Haryati Soebadio: Pak Harto Ramah Dan Penuh Pengertian

Ramah Dan Penuh Pengertian[1]

Haryati Soebadio [2]

 

Sebagaimana hampir seluruh jajaran Universitas Indonesia, saya pun mutlak mendukung gerak Jenderal Soeharto dalam menyelesaikan G-30-S/PKI. Saya juga mendengarkan penuh perhatian, bahkan bersama rekan dari UI merekam sambutan Jenderal Soeharto sesudah menemukan kembali jenazah para Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya. Tetapi, bertahun-tahun lamanya saya tidak pernah sempat melihat Bapak Soeharto dari dekat, apalagi berhadapan langsung.

Kesempatan pertama saya dapatkan ketika, selaku Ketua Konsorsium Sastra dan Filsafat pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, bersama para Ketua Konsorsium Pendidikan Tinggi lainnya, saya diikutsertakan oleh Menteri P dan K saat itu, Dr. Sjarif Thajeb, dalam rapat kerja Rektor se-Indonesia. Dan, kami semua diperkenalkan kepada Presiden Soeharto. Namun saat itu kami hanya berjabat tangan sebentar.

Tetapi kemudian, sebagai Guru Besar Universitas Indonesiadan Dekan Fakultas Satranya, saya mendapat kesempatan untuk berhadapan dengan Kepala Negara bersama Ibu Soeharto. Kesempatan; itu ialah dalam acara Dies Natalis ke-25 UI yang dirayakan di Balai Sidang, tahun 1976. Selesai upacara resmi, para guru besar, pimpinan fakultas dan undangan VIP diberi kesempatan bertemu muka dan beramah-tamah dengan Presiden dan lbu Soeharto. Ketika itu saya membawa kamera sederhana dengan maksud juga memotret Bapak dan Ibu Soeharto. Atas permintaan izin saya, Bapak dan Ibu Soeharto “berpose” dengan senyum ramah. Tetapi, lampu blitz kamera saya tidak menyala

Saya tidak dapat melupakan senyum Pak Harto, yang dengan ucapan “Ooh!” ikut menyayangkan kegagalan itu. Langsung saya diberi isyarat untuk mencoba lagi. Namun, kedua kalinya pun, kamera saya tidak membantu. Saya minggir saja, malu sekali, tetapi masih sempat menangkap pandangan Pak Harto yang memahami perasaan saya. Senyum Pak Harto memang saya rasakan sebagai suatu kekhasan, sehingga saya merasa tidak heran adanya biografi tentang Pak Harto dari tangan orang asing, yang diberi judul The Smiling General.

Pada periode 1978-1987 saya menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Saat itupun jarang saya mendapat kesempatan berhadapan langsung dengan Presiden. Malahan saya lebih sering menghadap Ibu Tien, terutama dalam kaitan dengan Taman Mini, seperti dalam hal pengisian Museum Taman Mini, pembuatan film Imax, terutama film Indonesia I dan II. Selanjutnya, kesempatan lebih sering lagi untuk bertemu dengan Ibu Tien, ialah dalam rangka usaha aktif Ibu Tien membantu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan Gedung Perpustakaan Nasional yang representatif. Dalam hal ini dengan sendirinya saya menghadap Ibu Tien bersama dengan Ibu Mastini selaku Ketua Perpustakaan Nasional, yang untuk sementara waktu ditempatkan di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta.

Namun demikian, dalam menangani tugas sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, tentu saja, saya mendapatkan pengarahan dan tanggapan dari Presiden, walau tidak secara langsung. Beberapa kali saya memang dihadapkan pada Presiden dalam mendampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, semula Dr. Daoed Joesoef, kemudian Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, dan akhirnya Prof. Dr. Fuad Hassan.

Dalam pada itu dapat saya sebutkan beberapa program besar, yang mendapat pengarahan khusus dari Presiden Soeharto. Pertama­ tama dapat disebutkan direktorat baru yang ditempatkan dalam Direktorat Jenderal Kebudayaan pada permulaan tahun 1979, yaitu Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Waktu pembentukan direktorat baru itu sudah menjadi fakta, saya diberitahu oleh Menteri Daoed Joesoef, bahwa saya diharapkan ”menyelamatkan dan mengarahkan” keberadaan direktorat baru itu, dengan “keahlian di bidang sosial-budaya, khususnya sejarah dan filologi”, selanjutnya juga “sebagai Manggala I Penataran P4”.

