Harun Zain: Pak Harto Mempunyai Perhatian Besar Terhadap Transmigrasi

Mempunyai Perhatian Besar Terhadap Transmigrasi[1]

Harun Zain[2]

Hubungan saya pertama kali dengan Pak Harto terjadi pada pertengahan tahun 1966, tepatnya pada bulan Juni. Pada waktu itu saya sedang menjabat sebagai Rektor Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat. Pada suatu hari dalam pertemuan di rumah seorang kawan, Panglima Kodam III/17 Agustus, Jenderal Panuju, menanyakan kepada saya, apakah saya bersedia dicalonkan untuk menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Memang ketika itu akan dilangsungkan pemilihan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Karena tawaran tersebut adalah jabatan yang sangat penting, saya meminta waktu untuk mendapat restu sanak keluarga saya. Tetapi tak lama setelah itu Panglima Panuju mendapat tugas baru di tempat lain dan beliau digantikan oleh Bapak Jenderal Poniman. Kemudian, dalam pemilihan gubernur yang diadakan muncul dua calon; yang pertama adalah pejabat gubernur yang ada pada waktu itu dan yang seorang lagi adalah saya sendiri. Selesai pemilihan, ternyata yang menang adalah pejabat gubernur tersebut, dan saya kalah. Namun dalam perkembangan selanjutnya, karena sesuatu hal, nama sayalah yang diterima oleh pemerintah pusat, sehingga sayalah yang ditetapkan menjadi Gubernur Sumatera Barat.

Pengangkatan saya sebagai gubernur itu terjadi setelah peristiwa bersejarah “Sebelas Maret 1966”. Hal ini berarti Pak Hartolah pemegang tanggung jawab pimpinan tertinggi pemerintahan pada waktu itu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka saya ber pendapat bahwa dipandang dari segi hubungan administratif dan politis, inilah kontak saya yang pertama dengan Pak Harto.

Kontak yang kedua terjadi ketika Pak Harto berkunjung ke Sumatera Barat pada tahun 1968. Dalam kunjungan inilah saya merasa terkesan sekali pada beliau. Sepanjang perjalanan, di dalam kendaraan, beliau mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang kebanyakannya berada di luar bidang militer, sedangkan beliau adalah seorang militer. Diantaranya, beliau menanyakan tentang keadaan masyarakat, keadaan ekonomi, adat istiadat dan lain sebagainya. Kedatangan beliau ke Sumatera Barat pada waktu itu adalah dalam rangka meresmikan sebuah aquaduk di Kabupaten Tanah Datar, yang diberi nama “Aquaduk Pancasila”, yang jelas­jelas mempunyai nama yang berarti sekali. Yang menarik perhatian dalam proyek ini adalah kenyataan bahwa pada waktu itu, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, belum mempunyai anggaran yang memadai, dan karenanya segala sesuatu dilakukan berdasarkan gotong-royong masyarakat. Dalam keadaan serba sulit itu, masyarakat Sumatera Barat menaruh perhatian pada masalah­masalah pembangunan kampung halamannya.

Tampaknya Pak Harto mempunyai perhatian yang besar pula terhadap rakyat Sumatera Barat yang telah mengalami penderitaan sedemikian rupa akibat peristiwa politik pada tahun 1950-an. Pada saat itu beliau berpesan agar aquaduk itu diselesaikan dengan·segera. ”Coba selesaikan ini cepat, Pak Gubernur!“, demikian pesan beliau, karena ribuan hektar sawah bergantung pada berfungsinya aquaduk tersebut.

Meskipun kendaraan yang dipakai pada waktu itu adalah sebuah mobil tua dan menempuh perjalanan sehari penuh,·yaitu dari Padang menuju Batusangkar melalui Bukittinggi dan kembali ke Padang, namun rupanya beliau tidak merasakan letih. Padahal jalan-jalan pada waktu itu, baik jalan negara maupun jalan provinsi, masih dalam keadaan rusak. Sekembali di Gubernuran Padang, beliau berkata: “Kok, cepat sekali kita sampai ya.” Kesan saya ialah bahwa beliau tidak merasakan letih dalam menempuh perjalanan yang panjang itu. Mungkin juga, karena beliau menikmati keindahan alam Sumatera Barat yang bervariasi topografinya di sepanjang kiri-kanan jalan, sehingga beliau tidak merasakan kelelahan.

