Negarawan Yang Bijak Dan Tulus
Ida Bagus Mantra (Direktur Jenderal Kebudayaan, 1968-1978; Gubernur Bali periode 1978-1988; Duta Besar RI di India)
Perkenalan saya dengan Pak Harto terjadi pada bulan Juni 1966 dalam rangka inspeksi beliau ke Indonesia bagian timur. Pada waktu itu Pangdam Udayana, almarhum Brigjen. Sukertio, meminta saya untuk mendampingi Pak Harto menuju Istana Tampak Siring setelah beliau menghadiri upacara di Pura Besakih. Salah satu acara Pak Harto di Bali adalah mengunjungi Pura Besakih dimana dilaksanakan upacara keagamaan untuk memohon keselamatan negara. Sebagaimana diketahui pada waktu itu dampak tragedi nasional yang ditimbulkan oleh pengkhianatan G-30-S/PKI masih sangat membekas pada masyarakat Bali. Saya menyambut kedatangan beliau di Pura Besakih. Di sinilah untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan Pak Harto. Ketika itu Pak Harto masih menjabat Ketua Presidium, sedangkan saya adalah Rektor Universitas Udayana.
Setelah upacara keagamaan itu selesai, Pak Harto menuju ke tempat peristirahatan di Istana Tampak Siring; dalam perjalanan tersebut saya menemani beliau dalam satu mobil. Beliau banyak menanyakan berbagai masalah mengenai Bali, seperti keamanan, kebudayaan, dan kesenian. Saya memberikan penjelasan-penjelasan kepada beliau mengenai situasi keamanan. Pada pokoknya saya sampaikan bahwa situasi keamanan dan ketertiban telah pulih kembali.
Dalam mobil itu pula saya memberitahukan kepada beliau bahwa dalam malam kesenian yang akan diadakan untuk menyambut kedatangan beliau, para pemusik Bali akan mengadakan suatu eksperimen musik. Mereka akan memainkan lagu Gambang Suling dengan memakai gamelan Bali. Ternyata beliau senang sekali menyaksikan malam kesenian tersebut. Pada keesokan harinya ketika beliau akan meninggalkan Bali, saya turut mengantarkan beliau ke lapangan terbang Ngurah Rai.
Dalam mendampingi beliau saya mendapat kesan bahwa beliau sangat ramah dan rendah hati. Tak ada kesan angker dalam sikap beliau. Tadinya saya mengira beliau seorang yang angker dan keras. Saya mempunyai dugaan yang demikian karena saya melihat ketegasan beliau dalam menumpas peristiwa G-30-S/PKI pada tahun 1965 itu. Rupanya dugaan saya salah. Beliau sangat sabar. Beliau mendengarkan semua keterangan saya dengan penuh perhatian. Dari pertemuan ini pulalah saya mengetahui bahwa Pak Harto mempunyai perhatian yang sangat besar pada masalah-masalah kebudayaan dan kesenian.
Setelah pertemuan yang pertama itu saya tidak pernah bertemu lagi dengan beliau. Pada tahun 1968 saya diangkat menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan di Departemen P dan K, dibawah pimpinan Menteri Mashuri SH. Sejak saat itu pula sewaktu-waktu saya mempunyai kesempatan untuk menghadap Pak Harto untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan tugas saya. Sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan saya ditugaskan untuk mengelola berbagai proyek yang bersangkutan dengan budaya dan seni.
Salah satu proyek tersebut adalah meneruskan pembangunan Monumen Nasional yang terletak di depan Istana Merdeka, yang pada waktu itu belum selesai. Pada suatu hari Pak Harto datang meninjau pembangunan tugu tersebut dengan menggunakan tongkat; beliau agaknya dalam keadaan kurang sehat. Disamping agak terkejut, sayapun amat terharu, karena inspeksi beliau itu menunjukkan betapa besarnya perhatian beliau pada pembangunan tugu itu. Karena peninjauan inilah saya lalu berjanji pada diri saya sendiri untuk bekerja dengan lebih keras sehingga tidak akan mengecewakan beliau. Dalam peninjauan tersebut beliau mendengarkan keterangan-keterangan para pembantu beliau sambil sekali-sekali memberikan petunjuk-petunjuk. Beliau sama sekali tidak memberikan perintah yang mengharuskan ini atau itu. Beliau sangat kebapakan.