Ketika itu saya belum sepenuhnya paham akan keseluruhan permasalahan direktorat baru itu Tetapi sekarang dapat saya akui, bahwa terutama tahun-tahun permulaan itu, masalah kepercayaan cukup pelik, terutama karena menghadapi sikap kurang toleran, bahkan memusuhi, oleh berbagai kalangan masyarakat, yang tidak sepenuhnya memahami keadaan kepercayaan itu. Pengarahan yang kami terima dari Presiden, tentu lewat menteri sangat membantu sikap di lapangan. Saya juga mendapat kehormatan membacakan amanat Presiden pada saresehan para penghayat kepercayaan di Tawangmangu. Dalam pengarahan itu pun jelas sekali gerak yang diharapkan dari pihak pemerintah, masyarakat dan penghayat sendiri.

Namun demikian, ternyata bukan hanya mengenai kepercayaan itu pengalaman saya sebagai Manggala I dan sarjana di bidang ilmu­ilmu sosial-budaya membantu. Mengenai pengembangan kebudayaan nasional setiap kali saya perlu membawa-bawa pasal 32 UUD 1945 dan GBHN ke mana-mana!

Cara penerimaan Presiden mengenai sekalian masalah, sebagaimana saya diberitahu oleh menteri, jelas menunjukkan sifat toleransi, yang kiranya secara menyeluruh dapat diterima sebagai ciri khas Presiden pula. Dalam hubungan ini dapat dicatat, bahwa toleransi di bidang keagamaan khususnya, memang merupakan ciri  khas kebudayaan Jawa tradisional. Sifat “kejawaan” itu pun terasa benar pada Presiden Soeharto.

Proyek besar di bidang pemugaran yang perlu disebutkan di sini ialah kelanjutan dan penyelesaian pemugaran Candi Borobudur, yang dilaksanakan dengan bantuan dari negara-negara asing melalui UNESCO. Proyek ini dimulai sewaktu Direktur Jenderal Kebudayaan dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, sehingga ketika saya menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan, pemugaran sudah setengah jalan. Jadi saya tidak menghadapi pembicaraan pendahuluan dengan UNESCO ataupun membuat keputusan mengenai jenis bantuan dan cara penanganannya dengan kontraktor gabungan Filipina-Indonesia. Tetapi saya menghadapi kelanjutan dan penyelesaian, termasuk pengusutan laporan finansial, yang waktu itu justru menimbulkan beda pandangan, bahkan bentrokan sedikit antara panitia nasional dengan wakil UNESCO. Selain dari itu, peresmian pada tahun 1983 pun jatuh dalam kurun waktu saya menjabat Direktur Jenderal.

Pada suatu saat terjadi pembahasan mengenai pembentukan Taman Wisata Borobudur, yang semula disarankan untuk disebut Taman Arkeologi, karena Borobudur sebagai tujuan pariwisata mendapat sorotan, bahkan kritik, dari berbagai pihak di dalam maupun luar negeri. Media massa dan surat-surat protes dari dalam dan luar negeri gencar membicarakan masalah tanah dan kerugian penduduk di sekitar candi, yang dinilai akan kehilangan nafkah.

Memang penduduk juga tidak secara merata dan serentak menerima pemugran taman wisata itu maupun ganti rugi yang diberikan. Berbagai kejadian sengketa tanah yang masih menjadi masalah sampai tahun 1987, juga membuktikan bahwa kerisauan di kalangan penduduk cukup serius, sekalipun akhirnya semuanya terselesaikan secara baik. Secara ex-officio Direktur Jenderal Kebudayaan menjadi anggota Dewan Komisaris Taman Wisata, sehingga saya sangat terlibat dengan sekalian permasalahan.

