupun hilang. Hal ini karena saya akan menulis tentang orang tokoh, seorang anak manusia, bernama Soeharto, yang telah menjangkau awan (orang top di Indonesia) tetapi kakinya tetap berpijak di bumi (berpihak pada hati nurani rakyat Indonesia).
Dan memang demikianlah faktanya. Kepercayaan rakyat yang telah diberikan pada pundak Pak Harto, tidak salah. Pak Harto adalah orang yang lahir dan tumbuh dari bawah. Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta, menjadi saksi yang berbicara bahwa Soeharto adalah anak desa, anak rakyat. Dan rakyat bagi kehidupan seseorang, terlebih bagi Pak Harto, adalah segala-galanya. Semangat dan jiwa kerakyatan itulah yang mewarnai sejarah perjalanan kepemimpinan Pak Harto. Tidak berlebihan jika saya amati bahwa jalan pikiran dan tindakan Pak Harto senantiasa berakar pada kepentingan kesejahteraan rakyat. Bahkan setiap hari, setiap detik Pak Harto menyatu dengan aspirasi, inspirasi dan motivasi dari rakyat yang beliau pimpin. Darah, daging, perasaan dan keringat yang menggetarkan dan mendenyutkan kalbu Pak Harto adalah untuk kepentingan rakyat semata; termasuk suka-dukanya, penderitaannya, harapannya, permasalahannya serta hasratnya untuk menciptakan kualitas perikehidupan lahir batin, manusia seutuhnya, bagi seluruh masyarakat.
Saya amati bahwa Pak Harto dalam melaksanakan tanggung­jawab dan pekerjaan serta tugasnya, merupakan pertalian dinamika antara idea dan pelaksanaan program jangka panjang. Pak Harto lebih banyak menyatu dengan idea serta program yang mempunyai bobot strategis, yakni kepentingan rakyat banyak, kepentingan nasional. Dalam kata lain, Pak Harto senantiasa setia akan panggilan hidup yang sebenarnya. Oleh karena itu merupakan suatu jaminan, bahwa selama ini Pak Harto selalu mampu menyatu secara fisik, pikiran, perasaan, semangat dan jiwa dengan sumbernya, yaitu rakyat.
Kesanggupan Pak Harto melaksanakan kepercayaan rakyat tercermin dari cara bertindak, menggerakkan orang, melangkah cepat dan cekatan secara pasti serta mengembangkan leadership yang andal. Mengenai masalah kepemimpinan ini pernah saya tanyakan secara langsung dalam suatu kesempatan ketika saya menyampaikah laporan bulanan kepada beliau di Bina Graha: Secara gamblang Pak Harto menjelaskan antara lain intinya:

“Tugas setiap pemimpin adalah menciptakan suasana agar mereka yang dipimpinnya itu memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencari, melihat dan menciptakan peluang dalam meningkatkan kesejahteraannya, serta mencegah dan menangkal hambatan-hambatan yang ditemui. Kemahiran sebagai pemimpin tidak akan diukir dari kemahirannya dalam mengendalikan mereka yang dipimpin, tetapi dalam mengembangkan kemampuan mereka. Itulah sebabnya kita kembangkan kepemimpinan yang lebih bersifat tut wuri handayani”.

Apa yang diucapkan oleh Pak Harto setelah saya simak ternyata sesuai dengan satunya kata dan perbuatan yang dilaksanakan oleh Pak Harto. Hal ini saya rasakan selama menjadi pembantu beliau, saya tidak merasa “dikendalikan”, tapi yang saya rasakan, justru Pak Harto memberi petunjuk-petunjuk untuk mengembangkan kemampuan. Beliau melaksanakan asas tut wuri handayani. Bahkan ketika ramai-ramai ada issue Pak Harto seakan-akan sudah mempersiapkan pengganti beliau, saya memberanikan diri untuk bertanya langsung Jawaban Pak Harto tegas:

“Saya tidak mempersiapkan Crown Prince. Karena tatalaksana konstitusi sudah diatur dalam sidang MPR. Semua warganegara berhak untuk menjadi pemimpin, sesuai dengan prestasi dan pengabdiannya. Yang menilai adalah lembaga tertinggi negara kita, yakni MPR”.