Suatu hal yang menarik perhatian saya adalah bahwa beliau mengetahui saya bukan put era kelahiran Jawa, namun mungkin karena beliau mengetahui bahwa saya besar di Jawa, maka sewaktu dalam perjalanan pulang ke Padang, beberapa kali beliau berbicara dalam bahasa Jawa dengan saya. Ini merupakan pengalaman baru bagi saya. Apalagi apa yang beliau bicarakan itu bukan masalah yang berkenaan dengan pembangunan, melainkan masalah yang bersangkutan dengan kehidupan manusia. Beliau mengatakan bahwa sebagai manusia, kita harus selalu ingat akan tahapan perjalanan kita. Saya mengerti apa yang beliau katakan itu. Antara lain beliau mengatakan bahwa sebelum kita lahir, yaitu ketika kita masih dalam kandungan ibu, kita sebenarnya telah mulai berperan. Apalagi ketika kita sudah besar dan demikian pula setelah kita meninggal dunia nanti.

Sebenarnya saya agak heran mendengarkan pokok permasalahan yang dikatakan Pak Harto itu. Saya mulai berpikir ke arah mana tujuan dari uraian tersebut, dan apa sesungguhnya yang dimaksudkan beliau. Dari peristiwa ini saya mengambil kesimpulan bahwa Pak Harto itu adalah seseorang yang senang kepada filsafat, dan beliau juga senang berfilsafat. Kenyataan ini sangat menggembirakan hati saya, karena dengan demikian saya mulai kenal siapa dan bagaimana Pak Harto itu. Sebagai seorang bawahan, kewajiban kita adalah untuk mengenal atasan kita dalam bentuk yang sebaik-baiknya, siapa atasan kita itu, dan apa sasaran dan tujuan kebijaksanaannya.

Peristiwa lain dalam rangka kunjungan beliau ke Sumatera Barat. ini adalah perhatian beliau kepada masyarakat  Sumatera Barat, yang sangat senang akan “pacuan kuda”. Kuda-kuda yang terdapat di daerah itu cukup baik. Dahulu di daerah itu ada stadion kuda terkenal yang dibangun oleh KNIL. Setelah saya mengetahui bahwa beliau tertarik akan pacuan kuda itu, maka saya mulai mengutarkan pendapat saya kepada beliau. “Pak, bibit-bibit kuda kami yang terdapat di daerah ini sekarang sudah tua-tua”, kata saya. Beliau memberikan reaksi secara langsung. Rupanya pantang untuk tidak memberikan tanggapan atas permintaan seperti yang telah saya ajukan itu.

“Apa saja yang diperlukan?”, tanya beliau. Tidak lama setelah itu saya mendapat pejantan-pejantan dari beliau untuk meremajakan bibit kuda pacu bagi daerah Sumatera Barat. Suatu hal lain yang tidak kurang menariknya dalam pelaksanaan tugas saya membantu Pak Harto adalah masalah pemanfaatan dan penggunaan tanah di Sumatera Barat. Tanah merupakan suatu masalah yang sangat peka di Sumatera Barat. Pada sekitar tahun 1960 ada sejumlah tanah yang cukup luas belum atau kurang digarap oleh penduduk yang bersangkutan. Hal ini antara lain disebabkan letaknya jauh, dan prasarana umum seperti jalan-jalan desa serta saluran ,irigasi belum ada atau sangat kurang berfungsi. Ribuan hektar tanah yang berada dalam keadaan terlantar ini, terutama banyak terdapat di daerah Sitiung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Karena itu alangkah baiknya jika tanah-tanah yang terlantar tersebut dapat dimanfaatkan, baik bagi penduduk setempat-yang masih jarang-maupun bagi penduduk dari daerah padat melalui transmigrasi.

Saya terlebih dahulu datang ke Sitiung untuk mengetahui apa pendapat yang berkembang di kalangan masyarakatnya. Di sana saya bersama-sama dengan aparatur pemerintah daerah lainnya berbicara dengan ninik-mamak dan beberapa pemuka masyarakat setempat. Kepada mereka, saya kemukakan keuntungan-keuntungan proyek transmigrasi ini nantinya bagi daerah Sumatera Barat.