Akan tetapi, pengalaman yang paling buruk dalam kaitan dengan Borobudur adalah peledakan tiga bom pada bulan Januari 1985. Pemboman itu merusak sembilan stupa dan sebuah patung Budha di tingkat atas candi. Reaksi dari seluruh dunia bergemuruh. Tidak ada yang tidak tercengang; malah, semua pihak merasa marah, karena perbuatan kekerasan itu dilakukan terhadap suatu monumen nasional yang juga diakui sebagai monumen dunia. Akibatnya tawaran bantuan berupa dana atau tenaga untuk memperbaiki candi itu mengalir dengan derasnya. Namun, pemerintah Indonesia, setelah Menteri P dan K Nugroho Notosusanto berkonsultasi dengan Presiden, memutuskan untuk memperbaiki semua kerusakan dengan usaha dan dana sendiri. Para arkeolog merasa puas dan bangga, karena dipercayai sepenuhnya untuk  melaksanakan tugas dengan kekuatan sendiri. Memang semua berhasil dengan baik sekali.

Kesembilan stupa dan patung Budha dipugar kembali sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak terlihat lagi mana yang pernah rusak. Pada peninjauan peresmian pemugaran yang dirayakan dengan upacara kecil dan penyerahan alat pengaman elektronika dari Departemen Perhubungan kepada Departemen P dan K, para undangan, termasuk menteri, ditantang oleh para arkeolog untuk menunjukkan stupa yang pernah hancur. Tidak ada yang sanggup menemukannya. Padahal, sewaktu sedang memugar stupa, terjadi musibah kecil pula, yaitu stupa utama disambar petir. Dalam kejadian ini seorang petugas terkena sambaran petir sampai terjatuh dari tangga, namun tidak mengalami cidera. Dengan demikian program pemugaran dapat dikatakan mendapat perhatian besar sekali dalam kurun waktu bersangkutan.

Pemugaran Masjid Demak termasuk yang sangat penting pula. Proyek itu semula hendak dilaksanakan dengan bantuan luar negeri, dalam hal ini negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Namun dana terbesar akhirnya juga berasal dari Bantuan Presiden, dengan dana resmi pemugaran menyusul, sedangkan OKI hanya membantu sekadarnya, yaitu yang berwujud nasihat  arkeolog yang didatangkan sebagai peninjau dari Turki.

Masjid Demak merupakan masjid paling kuno di Indonesia. Masjid ini tetap berfungsi dari awal sampai sekarang sesuai dengan maksud pembangunannya, yaitu sebagai masjid. Menurut pandangan pemugaran arkeologi, masjid itu tergolongkan “monumen hidup”, yaitu cagar budaya yang tidak pernah berubah fungsi atau ditinggalkan sesuai fungsinya pada saat dinyatakan sebagai “monumen”. Hal itu tidak banyak ditemukan di Indonesia. Biasanya, seperti dalam hal candi-candi di Jawa atau Sumatera, fungsi asli sudah lama ditinggalkan ketika bangunannya dijadikan “monumen” atau cagar budaya. Oleh sebab itu pemugaran Masjid Demak harus diamati betul-betul pemugarannya, supaya tidak menyalahi keadaan aslinya. Demikianlah prinsip pemugaran arkeologi.

Acara peresmian terjadi pada tahun 1987. Saya mendapat tugas memberi laporan pendahuluan kepada Presiden di Masjid Demak pada saat istirahat sebelum upacara resmi dimulai. Saya sempat memberi keterangan cukup rinci, antara lain mengenai masalah menara, yang tampaknya sudah pernah didengar sebelumnya oleh Presiden. Saat memasuki kabupaten, Presiden langsung bertanya mengenai menara itu. Adapun menara di depan masjid bukan termasuk bangunan aslinya. Masjid Demak, sebagaimana masjid yang dibangun pada abad ke-16, tidak pernah dilengkapi dengan menara, karena azan biasa diserukan dari atas atap. Menaranya baru dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1924. Dapat ditambahkan lagi bahwa kaki menara yang terbuat dari besi itu berasal dari kaki menara air PAM zaman Belanda! Presiden tampak dapat menerima dan menyetujui pandangan kami bahwa menara bukan merupakan benda yang mesti dipertahankan, melainkan harus dihilangkan, supaya masjid kembali pada bentuk aslinya.