Apa yang diungkapkan Pak Harto tersebut, sekali lagi menunjukkan, bahwa beliau senantiasa patuh pada Pancasila dan UUD 1945. Saya telah mendengar tentang kepemimpinan Pak Harto pada tahun 1950-an. Pada waktu itu beliau menjabat sebagai komandan resimen di Jawa Tengah dan sebagai pengurus Persis (Persatuan Sepakbola Indonesia Solo). Tentu saja, waktu itu saya belum mengenal beliau. Suatu hari saya menyaksikan pertandingan sepak bola bersama saudara saya. Di sanalah untuk pertama kalinya saya melihat beliau dari dekat. Beliau tampak masih sangat muda dan gagah. Sebagai anak remaja yang masih duduk di bangku SMP, pada waktu itu saya sudah memperhatikan beliau, karena dalam usia yang begitu muda beliau telah menjadi seorang komandan, yaitu Komandan Resimen XV. Resimen XV ini memang sudah terkenal di daerah Solo waktu itu, karena orang sering membicarakannya. Beliau dikenal sebagai seorang komandan yang sangat memegang teguh disiplin dan tanggungjawab.
Ketika menjadi Panglima Mandala dalam rangka pengembalian Irian Barat ke pangkuan kita, Pak Harto sudah berkedudukan di Jakarta. Saya sendiri bekerja sebagai wartawan Harian Merdeka dibawah pimpinan Bapak BM Diah. Sebagai seorang wartawan, saya selalu terlibat dalam kegiatan peliputan berita. Dalam kegiatan sebagai wartawan saya bersama teman-teman seprofesi sering bertatap ,muka dengan Pak Harto, yaitu ketika beliau mengadakan jumpa pers dalam rangka tugas,tugas beliau sebagai Panglima Mandala.
Dengan meletusnya peristiwa G-30-S/PKI pada tahun 1965 saya semakin sering bertemu dengan beliau. Ketika itu Pak Harto sudah menjabat sebagai Pangkostrad dan dibebani tugas untuk mengatasi kemelut politik dan keamanan yang terjadi akibat peristiwa tersebut.
Pak Harto sering memberikan konferensi pers dalam rangka menata kembali situasi keamanan dan politik. Perkenalan saya secara langsung dengan beliau terjadi pada waktu beliau menjabat Pang­ kopkamtib yang merangkap sebagai Pejabat Presiden. Ketika itu Pak BM Diah menjadi Menteri Penerangan, dan saya diangkat menjadi pemimpin redaksi Harian Merdeka. Pada waktu itu sering diadakan pertemuan antara Menpen dan para pemimpin redaksi surat kabar dengan Pak Harto. Dalam pertemuah-pertemuan tersebut, Pak Harto memberikan keterangan tentang perkembangan politik dan keamanan. Kemudian setelah saya diangkat menjadi Ketua PWI pada tahun 1973, hubungan-hubungan langsung dengan beliau semakin sering terjadi.
Dari beberapa kali perjumpaan tersebut, saya memperoleh kesan bahwa Pak Harto adalah seorang yang tegas dan konsisten. Cara bertindak beliau sangat lugas sehingga kemelut politik yang terjadi pada waktu itu dapat cepat ditanggulangi. Jadi berita berita yang saya dengar semasa saya masih di SMP di Solo pada tahun 1950 an dulu bahwa Pak Harto adalah seorang komandan yang tegas dan disiplin, ternyata memang benar. Setelah beliau menjadi Kepala Negara, maka ketegasan, kedisiplinan, tanggungjawab dan sikap konsisten beliau lebih terlihat lagi. Langkah-langkah yang beliau ambil selalu bersandar pada asas-asas konstitusional. Hal ini tidaklah mengherankan, karena melandaskan diri pada prinsip-prinsip konstitusional memang telah menjadi tekad beliau sebelum dan sesudah Orde Baru.