Dalam pembicaraan yang saya lakukan dengan ninik-mamak itu, kami sampai kepada suatu kesepakatan, bahwa proyek ini harus kita terima demi kemajuan kita bersama. Namun dalam pada itu saya tentu tidak melupakan pula hak ninik-mamak tersebut. Pemerintah daerah Sumatera Barat juga memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka dalam masalah transmigrasi ini. Kalau tidak salah ingat, 15% dari penduduk setempat akan mendapatkan kemudahan­kemudahan yang sama seperti warga transmigrasi lainnya dari pemerintah. Kemudian dikemukakan pula bahwa penduduk setempat dapat pula menikmati irigasi, sekolah-sekolah, serta fasilitas­fasilitas umum lainnya yang akan dibangun oleh pemerintah. Bagi penduduk yang bersangkutan, masalah seperti ini sangat menarik perhatian mereka, terutama yang berkenaan dengan irigasi dan prasarana lainnya. Atas dasar itu maka mereka bersedia memberikan tanah mereka kepada para transmigran.

Kemudian saya mendengar bahwa kata sepakat mengenai pemanfaatan tanah untuk para transmigran di Sitiung itu telah menarik perhatian Presiden Soeharto, sehingga beliau mengeluarkan ucapan: “Kok bisa, ya”. Cerita ini saya dengar di kemudian harinya dari Bapak Ali Murtopo. Apakah cerita ini benar atau tidak, saya sama sekali tidak bisa memastikannya. Namun terlepas dari segalanya, saya sangat terkesan bahwa Pak Harto merasa kagum karena ninik­mamak di Sumatera Barat bersedia memberikan tanah yang demikian luasnya untuk kepentingan penduduk dari Pulau Jawa, yang begitu padat keadaannya. Sekarang saya mendengar bahwa perkembangan di daerah transmigrasi itu cukup menggembirakan. Begitu pula antara lain perkawinan antar suku sudah seringkali terjadi. Kabarnya sudah lebih dari dua ratus kasus yang mencerminkan proses Indonesianisasi yang baik. Agama, tentu saja, tidak menjadi soal karena agama mereka adalah sama.

Perhatian Pak Harto yang besar terhadap ”perkawinan antar suku” ini mungkin disebabkan dari pendapat yang mengatakan bahwa orang Minang amat kuat memegang adat dan agamanya. Karena telah menjadi kenyataan bahwa perkawinan antar suku itu dapat berkembang dengan baik di Sumatera Barat, maka tentu hal yang serupa akan lebih gampang terjadinya di daerah lain.

Dalam hubungan ini saya sampaikan bahwa selama saya menjadi Gubernur/Kepala Daerah Sumatera Barat saya telah memangku dua masa jabatan. Pertama, dari tahun 1966 sampai tahun 1973. Kemudian menjadi Pejabat Gubernur selama enam bulan, setelah itu dipilih kembali untuk menjadi gubernur untuk kedua kalinya, yaitu dari tahun 1973 sampai tahun 1977, suatu jangka waktu yang sesungguhnya cukup lama. Tetapi dapat pula saya kemukakan bahwa semasa saya menjadi gubernur adalah masa yang cukup sukar dimana keadaan prasarana fisik cukup parah, karena pada waktu itu belum ada apa yang kita kenal dengan program lnpres atau Banpres, karena keadaan keuangan negara masih memprihatinkan.

Pada waktu itu pemerintah daerah Sumatera Barat memang agak sulit untuk memenuhi segala macam permintaan rakyat, padahal sesungguhnya apa yang mereka minta kepada pemerintah daerah tidak seberapa nilainya. Misalnya mereka hanya meminta beberapa  kaleng racun babi. Begitu pula untuk pembangunan sekolah-sekoiah misalnya, mereka tidak meminta sebuah gedung sekolah yang lengkap, akan tetapi cukup hanya beberapa kodi seng saja. Jadi dibandingkan dengan keadaan ketika itu, maka akan terlihat bahwa rakyat sekarang telah menjadi manja. Umpamanya, sekarang masyarakat meminta dibangunkan sebuah SMA komplit, atau minta sebuah universitas komplit. Jadi apabila dibandingkan dengan keadaan sekarang, maka masa pembangunan yang saya alami dulu adalah masa yang sulit.