Disamping proyek Monumen Nasional, saya juga terlibat dalam pembangunan Museum Taman Mini Indonesia Indah. Meskipun dalam proyek ini saya lebih sering menghadap lbu Tien, tidaklah berarti bahwa Pak Harto tidak memperhatikan proyek ini. Kita masih ingat waktu itu, betapa besar usaha-usaha yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menghalangi didirikannya TMII. Tetapi karena TMII mempunyai nilai budaya bangsa yang tinggi, dan dapat membina kesatuan dan persatuan bangsa, maka Pak Harto memerintahkan untuk terus melanjutkan pembangunannya. Oleh sebab itu dugaan saya bahwa Pak Harto itu mempunyai perhatian yang besar terhadap budaya bangsa, memang tidak meleset.
Dalam menangani beberapa proyek, memang selalu ada kesulitan-kesulitan yang saya hadapi. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini, maka sangat dibutuhkan petunjuk-petunjuk dari Pak Harto. Dalam keadaan yang demikian beliau selalu memberikan dorongan dan harapan serta memperlihatkan sikap optimis, sehingga meskipun beban pekerjaan para pembantu beliau begitu berat, beliau selalu mempunyai keyakinan bahwa pekerjaan itu akan dapat diselesaikan. Hal ini saya alami misalnya ketika saya menangani proyek Candi Borobudur Proyek ini adalah proyek non-ekonomis. Meskipun dari sudut pariwisata ia adalah proyek yang ekonomis, namun kami agak sulit untuk menghimpun dana. Menghadapi masalah ini saya mendampingi Pak Mashuri menghadap beliau bersama-sama dengan tim ahli dari UNESCO. Pak Harto memberikan petunjuk-petunjuk dan dorongan kepada kami dalam mengatasi kesulitan ini. Berkat petunjuk-petunjuk dan usaha dari Presiden, akhirnya pemerintah Indonesia berhasil membawa masalah ini dalam pertemuan UNESCO dan mendapatkan jalan keluarnya. Diluar dugaan kami sebelumnya, perhatian dunia internasional terhadap nasib yang mengancam Candi Borobudur tersebut rupanya sangat besar. Akhirnya proyek Borobudur dapat kami selesaikan. Perhatian Pak Harto itulah yang telah dapat menggerakkan perhatian badan-badan internasional untuk memberikan bantuan.
Setelah jabatan Direktur Jenderal Kebudayaan yang saya jabat selama 10 tahun berakhir, saya diangkat menjadi Gubernur Bali untuk masa jabatan dua periode yaitu selama 10 tahun juga. Saya mempunyai gagasan untuk membuat Bali sebagai wadah pelestarian seni dan budaya bangsa, dalam hal ini seni dan budaya Bali. Hal ini saya anggap perlu karena tanpa wadah, yang juga akan berperan sebagai alat untuk memonitor gerak kehidupan seni dan budaya, maka kesenian dan kebudayaan Bali mungkin akan berkembang ke arah yang negatif. Kita semua mengetahui bahwa kontak Bali dengan dunia luar sangat besar. Oleh sebab itu bukanlah tidak mungkin bahwa orang akan tega menyelewengkan seni demi untuk mencari keuntungan saja. Selain untuk mencegah terjadinya hal tersebut, wadah juga akan dapat dipakai sebagai salah satu daya tarik pariwisata.
Ketika Bali akan mulai mengembangkan kepariwisataannya dengan mendirikan Pusat Kesenian, ada orang-orang yang menentang gagasan tersebut. Meskipun demikian, pada akhirnya Pusat Kesenian tersebut dapat diselesaikan. Dan pada waktu Pak Harto meninjau proyek Pusat Kesenian (Werdhi Budaya) itu, beliau sangat terkesan dan merasa bangga.