Namun demikian ketegasan dan sikap beliau yang begitu disiplin, tidaklah membuat beliau menjadi seorang pemimpin yang kaku dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Justru Pak Harto menyimak dan dapat mendengar serta menerima pendapat orang lain yang benar-benar rasional. Pak Harto adalah pemimpin yang terbuka, sabar dan lemah lembut, yang memberikan bimbingan kepada para pembantu beliau sebagai layaknya seorang tua terhadap anak anaknya. Hal ini saya rasakan ketika untuk pertama kalinya saya dipanggil menghadap beliau pada waktu saya akan diangkat menjadi Menteri Penerangan. Dalam pertemuan tersebut beliau memberikan pengarahan sambil mengemukakan gagasan beliau yang bersangkutan dengan bidang penerangan.

“Kembangkanlah fungsi penerangan itu. Rakyat harus tahu dengan sebaik-baiknya tentang apa yang seharusnya mereka ketahui. Berikan kepada mereka apa adanya dan berterus terang saja kepada rakyat; dengan begitu rakyat akan ikut memikirkan dan ikut bertanggungjawab didalam usaha untuk mengatasi kekurangan kita”.

Begitulah kira-kira ucapan beliau. Secara sangat jelas beliau menguraikan pedoman yang akan menjadi dasar bagi strategi dan fungsi penerangan yang dibebankan kepada saya.
Gagasan Pak Harto tersebut memang sesuai dengan tindakan beliau yang bersifat satunya kata satunya perbuatan. Dalam salah satu pidato di depan Sidang Pleno DPR, dengan terus terang beliau menjelaskan keadaan ekonomi kita. Beliau berani mengemukakan kekurangan-kekurangan kita dan bahkan menjelaskan juga tentang devaluasi yang harus dilakukan demi kepentingan rakyat. Dan kenyataannya, kebijaksanaan tersebut benar dalam situasi waktu itu. Beliau juga selalu membuka diri untuk melakukan temu wicara dengan siapa saja yang beliau jumpai; disamping itu beliau juga senantiasa menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh rakyat. Saya memperhatikan hal tersebut manakala saya mendampingi beliau dalam perjalanan ke pelosok-pelosok tanah air. Hubungan beliau dengan rakyat, sekali lagi saya simpulkan, sangat dekat, terbuka, dan menyatu.
Cara beliau melakukan komunikasi yang demikian menyatu dan akrab dengan rakyat, saya terjemahkan sebagai melaksanakan komunikasi sambung rasa. Dalam komunikasi yang demikian, maka Pak Harto berusaha meyakinkan orang yang beliau ajak bicara secara bertahap. Interaksi pertama adalah sambung rasa. Dari sambung rasa akan terbentuk sambung nalar; selanjutnya sambung nalar akan menumbuhkan kesadaran. Dengan adanya kesadaran akan mudah dibentuk rasa keyakinan. Menurut pendapat saya, menumbuhkan rasa keyakinan masyarakat dan mengembangkan komunikasi sosial serta menyalurkan aspirasi untuk kemudian menggerakkan partisipasi masyarakat telah ditempuh Pak Harto. Untuk mendukung pembangunan, maka keyakinan haruslah ditumbuhkan lebih dahulu. Cara itulah yang selalu ditempuh oleh Pak Harto dalam mengembangkan sistem pendekatan kemasyarakatan. Saya akui bahwa saya belajar banyak dari leadership beliau.