Suatu pengalaman pribadi yang amat membantu saya dalam menunaikan tugas selama menjadi gubernur di Sumatera Barat adalah pesan-pesan dari orang tua saya. Orang tua saya berpesan: “Kalau kau pulang ke Sumatera Barat, satu hal yang harus selalu diingat, yaitu dalam keadaan bagaimanapun juga, jangan sekali-kali lupa mengajak berunding ninik-mamak, alim ulama serta cerdik pandai setempat”. Ini mungkin karena saya tidak dilahirkan dan dibesarkan di Sumatera Barat, sehingga beliau merasa perlu mengingatkan saya. Dan pesan orang tua saya ini selalu saya laksanakan dalam praktek. Praktek musyawarah dan permufakatan ini, kemudian dituangkan dalam lambang pemerintah daerah Sumatera Barat, yaitu berupa perwujudan ungkapan kata “Tuah Sakato”, yang berarti kurang-lebih “hikmah kebersamaan”. Jadi apabila ketiga kelompok masyarakat yang besar ini, yaitu ninik-mamak, alim ulama dan cerdik pandai, selalu diajak bermusyawarah mengenai hal ihwal pembangunan di kota-kota dan di desa-desa, maka ada harapan mudah-mudahan mereka akan mendukungnya, sehingga kita dapat melaksanakan tugas berat pembangunan dengan sebaik-baiknya.

Pandangan Pak Harto terhadap Sumatera Barat ini dapat disimpulkan dengan ungkapan: Apa yang telah terjadi biarlah berlalu. Artinya dahulu telah terjadi peristiwa PRRI yang, tentunya, membawa duka pula pada sementara pihak. Jadi missi saya yang pertama adalah mengajak masyarakat Sumatera Barat itu kembali secepat mungkin ke pangkuan Ibu Pertiwi, artinya kembali kepada kesatuan nasional. Inilah yang menjadi inti dari apa yang beliau tugaskan kepada saya. Saya menjawab: “Baik, Pak! Saya akan melaksanakannya dengan segala kemampuan yang ada pada saya.”Beliau pun tahu bahwa saya bukan orang politik, karena itu beliau tidak panjang lebar memberikan pengarahan sewaktu saya bertemu dengan beliau di Jalan Cendana. Apa yang beliau sampaikan terutama pokok-pokok persoalannya saja. Tentu, saya harus mengerti akan instruksi dan pesan-pesan tersebut untuk dilaksanakan sebaik­ baiknya.

Kalau beliau berbicara empat mata dengan saya, beliau juga suka berkelakar sehingga tertawa terbahak-bahak. Tetapi tentu saja tidak perlu diceritakan di sini apa yang kami tertawakan, karena ini hanya untuk kami berdua saja, person-to-person. Jadi dengan ini, saya ingin menyatakan bahwa kalau ada orang yang mengatakan bahwa beliau itu adalah “angker”, maka saya dapat menjawab bahwa hal ini tidak benar. Yang pasti adalah bahwa masalah yang beliau pikirkan itu banyak dan luas sekali. Sedangkan kita-kita saja yang hanya mempunyai sedikit masalah, sudah cukup pusing memikirkannya, apalagi beliau.

Suatu hal lain yang berkesan pada diri saya adalah bahwa mungkin pengalaman saya dalam menanggulangi persiapan-persiapan di Sitiung sebagai bekal daerah transmigrasi itulah, antara lain telah menyebabkan kenapa saya kemudian dipercayai sebagai salah seorang menteri dalam Kabinet Pembangunan III. Setelah saya selesai dengan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah pada penghujung tahun 1977, saya pindah ke Jakarta, dan tinggal di Kantor Perwakilan Pemerintah Daerah Sumatera Barat untuk sementara. Pada suatu hari saya menerima telepon dari Pak Try, ajudan Bapak Presiden pada waktu itu, yang sekarang menjadi Pangab. Beliau berkata: “Pak Zain! Pak Zain diminta untuk datang ke Cendana.” Agak kaget juga saya mendengarnya, karena hal itu terjadi setelah beberapa bulan saya berhenti menjadi gubernur. Saya pikir apakah yang menjadi masalah sekarang .

