IHWAL “WALLAHU’ALAM”

IHWAL “WALLAHU’ALAM”

 

Hari Senin 3 November’86 tampaknya merupakan “Hari H. Rosihan Anwar”. Sebab sedikitnya dua koran dari dua kota yang berbeda memuat tentang dirinya.

Pertama, koran Pikiran Rakyat, Bandung, menurunkan nostalgianya ke masa lalu tatkala ia memimpin harian Pedoman, betapa canggihnya koran asuhannya, seperti sapi Benggala di tengah sapi-sapi domestik. Wartawannya ke sana ke mari naik mobil, barang yang masih langka waktu itu dan rasanya, tidak ada orang melewatkan hari tanpa membacanya, tak peduli ia setuju atau tidak.

Koran itu tamat riwayatnya bukan karena memang ajalnya sudah sampai, melainkan karena tergelincir, sebagaimana halnya koran Sinar Harapan sekarang.

Tentu saja ia tidak merasa perlu mengisahkan, apa gerangan yang jadi sebab tergelincirnya itu. Tapi ia merasa perlu memberi nasihat kepada wartawan-wartawan muda, agar senantiasa awas serta waspada terhadap kendala dalam pekerjaan jurnalistik sekarang ini, Kata Rosihan : “Ya, terpaksalah kalian harus menerima kenyataan ini, sebab kalian sudah jadi wartawan Indonesia. Siapa suruh kalian jadi wartawan? !”

Dalam hal ini Rosihan benar. Menjadi wartawan itu urusan hak dan bukan urusan kewajiban. Maka kalau korannya kena tutup itu namanya risiko. Jalan pagi saja punya risiko diserempet becak, konon pula menjadi wartawan.

Ke dua, koran Kompas hari itu menurunkan artikelnya tentang pertemuannya dengan Daud Beure’eh di Aceh. Perkara ia menulis artikel, itu bukanlah berita, itu biasa-biasa saja, seperti biasanya orang menyambar payung saat hari hujan. Boleh jadi bisa disebut berita, bilamana H. Rosihan Anwar tiba-tiba diangkat menjadi duta besar atau menteri.

Lalu, apanya yang menarik? Tak lain dari tekniknya. Tulisan itu berulang-ulang menyebut kata wallahu’ alam, yang niscaya membuat banyak orang penasaran. Seperti rasanya mau sampai klimaks, tiba-tiba buyar dan cair.

Misalnya, ketika ia pamit memegang erat-erat tangan Daud Beure’eh. Entah, karena terdorong apa ia berkata, “Abu (begitulah orang tua itu biasa dipanggil) tolong beri saya tenaga batin, supaya saya dalam batas kemampuan saya bisa lcuat berusaha untuk agama.”

Hanya saja Rosihan tidak yakin, apakah ucapan itu terdengar oleh yang bersangkutan, karena itu ia menulis wallahu ‘alam. Mulut Daud Beure’eh tampak komat-kamit, namun apa yang didoakannya pun wallahu ‘alam.

Wallahu ‘alam berikutnya adalah, ketika Rosihan mernpersoalkan, siapa gerangan yang bisa menggantikan posisi kepemimpinan Daud Beure ‘eh, mengingat beliau milik era masa lampau, sedang zaman sudah berubah dan “pengaruh kota” yang sulit dibendung, sudah mengambah pedesaan agraris.

Bukankah seorang pemimpin obyektif tepat untuk suatu masa, tapi belum tentu objektif tepat untuk masa yang lain? Memang benar, Universitas Jabal Ghafur bekerja keras menciptakan bibit-bibit yang punya visi dan orientasi baru, tapi boleh jadi mereka itu baru muncul sesudah sepuluh tahun nanti.

Sepuluh tahun? Mengapa tidak, sebab James Siegel dari Universitas Cornel dalam buku The Rope of God menyebut, Aceh memerlukan waktu 100 tahun untuk memperoleh ganti ulama reformis militan Habib.

Samalanga pada diri Daud Beure’ eh, yang senantiasa mengaitkan makna ibadah kepada Tuhan sama seimbang dengan pengabdian buat kepentingan umum yang sanggup mengerahkan massa secara kolektif membangun mesjid dan dengan semangat serupa membangun jalan dan saluran irigasi. Apa arti sepuluh tahun bila Aceh mesti menunggu se-abad antara kepemimpinan Habib Samalangga dan Daud Beure’ eh.

Akan halnya cara menulis nama pemimpin Aceh itu. Rosihan memilih Daud Beure’ eh, sedangkan M. Nur El Ibrahimy dalam biografi ulama ini memilih Daud Beure” eh.

Penulisan serupa juga terbaca dalam surat-surat resmi yang ditanda tangani ulama itu, baik yang ditujukan kepada Presiden Soeharto tahun 1951 maupun yang ditujukan kepada Menteri Keamanan Nasional Kasad Jenderal Ali Nasution ketika beliau menyebut dirinya sebagai “Wali Negara Republik Islam Aceh” tahun 1961. Mana yang benar, Beureueh atau Beureueh, tentu wallahu ‘alam juga.