Dorongan yang begitu besar itulah yang menimbulkan tekad untuk bekerja dengan keras dan semaksimal mungkin. Meskipun ada orang-orang yang tidak sependapat mengenai pembangunan Pusat Kesenian tersebut, tetapi karena ini merupakan suatu kebutuhan dalam menghadapi kemajuan, maka beliau memahami betapa pentingnya pembangunan pusat kesenian tersebut. Saya kemukakan kepada beliau bahwa Bali itu tak dapat dipisahkan dari seni, sebab dari sanalah masyarakat Bali hidup. Dengan adanya pusat kesenian Werdhi Budaya tersebut kita dapat memberikan perhatian pada budaya dan seni. Saya khawatir kalau hal ini tidak kita lakukan, maka seni yang cenderung dikomersialkan akan berjalan di luar kontrol kita. Kita boleh memakai seni untuk tujuan-tujuan ekonomis tetapi harus terarah. Dengan turut sertanya pemerintah membina perkembangan budaya, dalam hal ini Bali sebagai salah satu contohnya, maka keseimbangan akan dapat kita lakukan.
Kecenderungan untuk mengkomersialkan seni demi uang akan dapat kita cegah. Ini juga merupakan salah satu cara untuk melindungi seni dari pencemaran yang sangat mungkin terjadi. Pak Harto sangat memahami hal tersebut. Dari sini pulalah saya berkesimpulan bahwa beliau itu juga sangat memperhatikan sekali bidang-bidang yang menyangkut seni dan budaya.
Beliau adalah seorang pemimpin yang tak mudah lekas terpengaruh atau termakan oleh isyu. Sikap ini pulalah yang menyebabkan beliau tetap tangguh dalam memimpin bangsa. Pengalaman saya yang akan saya uraikan di bawah ini menunjukkan hal tersebut. Ketika itu saya masih menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan dan saya banyak terlibat dalam pembuatan Museum TMII. Masih segar dalam ingatan kita bahwa pada waktu itu ada orang-orang yang meragukan dan tidak percaya akan kemampuan orang yang akan merencanakan dan membangun Museum TMII tersebut. Saya dan Pak Bardosono berusaha untuk mengatasi suarasuara yang sumbang itu. Sebab arsiteknya adalah seorang seniman Bali yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan tinggi. Dia berpendidikan hanya sampai pada Sekolah Pertukangan saja, yang kemudian bekerja pada Kantor Pekerjaan Umum. Ia bukan seorang Insinyur. Nama seniman tersebut adalah Ida Bagus Tugur. Ialah yang membuat Pusat Kesenian di Bali dan rumah jabatan Gubernur Bali, dan gedung DPRD Tingkat I Bali di Denpasar.
Dania pulalah yang kemudian mengerjakan museum di TMII. Semua ia yang merencanakan; dari pembuatan disain sampai pemasangan fondasi dari semua bangunan tersebut. Dia mampu mengerjakan dan kemampuannya tersebut adalah semata-mata karena didorong oleh darah kesenimanannya. Didalam hal ini Pak Harto dan Ibu Tien tetap memberi dorongan untuk penyelesaian bangunan museum tersebut. Beliau-beliau itu tak terpengaruh oleh suara-suara yang tidak menguntungkan itu. Akhirnya semua yang menjadi tanggungjawab saya dapat saya selesaikan dengan baik; Pak Harto serta Ibu Tien sangat puas akan hasilnya.
Pak Harto dan Ibu Tien selalu membanggakan hasil karya Ida Bagus Tugur. Menurut Pak Harto, dialah cermin cipta bangsa kita yang mempunyai akar budaya yang tinggi. Ida Bagus Tugur, tanpa mempunyai latar belakang pendidikan tinggi dapat menghasilkan bangunan seni yang demikian megah. Hal ini dapat terjadi karena ia mempunyai sentuhan seni yang tinggi. Pak Harto dan Ibu Tien juga mengetahui bahwa orang Bali pada hakikatnya tak dapat dipisahkan dari seni dan budaya.
Bagi saya, pengalaman mendapat serangan dan kritik, baik yang mendorong maupun yang menjatuhkan, justru mendorong saya untuk bekerja lebih keras. Tetapi dari pengalaman ini pula saya mempunyai kesan bahwa Pak Harto itu sangat mempercayai pembantu beliau dengan sepenuhnya. Beliau tidak mudah digoyang oleh isyu. Beliau memberikan kebebasan sehingga dapat merangsang kreatifitas kami. Ini tentu saja menciptakan suasana kerja yang enak, tidak ada rasa tertekan dan sebagainya. Barangkali inilah salah satu sisi dari sikap beliau yang demokratis.