Waktu saya datang ke Jalan Cendana, Pak Try menyambut saya dan berkata: “Pak Zain, langsung sajalah masuk kedalam mobil itu”. Saya agak heran, mengapa saya disuruh masuk mobil lain, sedangkan saya sendiri juga membawa mobil. Ia menambahkan: “Tidak, tidak! Naik saja mobil yang di depan itu”. Ooh, rupanya Pak Harto akan keluar kota pada hari Minggu pagi itu. Setelah Pak Harto datang dan saya mengucapkan selamat pagi, beliau berkata: “Pak Zain duduk saja di mobil!”. Mobil ini adalah Range Rover, semacam mobil lapangan. Saya merasa tidak pantas untuk bertanya kemana kami akan pergi. Beliau duduk di depan dan saya di belakang bersama Pak Try. Ternyata kami pergi ke Tapos Saya sendiri merasa, sebagai seseorang yang tidak mempunyai fungsi apa-apa lagi, mendapat suatu kehormatan untuk bersama Bapak Presiden RI dalam satu kendaraan ke luar kota. Dalam kendaraan selama perjalanan, beliau bercerita bebas dan sekali-sekali bertanya mengenai aspek kehidupan sehari-hari. Kemudian saya berpikir bahwa, mungkin, ketika itu Pak Harto sedang meninjau dan memperhatikan siapa dan bagaimana si Harun Zain ini. Perjalanan ke Tapos itu memakan waktu kira-kira satu setengah jam lamanya.

Setelah sampai di Tapos, rupanya di sana sudah banyak hadir gubernur dan pejabat pemerintah lainnya. Yang menjadi pertanyaan dalam pikiran saya, kenapa saya yang diajak oleh beliau. Setelah pertemuan di Tapos itu, saya tidak ada lagi berhubungan langsung dengan beliau, sampai pada suatu hari seorang petugas Sekretariat Negara meminta riwayat hidup saya. Tidak lama antaranya saya diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jadi saya kira dalam perjalanan ke Tapos itulah beliau sesungguhnya sedang menilai saya, dan bagaimana reaksi saya. Tentu saja sudah ada jalur­jalur pengecekan yang lain, seperti Bakin dan Bais. Jadi mungkin beliau ingin mengetahui sendiri bagaimana keadaan si calon ini.

Disamping itu dapat pula saya tambahkan bahwa profesi teknis saya adalah di bidang ilmu ekonomi. Saya dengan Pak Widjojo bersama-sama belajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Malahan sama-sama belajar semenjak Kelas I SMP di Surabaya pada tahun 1942. Saya kira Bapak Widjojo dan teman-temannya juga berperan dalam memberikan informasi tambahan mengenai diri saya, atau lebih memperkenalkan saya kepada Pak Harto, ketika beliau mulai membentuk Kabinet Pembangunan III. Beliau tentu memerlukan bermacam-macam tenaga ahli. Kalau tidak salah, pada waktu itu group tenaga ahli yang banyak membantu Pak Harto, antara lain dari UI, disamping juga dari latarbelakang lain, seperti Gadjah Mada, dan ITB. Jadi mungkin Pak Widjojo cs itulah yang memperhatikan saya.

Kembali kepada pengalaman kerja saya dibawah kepemimpinan Pak Harto, maka saya berpendapat bahwa beliau itu adalah seorang strateeg yang memiliki suatu strategi jangka panjang. Kesan saya yang kedua adalah bahwa beliau itu adalah orang organisasi. Artinya ide dan pemikiran yang beliau miliki, beliau laksanakan melalui suatu sistem tertentu. Ketiga, bahwa beliau adalah seorang yang cepat menangkap pikiran orang lain, sehingga ada orang yang mengatakan bahwa beliau itu mempunyai photographic mind. Segala sesuatu tinggal lama dalam ingatan beliau. Jadi kalau berbicara kepada beliau kita harus hati-hati sekali. Jangan hendaknya beliau sampai berkata: “Kok dulu you katakan lain!”. Bisa keluar keringat dingin kita nanti. Keempat, kita juga dapat memperhatikan bahwa penilaian beliau dalam rapat-rapat kabinet itu zakelijk. Kalau kita mengikuti rapat yang beliau pimpin, maka pembicaraan langsung to the point. Beliau selalu berpegang teguh kepada acara yang telah tertera dalam agenda rapat. Apa yang ada dalam agenda itu harus dipedomani.