Umpamanya, kita dapat melihat ketika permulaan pembangunan Orde Baru bagaimana cara beliau dalam meningkatkan kesejahteraan petani, khususnya di bidang pangan. Pertama kali, Pak Harto menyadarkan rakyat betapa perlunya menggunakan pupuk serta pola tanam cara baru agar petani memperoleh basil yang lebih baik. Beliau, bersama dengan Pak Widjojo Nitisastro, bahkan turun sendiri meninjau gudang-gudang pupuk yang akan digunakan para petani. Ternyata, petani kita yang semula masih enggan meninggalkan cara lama, setelah mendengar penjelasan-penjelasan yang komunikatif dari Pak Harto, maka akhirnya mereka mau menggunakan cara-cara baru dalam mengolah tanah pertanian, termasuk intensifikasi, ekstensifikasi, paket-paket pola tanam. Hasilnya? Ternyata luar biasa, kita telah mampu melakukan swasembada beras.
Pak Harto ternyata lebih sebagai seorang negarawan yang terbuka, daripada seorang jenderal. Sikap beliau selalu lembut-kebapakan didalam memberikan suatu pemecahan atas masalah­masalah yang saya ajukan kepada beliau. Misalnya, pada waktu saya mengalami kesulitan dalam hal pengembangan operasionalisasi bidang penerangan. Ketika itu peralatan media elektronika sudah tua semuanya, padahal beberapa daerah sangat memerlukan pemancar, sedangkan dana terbatas. Masalah ini lalu saya sampaikan pada beliau. Mendengar laporan saya, beliau memberikan response yang cepat. “Mana daerah yang padat penduduknyan“, tanya beliau. Saya menunjuk beberapa daerah di Jawa dan luar Jawa. Lalu Pak Harto menentukan. “Baiklah yang ini, ini, dibiayai dengan Bantuan Presiden. Periksa dahulu daerah mana yang harus diberikan prioritas“.
Kemudian Pak Harto menjelaskan lebih lanjut:
”Uang itu bukan uang pribadi saya. Ini adalah uang (yang di)perolehan dari pengumpulan dana”. Serta merta perasaan saya begitu lega, sebab Pak Harto telah memberikan jalan keluar yang tepat, khususnya bagi kepentingan rakyat. Sekali lagi hal ini menunjukkan, bahwa Pak Harto adalah pemimpin yang menganut memecahkan permasalahan, dan bukan mempertentangkan atau mempersulit permasalahan. Memecahkan permasalahan disini berarti mengatasi permasalahan.
Kasus lain yang dapat saya tampilkan sebagai contoh adalah proyek pemasangan jaringan transmisi TV. Seperti kita ketahui, sejak Pelita I kita telah mengembangkan jaringan tersebut untuk beberapa kota provinsi; kemudian dalam Pelita III-IV pengembangannya diarahkan ke kota-kota kabupaten dan kotamadya. Dalam Pelita selanjutnya, yaitu Pelita V dan VI, diharapkan siaran TV sudah sampai ke kecamatan-kecamatan, dengan pengertian bahwa beberapa yang sangat terpencil memang masih belum akan terjangkau.
Sekarang sudah 296 kota kabupaten dan kotamadya dari 27 provinsi yang tersentuh oleh jaringan TVRI. Dari 3517 buah kecamatan, hanya 30% yang belum dapat menikmati siaran TVRI. Tatkala hal ini saya sampaikan kepada Pak Harto, maka beliau langsung bertanya: “Mengapa?” Tentu saya jelaskan bahwa yang 30% itu merupakan kecamatan yang sukar dijangkau dan berada di daerah-daerah yang cekung dan merupakan blank spot. “Lalu mengatasinya bagaimana?“, tanya Pak Harto. Saya mengemukakan gagasan bahwa bagi daerah-daerah tersebut, sebaiknya dibimgun beberapa stasiun relay. Akan tetapi bila biaya tidak mencukupi, maka memasang parabola juga tidak salah. Departemen Penerangan juga telah melakukan pembicaraan dengan beberapa gubernur, dan mereka tampaknya cenderung untuk memasukkan biaya tersebut pada APBD. Sesudah beliau mendengarkan penjelasan saya, beliau memberikan petunjuk:

“Kalau demikian, kembangkan cara itu, tetapi jangan sekaligus, harus dicicil supaya jangan sampai memberatkan APBD. Tahun ini dipasang beberapa, kemudian tahun depan beberapa lagi. Jadi pemasangan dilakukan secara bertahap. Koordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri”.