Kepala Proyek, Drs. Gusti Anom, selanjutnya diminta memberikan keterangan teknis oleh Presiden. Dalam kaitan itu kami mohon supaya dalam peninjauan tersebut Presiden naik sampai ke lantai atas, guna melihat semua detail teknis pemugaran. Sebagaimana diketahui, bukan hanya Presiden, tetapi Ibu Tien juga langsung naik, sekalipun tangganya sempit dan terjal. Di lantai atas Presiden dan Ibu Tien mengamati tempat di atap dari mana azan dahulu diserukan. Tempat tersebut kini telah disiapkan untuk digunakan kembali. Selain dari itu juga ditinjau bagian atas tiang tersohor, yang dianggap terdiri dari kepingan kayu dan konon didirikan oleh Sunan Kalijogo. Mengenai tiang itu, yang pada hakikatnya bukan secara keseluruhan terdiri dari kepingan, melainkan patah-patah di bagian atas, Gusti Anom, atas pertanyaan Presiden, memberi keterangan atas dasar pandangan ilmiah. Saya masih ingat nada Gusti Anom, yang secara ragu-ragu mulai berkata, “Begini, Bapak … tentu … bila dilihat dari sudut ilmiah …”. Lalu Presiden memotong, “Ya, ya … tentu! Bagaimana?” Selanjutnya beliau mendengarkan dengan penuh perhatian. Gusti Anom kemudian mengatakan kepada saya bahwa ia sangat terkesan akan perhatian Presiden yang sedemikian mendalam, dan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan mendetail.

Proyek pemugaran bangunan bersejarah lain yang patut disebutkan dalam kaitan masa bersangkutan ialah pemugaran Benteng Vredenburg di Yogyakarta. Inisiatif pemugaran diajukan dari Yogya lewat Dr. Daoed Joesoef, Menteri P danK waktu itu. Saya mendampingi menteri ketika panitia menghadap Presiden. Dalam rancangan semula, kompleks benteng akan dijadikan sejenis Taman Budaya, dengan kemungkinan diadakan pementasan seni. Idea itu dari awal ditentang oleh para sejarawan, karena dinilai akan merusak suasana. Benteng dianggap sebagai perwujudan perampasan kuasa dengan kekerasan oleh pihak asing. Maka, bila dipugar, perlu diperlihatkan kenyataan penderitaan dan perlawanan bangsa kita. Namun panitia memutuskan untuk memulai pemugarannya, dan menangguhkan masalah pemfungsian untuk dibicarakan di kemudian hari.

Perlu diakui di sini bahwa pekerjaan pemugaran tersebut terhenti karena berbagai masalah. Antara lain yang menyangkut pertanggungan jawab keuangan oleh pelaksana proyek di daerah. Masalahnya agak menghangat saat Nugroho Notosusanto menjadi Menteri P danK. Akhirnya diputuskan supaya Direktorat Jenderal Kebudayaan yang melaksanakan pemugaran itu dan bertanggungjawab  sepenuhnya. Pemfungsian benteng pun langsung ditetapkan. Benteng akan menjadi museum perjuangan dan diisi dengan diorama yang menggambarkan perjuangan bangsa kita melawan kekuasaan asing. khususnya yang terjadi di wilayah Yogyakarta. Sekarang Benteng Vredeburg telah menjadi tujuan wisata yang cukup memukau .

Namun, disamping pemugaran bangunan lama, kami juga dilibatkan dalam pembangunan monumen baru. Pertama-tama dapat disebutkan monumen nasional dengan patung para Proklamator di halaman bekas rumah tempat proklamasi kemerdekaan. Tetapi sebelumnya gedung besar yang dibangun di tempat itu dan yang dikelola oleh Departemen P dan K, harus diserahkan untuk dimanfaatkan oleh para Perintis Kemerdekaan. Pada upacara resminya, untuk pertama kali selaku Direktur Jenderal Kebudayaan, saya ditugaskan untuk memberi laporan kepada Presiden. Sesuai kebiasaan di lembaga perguruan tinggi, saya buat laporan yang singkat; dengan hanya mengangkat usaha persiapan, masalah dan penyelesaiannya saja. Beberapa rekan mengkhawatirkan bahwa laporan itu akan dinilai terlalu singkat, seolah-olah “tak acuh”. Tetapi menteri mengatakan bahwa laporan saya yang singkat dan dianggap cukup padat itu justru diterima baik oleh Kepala Negara. Informasi itulah yang untuk selanjutnya saya pakai sebagai pegangan.