Aspek lain dalam kebijaksanaan pemerintahan yang dapat saya kemukakan ialah bahwa “sistem Inpres” itu adalah unik. Dahulu anggaran yang telah ditentukan untuk badan-badan pemerintah di tingkat provinsi, semuanya diserahkan oleh pusat kepada gubernur. Dan selanjutnya para gubernurlah yang membagi-bagikan anggaran tersebut ke instansi-instansi yang dipimpinnya sesuai dengan kebijaksanaan gubernur tersebut. Sekarang dengan adanya Inpres Desa, maka anggaran itu langsung diberikan oleh pemerintah pusat kepada desa. Ini berarti bahwa disamping bantuan langsung pembiayaan untuk pembangunan proyek fisik, terdapat pula hubungan batin langsung antara kepemimpinan nasional dengan massanya di desa-desa. Hal ini besar sekali pengaruhnya. Saya berpendapat bahwa praktek seperti ini belum pernah terjadi di negara­negara berkembang manapun, baik di Filipina atau di Muangthai dan bahkan juga di Eropa. Dengan demikian maka sekarang terdapat pemisahan atau pengkhususan pencapaian sasaran antara proyek-proyek nasional, proyek sektoral, proyek provinsi, proyek kabupaten dan terus ke desa-desa.

Saya kira hal yang seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Siapa yang merencanakannya, saya tidak tahu. Mungkin beliau seridiri, atau mungkiri pula para penasihat beliau. Tetapi saya sebagai seorang bekas pamong yang bergerak di lapangan merasa sangat penting sekali dengan adanya bantuan desa yang langsung ini dari pemerintah pusat kepada rakyat kecil, yang hanya tahu apa yang dilihat dan diterimanya. Rakyat mengetahui bahwa bantuan itu datang langsung dari Presiden, dimana bagi rakyat kecil ini adalah penting sekali, baik dilihat dari segi anggarannya, dari segi nilainya, dan yang juga tidak kurang pentingnya dari segi politisnya. Kalau dipandang dari segi nilai nominalnya, apalah artinya uang satu juta bagi sebuah desa yang penduduknya padat atau daerahnya luas seperti di pulau-pulau luiu Jawa? Tetapi nilai riilnya jauh lebih besar daripada itu.

Marilah kita perhatikan sejenak perjalanan uang satu juta rupiah yang diterima oleh desa tersebut. Umpamanya, uang ini dibayarkan sebagai upah kepada tukang batu, maka tukang batu membelanjakan uang itu untuk membeli makanan di warung­warung. Maka dengan demikian tukang warung juga telah tertolong; Tukang warung itu, tentunya, membeli sayuran, tempe dan bahan baku lainnya. Maka si produsen yang membuat tempe itupun mengambil manfaatnya.

Selanjutnya si pembuat tempe itu perlu membeli minyak tanah dan begitu seterusnya. Jadi sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa dipandang dari segi ekonomis, bukan jumlah uang nominal itu saja yang penting, tetapi efek bergandanya itulah yang lebih penting bagi perkembangan ekonomi pedesaan.