Pak Harto memang selalu memberikan kebebasan kepada para pembantu beliau, dan selalu mendengarkan dengan seksama apa yang mereka kemukakan, kemudian beliau mendorang mereka untuk mengembangkan lebih lanjut. Tut wuri handayani.
Peristiwa Tapos telah pula memberikan kesan yang tidak pernah saya lupakan. Pada waktu itu saya masih menjadi wartawan, dan peternakan Tapos baru saja didirikan. Saya saat itu berkesempatan mengunjungi Tapos. Di tengah perjalanan saya sempat berpikir, apakah nanti saya bisa ngobrol dengan Pak Harto, sebab beliau itu sangat sibuk. Ternyata kekhawatiran saya menjadi hilang begitu kami tiba di Tapos. Beliau ternyata sangat ramah dan terbuka; begitu pula Ibu Tien. Malah, Pak Harto bukan saja ramah, tapi juga rendah hati.
Kami diajak berkeliling oleh beliau sambil berbicara mengenai segala hal yang menyangkut pertanian. Kemudian beliau menunjuk pada sebuah traktor dan berkata: ”Itu, yang menjalankan traktor, dulunya adalah supir saya sewaktu di Semarang“.
Ucapan Pak Harto ini sekaligus telah memberi makna bahwa beliau selalu memperhatikan anak buah. Di Tapos itulah baru saya sadari bahwa beliau mengetahui masalah-masalah pertanian dengan sangat rinci dan baik. Kata orang Jawa, beliau mumpuni; betul-betul mengerti dan memahami tentang cara-cara mengolah pertanian. Kehidupan petani diterapkan betul oleh beliau di Tapos. Pada waktu itu masih banyak orang yang belum mengetahui bahwa beliau adalah seorang jenderal yang mengetahui seluk beluk pertanian. Mereka hanya mengetahui bahwa Pak Harto adalah seorang militer, seorang jenderal saja.
Masih di Tapos, pada siang harinya kami diajak beliau secara kekeluargaan untuk makan siang bersama Ibu Tien sendiri yang mengambil sayur-sayuran dan membuatkan kami sambal. Pada waktu kami akan pulang, Pak Harto memberi kami oleh-oleh setandan pisang yang baru saja dipetik dari pohon. Ketika itu saya memang melihat banyak pisang yang sedang menguning di sana.
“Bawa ini, potong tangkainya dan masukkan dalam mobil; oleh-oleh buat keluarga di rumah”.
Begitulah keramahan beliau berdua sampai-sampai memikirkan keluarga saya, padahal saya sendiri tidak terpikir waktu itu. Kesan saya yang mendalam ini kemudian saya tuangkan dalam sebuah artikel yang berjudul, “6 Jam Bersama Petani Soeharto“, berturut-turut saya muat di koran saya. Dampaknya, saya menerima surat dari para pembaca yang ingin mendalami dan bertanya tentang pertanian di Tapos.
Ada pengalaman lain, ketika saya menghadapkan wartawan dan penulis pertanian se-Asia (Asian Agriculture Journalists and Writers Association) tahun 1983. Selesai konferensi, para peserta diterima Pak Harto di Istana Negara. Mereka mengajukan berbagai pertanyaan tentang pertanian kepada Pak Harto. Oleh Pak Harto dijelaskan dengan lancar dan pasti mengenai kebijaksanaan pembangunan pertanian.