Disain patung kedua proklamator tersebut disayembarakan. Hasilnya dipamerkan di Bina Graha guna dinilai oleh Presiden. Saya pun hadir, karena saya termasuk anggota tim juri dan tim pengarah pembangunan monumennya, bersama-sama Bapak Ismail Saleh, Sekretaris Kabinet (waktu itu), dan wakilnya, Moerdiono, serta Radinal Moochtar, yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Cipta Karya di Departemen Pekerjaan Umum. Pembuatan patung diserahkan kepada dua pematung ulung dari Bandung dan Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan tim pengarah perlu sewaktu-waktu ke Bandung dan Yogya untuk melihat perkembangan pembuatannya. Dalam ingatan saya rapat tim pengarah selalu berlangsung dalam suasana bersahabat dan meriah.

Tim yang sama itu pun bertugas dalam pembangunan makam Bung Hatta. Disain bangunan dirancang oleh Presiden Soeharto sendiri. Dalam pembicaraan dengan keluarga Hatta, saya berbicara juga dengan Pak Wangsawijaya, Sekretaris Bung Hatta; dan itulah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan beliau. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa saya akan berhadapan dengan beliau lagi di kemudian hari dalam rangka para Perintis Kemerdekaan, dalam kedudukan saya sebagai Menteri Sosial.

Monumen baru lain yang dapat disebutkan ialah Monumen Yogya Kembali. Penyelesaiannya terjadi pada saat saya sudah menjadi Menteri Sosial. Namun memang tim asli tetap dipertahankan secara keseluruhan, karena kami sudah terlibat dengan programnya sejak awal. Semula saya terlibat sebagai tim juri pada sayembara dan kemudian sebagai tim pengarah pada perbaikan disain maupun pembangunannya. Demikianlah saya selalu ikut serta menghadap Presiden untuk melaporkan tentang kelanjutan proyek. Dalam kesempatan itu saya paling tertarik pada keterangan “tangan pertama” Presiden Soeharto sebagai pelaku sejarah dalam perjuangannya merebut kemerdekaan melawan tentara kolonial di wilayah Yogyakarta dan terutama dalam Serangan 1 Maret 1949. Seperti diketahui terdapat beda pendapat di berbagai kalangan mengenai tanggal tanggal yang terkait. Namun saya menempatkan perhatian paling utama pada informasi Presiden, karena didukung dengan data kongkrit, yaitu tanggal kelahiran seorang putera beliau. Informasi dari pihak lain umumnya tidak diberikan dengan pegangan kongkrit seperti itu, melainkan didasarkan atas ingatan. Dalam pengalaman mewawancarai tokoh, apalagi yang lanjut usia, acapkali saya hadapi betapa ingatan seseorang mudah terpengaruh dan berubah karena zaman, dan terutama juga karena pertambahan umur.

Saya berhenti menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan pada 29 Desember 1987. Maka saya kembali ke Fakultas Sastra UI, yang memang sudah menyiapkan tempat bagi saya sebagai salah seorang guru besarnya. Disamping itu saya juga bertugas dalam Badan Pekerja MPR. Demikianlah saya membagi waktu antara kampus UI di Depok dan gedung DPR/MPR di Senayan.

Pada 13 Maret 1988, hari Minggu pagi, saya mendapat telepon dari ajudan Presiden yang meminta supaya saya menghadap di Jalan Cendana pada jam 11.00. Saya bergeleng kepala dalam hati: “Hari Minggu pun Presiden bekerja!”. Mengenai sebab mengapa saya dipanggil, sungguh saya hanya membayangkan penugasan menulis artikel atau merancang buku informasi, seperti beberapa kali saya hadapi dalam rangka museum-museum di Taman Mini. Dengan perkataan lain, pemberitahuan Presiden, bahwa beliau memilih saya untuk ditempatkan di Departemen Sosial benar-benar datang sebagai sesuatu yang tak terbayangkan.