Dengan demikian perekonomian rakyat menjadi berkembang. Jadi akan salah sekali kiranya apabila orang hanya memperhatikan nilai nominal saja dari uang yang satu juta rupiah itu. Oleh karena itu, saya termasuk salah seorang yang menganut pemikiran, bahwa bantuan kepada desa itu harus dilanjutkan terus. Kalau dibandingkan dengan perkembangan kota, maka kota itu biasanya telah dapat menggerakkan dirinya sendiri (self-propelling). Di sana terdapat pengusa:ha, ada orang pintar, ada bank dan lain sebagainya. Sedangkan desa, menurut hemat saya, tetap harus dibantu, terutama desa­desa yang jauh terpencil dan sumber alamnya terbatas. Jadi kalau dapat, sebaiknya mereka itu terus dibantu sekurang-kurangnya untuk sepuluh tahun lagi, atau mungkin juga untuk dua puluh lima tahun lagi menjelang perekonomian desa dapat berkembang secara mandiri. Kalau tidak demikian, maka jurang yang ada antara desa dan kota akan menjadi semakin Iebar.

Malahan saya berpikir, setelah bantuan Inpres desa ini sebaiknya diadakan lnpres pembinaan pemuda, agar para pemuda dapat berkembang secara mandiri di desa-desanya. Dari uang lnpres itu, setelah selesai sekolah dasar dibangun, diarahkan untuk kegiatan kepemudaan yang produktif. Kegiatan kepemudaan ini dapat di arahkan dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang mempunyai keterampilan tertentu, apakah dia seorang insinyur pertanian atau tamatan suatu akademi, sehingga mereka dapat bergerak di bidang peternakan atau sayur-sayuran dan lain sebagainya. Saya merasakan betapa sangat pentingnya upaya ini dikembangkan, karena saya adalah orang yang pernah terlibat langsung dengan permasalahan­ permasalahan di lapangan. Mungkin orang lain telah pula mengemukakan hal yang sama, akan tetapi saya merasakan sekali kegunaan praktisnya. Saya sangat mendorong, agar program-program lnpres ini tetap dilanjutkan, dimana sasarannya dapat disesuaikan dengan keperluan lingkungan desa-desa yang bersangkutan.

Sekarang, kalau kita perhatikan para penganggur yang terdapat dalam masyarakat Indonesia ini, maka kebanyakan mereka terdiri dari .para pemuda. Padahal di desa, kita memiliki potensi dalam hal pengelolaan tanah, dimana kita dapat menanam padi, ubi kayu, jambu mete dan lain-lain. Untuk itu para pemuda ini tentu memerlukan pembinaan. Yang memberikan pembinaan ini tentulah para sarjana, dan mereka yang telah terlatih dalam berbagai keterampilan untuk berbagai keperluan pembangunan desa. Kita berkewajiban untuk memberikan kesempatan kepada mereka. Mereka itu mungkin dapat disebarkan melalui program-program semacam “Inpres pemuda”. Tentu saja mereka tidak dimaksudkan untuk menyaingi pa,ra camat dan aparatur desa lainnya. Akan tetapi kalau kita mengharapkan pemuda untuk pulang ke desa hanya sekadar pulang saja, maka .ini tentu akan menimbulkan kritik saja.

Saya sendiri dulu pernah pula mendapat kritik dari para pemuda itu. Ada yang mengatakan: “Pak! Kami telah belajar enam tahun di SD, tiga tahun SMP, tiga tahun SMA, dan enam tahun lagi di perguruan tinggi. Jadi kami telah belajar selama 18 tahun. Kami ini anak desa, Pak! Sekarang Bapak meminta kami untuk ke desa lagi. Jadi kapan kami akan maju? Akan tetapi kalau Bapak memberi kami satu tugas, dan kami juga dihargai sederajat dengan teman­teman kami yang di kota, maka kami akan bersedia”. Saya kira pendapat mereka itu ada juga benarnya. Mereka bekerja di desa, sedangkan ternan-ternan mereka yang berada di kota, bekerja pada perusahaan-perusahaan dengan gaji besar. Jadi saya kira, di sinilah perlunya program semacam “Inpres pemuda” itu  diadakan.