Perhatian beliau yang besar juga ditujukan pada hal-hal yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil. Waktu saya masih menjabat Guberhur, sewaktu-waktu saya menghadap beliau di Jalan Cendana. Entah secara kebetulan atau memang karena mempunyai perhatian yang sama, Pak Harto selalu tertarik kalau saya berbicara mengenai masalah-masalah desa. Pada suatu pertemuan saya mengemukakan pada Pak Harto bahwa daerah Kubu (Kabupaten Karang Asem) mengalami kekeringan yang melanda tanah seluas ratusan hektar. Saya memerlukan bantuan untuk dapat dengan segera membantu rakyat di sana. Beliau menjawab bahwa proyek Kubu akan segera dapat dilaksanakan. Kenyataannya memang demikian sehingga bahaya kekeringan yang mengancam rakyat secara bertahap dapat diatasi.
Di Bali, saya mengembangkan Proyek Pusat Pembibitan babi dan kambing. Semua bibit untuk pusat pengembangan tersebut saya peroleh dari Pak Harto.
Bahkan bibit babi yang saya minta, beliau datangkan dari Pulau Batam, khusus dengan pesawat Hercules. Proyek pembibitan ini berkembang dengan baik. Kalau pada permulaannya dimulai dengan hanya 30 sampai 50 ekor saja, maka sekarang telah berkembang biak dengan baik. Hal-hal kecil yang seperti ini mempunyai arti yang sangat mendalam bagi saya. Saya terharu akan sikap beliau yang begitu tulus dan senang memperhatikan kepentingan rakyat desa.
Memang perhatian beliau terhadap masalah desa jelas sekali. Pembicaraan dapat menjadi akrab dan lancar bila telah terlibat dalam pembicaraan mengenai masalah desa, baik itu mengenai peternakan, pertanian ataupun perikanan. Beliau sangat antusias sekali. Pengalaman lain yang sangat berkesan pada saya, terjadi pada waktu saya sedang memperbincangkan tentang bibit di Jalan Cendana. Tiba-tiba Pak Harto berkata pada saya: ”Tunggu sebentar“. Kemudian beliau masuk kedalam ruangan dan tak lama kemudian beliau keluar membawa bungkusan kecil dan tiba-tiba beliau berkata: “Ini bibit bayam merah yang bisa tumbuh dengan cepat sekali. Para penduduk desa, sudah akan dapat menjual hasilnya kurang dari satu bulan“. Saat itu saya betul-betul terharu akan sikap beliau yang begitu sederhana dan selalu memperhatikan rakyat kecil.
Masih tentang rakyat kecil. Pak Harto pernah memberikan bantuan kredit kepada para pengrajin di Bali melalui Kopinkra ketika beliau menyerahkan tanda penghargaan kepada para pengrajin di desa Bedahulu, Kabupaten Gianyar. Kami bertekad untuk menggunakan bantuan kredit tersebut dengan sebaik-baiknya, dengan memakai wadah koperasi. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Selang beberapa lama modal kredit dari Pak Harto telah dapat memberikan dorongan kemajuan bagi para pengrajin di Bali. Saya melaporkan hal tersebut pada Pak Harto. Beliau tampak senang sekali karena modal yang tidak seberapa besar itu dapat bermanfaat bagi rakyat kecil.
Dekatnya beliau pada rakyat dapat pula kita lihat pada setiap kesempatan apabila beliau berhadapan dengan rakyat. Sambutan beliau selalu spontan. Beliau segera dapat terlibat dalam dialog dialog dengan rakyat. Spontanitas yang semacam ini tak bisa dibuat buat, sebab hal ini baru bisa terjadi kalau adanya sentuhan rasa terhadap rakyat, karena besarnya perhatian yang diberikan kepada mereka. Inilah yang saya lihat dalam sikap Pak Harto sebagai seorang pemimpin yang dekat dengan rakyat. Banyak ahli yang tercengang kalau mereka berbicara mengenai koperasi atau masalah masalah pertanian dengan Pak Harto. Beliau dapat berbicara lama dan menguasai permasalahannya. Inilah yang mengherankan banyak orang. Beliau mengetahui tentang hal-hal yang sangat kecil, terutama mengenai rincian angka-angka dari obyek yang dibicarakan. Beliau dapat terus mengingatnya, meskipun hal tersebut terjadi beberapa waktu yang lalu. Daya ingat dan rasio Pak Harto itu sangat tajam.