Selesai menghadap Bapak Presiden, para wartawan dan penulis pertanian tersebut mengatakan kepada saya bahwa mereka sangat puas dan mengerti jelas pendirian Presiden Soeharto mengenai pembangunan pertanian di Indonesia. Bahkan salah seorang yang berasal dari Australia mengomentari:

The people of Indonesia is very fortunate to have a President who has an excellent knowledge and expertise on agriculture. There are many head of states in developed as well as developing countries who. know about agricultural fields, but only a few can fully understand on agriculture the way President Soeharto knows it, both in theories and practices, as well as the day to day experience of a farmer. And that is one of the most significant points of the President of the Republic of Indonesia”.
(‘Rakyat Indonesia sungguh beruntung mempunyai Presiden yang mengerti tentang pertanian. Banyak Presiden di negara-negara maju maupun berkembang yang mengetahui pertanian tetapi tidak banyak yang mengerti tentang pertanian secara teori dan praktek seperti Presiden Soeharto. Itulah kelebihan yang dimiliki Presiden Republik Indonesia”.)

Pak Harto memang menghayati benar kehidupan petani. Pada suatu hari ketika saya membawa petani-petani yang memenangkan Iomba kelompencapir ke Tapos, beliau ingin mengetahui apakah dia benar-benar petani tulen. Beliau bertanya, “Coba lihat tangannya! “. Beliau lalu tersenyum setelah mengetahui bahwa mereka adalah benar petani asli, karena tangan petani tersebut kasar-kasar bekas menyangkul. “Kalau begitu para peserta kelompencapir ini betul-betul petani sungguhan ya?” tanya beliau. Beliau juga selalu mengikuti siaran pedesaan yang ditayangkan melalui. TV. Beliau juga sering memberi petunjuk kepada saya mengenai hal-hal baru yang disiarkan melalui kelompencapir-kelompencapir. Upamanya seperti masalah jahe gajah. “Coba masalah itu dikembangkan terus”, kata beliau pada suatu hari. Pernah juga beliau berkata pada saya: “Itu TV bagaimana, coba dicek“. Rupanya beliau baru saja menonton sebuah siaran pedesaan yang penyajiannya kurang tepat tentang ragam pedesaan. Siaran pedesaan melalui RRI ternyata juga diikuti oleh Pak Harto.
Melalui juru-juru penerang, dalam menggalakkan ekonomi produktif melalui sentra-sentra industri pedesaan, metode dan cara penyuluhan terus dilakukan di media eletronik. Hal ini dilakukan antara lain berkat pengarahan-pengarahan Pak Harto yang menekankan bahwa pedesaan itu penuh dengan hal-hal yang bisa kita tingkatkan. Masalahnya hanya terletak pada bagaimana kita memberikan penerangan yang lebih baik dan teratur kepada para petani. Komitmen beliau untuk meningkatkan kehidupan rakyat kecil, khususnya para petani, tidak bisa ditawar-tawar.
Umpamanya saja dalam masalah koperasi. Beliau selalu mendorong pembantu-pembantu beliau untuk mengembangkan koperasi. ”Kembangkan koperasi supaya tidak terjadi kesenjangan sosial dalam masyarakat“, begitulah petunjuk beliau dalam sidang-sidang kabinet yang membicarakan masalah koperasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, kami merasa sangat tertantang untuk memecahkan dan menjabarkannya melalui operasional penerangan. Kami berkewajiban untuk menumbuhkan dan mengembangkan sadar koperasi melalui proses penyuluhan dan penerangan.
Pak Harto juga selalu terbuka dalam menerima gagasan-gagasan para pembantu beliau, sehingga kami merasakan adanya ikatan yang sangat akrab dengan beliau. Kadangkala, sesudah pertemuan-pertemuan formal, baik di Bina Graha ataupun di Cendana, Pak Harto secara selintas sering memberikan nasihat yang kalau kita renungkan mempunyai arti yang sangat dalam. Menurut hemat saya, nasihat-nasihat beliau merupakan “senjata” dalam menjalankan tugas-tugas yang tidak ringan.