Selama saya menjadi menteri, saya mendapat kesan bahwa perhatian beliau kepada masalah transmigrasi ini adalah besar sekali. Manfaat yang diperoleh daerah penerima transmigrasi ini, juga luar biasa. Pernah orang mengatakan bahwa anggaran Departemen Nakertrans di beberapa. provinsi malah lebih besar daripada anggaran pemerintah daerah itu sendiri. Akan tetapi bagaimanapun hal ini sangat menolong mempercepat pembangunan daerah yang bersangkutan. Dengan adanya transmigrasi itu, dibuat jalan­jalan, irigasi, dan prasarana lainnya, sehingga yang kebagian manfaatnya adalah masyarakat setempat juga. Contoh kongkritnya ialah pembangunan Sumatera Highway yang dimulai pembangunannya dari daerah Sumatera Barat. Sekarang, sebagai akibat dari adanya Sumatera Highway tersebut, maka daerah di kiri-kanan jalan tersebut menjadi daerah transmigrasi. Hal ini juga menarik investasi di bidang perkebunan, seperti karet, kelapa sawit, dan coklat. Akibat dari hasil perkebunan ini, maka ekspor meningkat. Kegiatan ini menimbulkan dampak lain, seperti ramainya lalu lintas kendaraan, berdirinya bengkel-bengkel untuk memperbaiki kendaraan yang rusak, disamping timbul pula restoran-restoran, yang tidak kurang pentingnya di sepanjang jalan raya itu. Kelompok desa-desa baru transmigrasi tersebut kemudian berkembang menjadi sentra-sentra pertumbuhan sosial-ekonomi.

Perhatian besar yang diberikan Pak Harto kepada masalah transmigrasi ini mungkin berpangkal dari kenyataan bahwa di Indonesia ini masih terdapat sejumlah ketidakseimbangan. Seperti misalnya dalam hal penduduk, sumber daya, modal, dan skill. Penduduk ini adalah alat dan sekaligus tujuan pembangunan. Sebelum. tahun 1970, dalam waktu lima tahun paling tinggi hanya 50.000 sampai 70.000 kepala keluarga yang dapat dipindahkan dari Pulau Jawa. Lalu tiba-tiba dalam KabinetPembangunan III diberikan tugas untuk memindahkan 500.000 kepala keluarga dalam lima tahun, dengan pengertian harus memindahkan dua setengah juta penduduk ke luar Pulau Jawa. Dengan demikian terjadi pembukaan tanah secara besar-besaran yang pertama kali di Indonesia, malah mungkin untuk ukuran dunia sekalipun.

Daerah transmigrasi di Sumatera itu pernah dikunjungi oleh McNamara, Presiden World Bank pada waktu itu Saya sendiri yang mendampingi beliau kesana. Dengan ini saya ingin menyatakan bahwa perhatian Pak Harto terhadap masalah transmigrasi adalah besar sekali, sehingga hasilnya juga dikagumi kalangan internasional.

Pembukaan daerah-daerah pemukiman transmigrasi kemudian diikuti dengan perkembangan berbagai jenis tanaman perkebunan, baik oleh PTP maupun pihak swasta. Saya sebenarnya mengharapkan, agar modal-modal swasta lebih banyak lagi dapat ditanamkan di daerah-daerah transmigrasi itu, seperti halnya dengan pembukaan sejumlah perkebunan kelapa sawit, karet, dan coklat, yang selama ini telah terjadi. Pada permulaannya, umpamanya dapat juga diberi rangsangan semacam tax holiday karena status pionirnya ikut membangun daerah yang belum berkembang seperti yang kita alami pada permulaan Orde Baru dahulu, dimana tax holiday ini sangat populer dalam rangka menarik modal asing ke Indonesia, dan hal tersebut sekarang telah dihapuskan. Saya berpendapat bahwa untuk merangsang penanaman modal di luar Jawa, bila dimungkinkan, semacam tax holiday untuk jangka waktu terbatas dapat dihidupkan kembali dan dikaitkan dengan kemampuan mempercepat pengembangan pembangunan daerah transmigrasi. Keuntungannya adalah bahwa ia akan menciptakan lapangan kerja baru di daerah. Dan kalau lapangan kerja itu telah berkembang, maka ia juga akan menarik transmigrasi swakarsa lainnya.

Dengan demikian, transmigrasi ini menimbulkan efek bergandanya lagi, dimana sekurang-kurangnya akan ada dampak kesempatan kerja baru serta dampak penerimaan pendapatan baru.

***



[1]     Harun Zain, “Mempunyai Perhatian Besar Terhadap Transmigrasi”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 645-657.

[2]        Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Kabinet Pembangunan III

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.