Perhatian beliau yang besar terhadap rakyat kecil inilah yang antara lain membawa keberhasilan beliau sebagai pemimpin yang mampu memacu pembangunan dari bawah dengan semangat dan kegairahan kerja. Beliau membangun Indonesia bukan hanya dari atas saja, tetapi juga dari bawah. Pembangunan dari atas adalah berupa proyek proyek; sedangkan dari bawah, beliau memberikan bantuan kepada desa-desa secara langsung. Uluran tangan beliau yang langsung ini mendorong orang-orang desa untuk belajar bertanggungjawab pada dirinya sendiri. Langkah yang beliau ambil adalah sangat cepat, sebab dengan demikian rakyat dapat tergugah agar turut aktif dalam pembangunan. Bukan hanya sektor perkotaan saja yang mendapatkan perhatian, tetapi sektor pedesaan pun mendapatkan perhatian yang sama. Pembangunan akan tidak seimbang kalau pada masyarakat desa tidak ditumbuhkan swadaya pembangunan ekonomi masyarakat. Swadaya masyarakat inipun sangat berguna untuk menumbuhkan kreatifitas dan tanggungjawab masyarakat.
Gairah masyarakat kecil akan mudah dibangkitkan apabila kita memberikan perhatian pada mereka dan hal ini akan dapat menyukseskan pembangunan rakyat pedesaan. Pada tahun 1978/1979, dalam lomba basil produksi pertanian, Bali meraih juara pertama. Ini diluar dugaan saya yang pada waktu itu masih menjabat Gubernur. Tetapi akhirnya saya tahu kunci keberhasilan semua itu yaitu perhatian beliau pada rakyat. Waktu beliau meresmikan waduk dan meninjau desa Rejasa di Tabanan, beliau langsung berdialog dengan para petani dan rakyat di sana. Antara lain beliau mengharapkan agar waduk dapat digunakan sebaik-baiknya. Perhatian beliau sebagai Presiden terhadap rakyat secara langsung inilah yang telah memberikan semangat kerja dan tekad yang keras pada mereka untuk tidak mengecewakan Presidennya. Beliau mengetahui hati rakyat, dapat merasakan hati mereka dan beliau mampu menyatukan perasaan beliau dengan rakyat. Sikap beliau hangat dan lembut kalau berdialog dengan rakyat kecil. Sikap beliau yang seperti inilah yang menjadi contoh dan teladan bagi saya. Saya banyak belajar dari beliau.
Sikap yang lembut dan kebapakan ini pulalah yang mendasari hubungan Pak Harto dengan para pembantu beliau. Sebelum kami (para duta besar yang baru dilantik) menuju pos masing-masing, kami mohon diri kepada Pak Harto. Pada kesempatan itu beliau memberikan petunjuk/pengarahan kepada kami sekalian, antara lain:
“Jangan suka menunggu-nunggu perintah. Saudara-saudara harus kreatif, berjuang; asal saudara-saudara mengikuti garis-garis kebijaksanaan pemerintah dan tidak menyimpang dari Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, jalankan kebijaksanaan Saudara”. Bukankah sikap yang demikian itu adalah sikap yang mendidik kami?
Kebebasan yang diberikan beliau kepada kami, para pembantu beliau, bukanlah kebebasan yang tak terkendali. Kami memahami bahwa kebebasan yang beliau berikan adalah dalam ruang lingkup yang tak akan merusak kesatuan dan persatuan bangsa. Kesatuan dan persatuan bangsa selalu menjadi pertimbangan utama dan inilah yang selalu beliau tegakkan.
Sikap beliau yang selalu dekat dengan rakyat, serta kemampuan beliau dalam mengendalikan diri, terwujud dalam tindakan-tindakan beliau yang bijaksana, kebapakan dan demokratis. Semua itu telah membentuk beliau menjadi seorang negarawan yang bijak dan tulus.
***
Ida Bagus Mantra, “Negarawan Yang Bijak Dan Tulus”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 896-904