Nasihat beliau itu antara lain adalah, aja gumunan, aja kagetan, dan aja dumeh. Karena saya mengerti kata-kata tersebut, maka saya memahami ungkapannya secara mendalam. Dalam pandangan saya, kata-kata yang beliau ucapkan itu adalah perwujudan dari kebijakan beliau. Dalam era teknologi tinggi, yang berdampak pula dalam sistem komunikasi kita, kalau kita kagetan dan gumunan tentu kita tidak akim dapat menerima hadirnya teknologi. Tetapi tidak demikian halnya apabila kita berpegang pada ucapan-ucapan beliau, yaitu dalam menghadapi segala hal, kita tidak dengan begitu buru-buru memberikan reaksi. Semua yang kita lihat, kita alami, harus kita cerna lebih dahulu. Kita melakukan introspeksi lebih dahulu, baru sesudah itu kita menentukan sesuatu sikap. Sikap beliau ketika menentukan satelit Palapa, misalnya, merupakan pencernaan pemikiran yang mendalam dan strategis. Tidak kaget dan tidak gumunan.
Begitulah salah satu cara Pak Harto memperingatkan kami dalam bekerja. Halus kata-kata beliau dan memakai pasemon (sindiran halus, yang tidak merendahkan). Kitapun menerimanya dengan kelegaan tanpa ada rasa tersinggung. Beliau memang sangat kaya akan nasihat-nasihat yang bersifat filsafati Jawa. Hal ini tidaklah mengherankan, karena beliau selalu memperhatikan dan menghargai semua pitutur atau nasihat dari para eluhur kita. Semua itu beliau resapi, hayati dan beliau praktekkan dalam menjalin hubungan beliau dengan semua orang.
Sebagai contoh yang patut diketengahkan misalnya, saya, dan termasuk semua orang yang pernah bertemu dengan Pak Harto, setelah memperhatikan dengan seksama, Pak Harto tidak pernah duduk di kursi dengan melipat dan menyilangkan kakinya. Baik di Bina: Graha, di Istana, di Cendana, di Tapos bahkan di tempat­-tempat lain termasuk di pelosok-pelosok pedesaan sewaktu menghadiri temu-wicara, Pak Harto senantiasa menghargai semua orang. Duduk beliau di kursi selalu rapi dengan sikap menghargai orang lain. Kultur menghargai orang lain. Kultur menjunjung tinggi nilai budaya dan kepribadian serta memberi makna pada butir-butir budaya bukan sekadar dihayati oleh Pak Harto, tetapi juga dilaksanakan dengan perbuatan-perbuatan nyata.
Hal ini diketahui pula oleh puteri beliau, Siti Hardiyanti Rukmana, yang kemudian mengumpulkannya dalam sebuah buku yang berjudul Butir-butir Budaya Jawa yang dipersembahkannya pada hari ulang tahun Pak Harto. Buku ini saya anggap baik, karena merupakan salah satu sumber budaya kita. Atas seizin beliau saya menyebarluaskan buku itu kepada masyarakat luas, termasuk para dalang. Mereka sangat bersyukur dengan adanya buku tersebut. Seorang duta besar dari salah satu negara sahabat berkomentar tentang buku itu (buku itu ditulis dalam bahasa Jawa, Indonesia dan lnggris), katanya: “Ternyata kultur Jawa sangat mendalam dan universal”. Ada seorang dalang yang secara langsung berkomentar, “lni yang saya cari dari sejak dahulu“. Itulah Pak Harto yang saya kenal, seorang militer yang mendalami kultur dan filsafat nenek moyang kita yang beliau pergunakan dalam mengendalikan negara tercinta ini.
Tulisan ini jauh dari sempurna dan lengkap. Seperti saya kemukakan di atas, bahwa pengalaman, perjuangan dan pengalaman hidup Pak Harto begitu luas mencakup berbagai kurun waktu dan zaman, sehingga tulisan ini ibarat “setitik air di lautan luas”

***

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.