Dalam pada itu dapat saya tekankan di sini, bahwa pemberitahuan Presiden diucapkan sedemikian ramah dan penuh pengertian, sehingga, saya yakin, setiap orang akan bersedia dengan senang hati untuk membantu beliau dalam tugas yang bagaimana pun. Kiranya sikap dan sifat beliau itu dapat dinilai sebagai pembawaan yang disebut charme.

Presiden juga langsung paham akan perasaan seseorang dalam menghadapi masalah. Waktu saya ragu-ragu, tetapi terus terang mengakui terkejut dan takut sekali, Presiden mengangguk: ”Ya, rasa miris, bukan?” Lalu, sambil tersenyum, Presiden melanjutkan:

“Memang, bila menghadapi tugas baru yang belum dikenal, kita merasa miris. Tetapi, tugas baru kan juga merupakan tantangan, yang perlu diatasi”.

Kata-kata beliau itu saya terima sebagai pem berian semangat dan mengembalikan keberanian saya. Begitulah sampai-sampai waktu menerima ucapan selamat dari Presiden dan Ibu Tien sesudah upacara pelantikan, saya masih teringat betul pada kata-kata itu. Dan memang, kata-kata itu juga saya ingat kemudian hari, setiap kali saya menghadapi masalah dalam pekerjaan.

Sesungguhnyalah Departemen Sosial merupakan wilayah yang sama sekali baru dan asing bagi saya. Oleh sebab itu saya melangkah secara hati-hati dan juga merasa perlu cukup sering menghadap Presiden untuk berkonsultasi. Demikianlah saya menghadapi dari dekat pandangan praktis dan rasa humor beliau, yang benar-benar dapat meringankan pikiran bagi saya.

Masalah yang cukup meris ukan bagi saya dan perlu saya hadapi secara tegas ialah KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah) dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah); masalah ini menarik perhatian DPR dan langsung disambut pula oleh media massa. Pandangan praktis Presiden, yang telah saya alami, sangat membantu saya dalam menanganinya. Sesuai dengan pengarahan beliau, yang juga sering diucapkan waktu saya menjadi Direktur Jenderal, saya berkonsultasi dengan berbagai pihak, terutama juga dengan Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial, yang menanganinya. Demikianlah, disepakati bahwa sebaiknya dibuka semua angka mengenai penjualan, penerimaan dan penggunaan dana. Dapat saya katakan bahwa kebijakan itu berhasil meredakan suasana. Kemudian disepakati pula untuk menyatukan KSOB dan TSSB menjadi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) dengan harga jual lembaran yang dinaikkan, supaya tidak terjangkau oleh kalangan yang terlalu miskin, sebagaimana yang selalu dirisaukan oleh masyarakat. Penarikan nomor juga dapat disaksikan secara terbuka oleh setiap orang yang menginginkannya, termasuk para anggota DPR. Namun demikian saya benar-benar berterima kasih kepada Presiden, sebab beliau memerintahkan diadakannya pengamanan di lapangan yang dipimpin Menko Polkam.

Tugas di Departemen Sosial memang tidak sama dengan apa yang saya hadapi di UI maupun di Direktorat Jenderal Kebudayaan. Namun, memang benar, bila kita memandang tugas baru atau berat itu sebagai tantangan yang perlu diatasi, maka pada akhirnya akan dapat juga kita mengatasinya. Kata-kata yang diucapkan Presiden kepada saya itu setiap kali terbukti benar. Pengarahan dengan pandangan praktis sebagaimana saya terima pada kesempatan menghadap juga sering membuka jangkauan baru bagi saya. Pengarahan beliau memang memberi petunjuk tentang jalan apa yang perlu saya pilih.

Dalam kehidupan bermasyarakat di tengah-tengah bangsa yang majemuk ini, banyak hal yang ternyata sulit didekati dari sudut ilmiah atau secara rasional saja. Itulah yang saya alami dalam tugas saya ini. Perluasan pandangan dapat saya capai dalam pengalaman berbicara dan berkonsultasi dengan Presiden Soeharto, bila saya menghadap beliau untuk memberi laporan, atau dalam berbagai kesempatan berbicara dengan beliau.

***



[1]     Haryati Soebadio, “Ramah Dan Penuh Pengertian”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 286-296.

[2]     Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978-1987; Menteri Sosial dalam Kabinet Pembangunan V

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.