Rupanya saya pun ikut-ikut pula dengan wallahu ‘alam ini, misalnya saat berceramah memperingati Sumpah Pemuda di depan PMII cabang Bandung dan Cirebon. Ada hadirin yang mempersoalkan, apa gerangan sebabnya Moh. Yamin tidak menyetujui fusi ormas-ormas pemuda saat Kongres Pemuda I tahun 1926, mengingat kedudukannya di Jong Sumatera ia malah mengebu­gebu menyetujuinya saat Kongres Pemuda II tahun 1926.

Bahkan ia pula yang menyodorkan usulan rumusan Sumpah Pemuda, yang dikenal sekarang ini. Dorongan apa pula yang menyebabkan perubahan sikap itu? Saya sekadar bilang, tentu banyak yang bisa terjadi selama selang 2 tahun, baik situasi sekeliling tanah air maupun persepsi Moh Yamin sendiri terhadap situasi itu. Persisnya bagaimana, tentu saya cukup mengatakan, “wallahu ‘alam.”

Ada lagi hadirin yang mempertanyakan, kalau betul Ir. Soekarno selaku tokoh terkemuka gerakan nasional saat itu dan selaku ketua PNI, secara khusus mengutus Mr. Saliono dan Mr. Sunario ke medan Kongres Pemuda 1928 serta menyampaikan amanat tertulis yang dibacakan di depan sidang.

Apa gerangan isi amanat itu, karena hingga sekarang tidak ada yang mengungkap-ungkap? Bukanlah boleh jadi bunyi amanat tertulis Ir. Soekarno itu bersifat mengarahkan, sehingga kongres akhirnya mencetuskan Sumpah pemuda yang historis? Tentu saja sekali lagi saya cukup mengatakan, wallahu ‘alam, paling-paling mengharap, sudilah kiranya Sunario SH saksi hidup yang menghadiri peristiwa itu, berkenan memberitahukan umum, apa isi amanat tertulis itu sekadar untuk catatan sejarah.

Ada pula hadirin yang bertanya, apa sebab tidak ada orang sekarang tergerak hatinya untuk berziarah ke makam Moh. Yamin Sumatera barat sana, mengingat dari tanganyalah keluar rumusan yang sekarang terkenal dengan Sumpah Pemuda itu.

Ziarah yang tak lebih dari sekadar penghormatan kepada pelaku yang begitu penting sudah mewamai arus sejarah. Atas pertanyaan itu sayapun cuma sanggup berkata, wallahu’ alam, dan meneruskan pertanyaan itu entah kepada siapa yang kiranya berminat.

Yang terakhir adalah wallahu ‘alam untuk H. Rosihan Anwar sendiri, dalam kaitan dengan tulisannya di Kompas tanggal 1 September 1980, berkepala Perbedaan Analisa Politik antara Soekarno dengan Hatta, khususnya yang mengutip buku John Ingleson Road to Exile tentang adanya empat “surat minta ampun” Bung Karno kepada Jaksa Agung Hindia-Belanda.

Enam tahun yang lalu itu, sambil terlongo-longo sehabis membaca tulisan Rosihan Anwar itu, saya temui Bu Inggit di Jalan Ciateul 8 Bandung, dan bertanya apakah beliau tahu adanya surat semacam itu?

“Itu mah mustahil, itu mah pamali,” begitulah komentar Bu Inggit. Saya pun menurunkan tulisan yang jiwanya begitu di Kompas terbitan 7 Oktober 1980. Bukan saja Bu Inggit yang tidak percaya keabsahan “surat minta ampun” itu tapi juga almarhum Room SH karena bahasa yang terbaca di sana bukanlah bahasa yang biasa digunakan Bung Karno.

Hal serupa termaktub lagi dalam buku Ramadhan K.H. Kuantar ke Pintu Gerbang keluaran penerbit Sinar Harapan tahun 1981 halaman 11.

Mengapa kok dikunyah-kunyah lagi? Soalnya baru-baru ini saya terima surat dari seorang sobat yang terheran-heran, bagaimana mungkin Badan Arsip Kerajaan Belanda sudah bisa melepas surat sangat pribadi itu untuk diumumkan di buku inglesan terbitan Hongkong 1979,padahal baru 10 tahun wafatnya Bung Karno, dan itu pun kalau memang “surat minta ampun” itu hanyalah salinan belaka.

Walau bernomor 1276 dengan kode “rahasia” tapi dia tidak berkode Vb (verbal), bundel yang lazim menurut sistematika arsip kolonial. Sobat saya itu berkeinginan benar melihat sendiri “surat minta ampun” yang sah itu.

Karena surat-surat asli Bung Karno yang lain bisa dilihat dan difotokopi dari koleksi Stokvis tentu “surat minta ampun” itu pun bisa, kalau memang betul surat itu ada. Kalau memang betul surat itu ada. Bukanlah walau Bung Karno itu insinyur, sebelum menjadi Presiden, beliau biasa menulis sesuatu dengan tangan kecuali kalau terpaksa, seperti sekedar menanda tangani proses verbal?

Kalau betul ada yang namanya “surat minta ampun” itu, bukanlah mestinya ada tersimpan di gudang Arsip Nasional Jakarta atau Bogor? untuk gampangnya saja, saya bilang kepada sobat saya itu wallahu ‘alam.

Maka terbebaslah saya dari beban seperti ini. Menhub Djunaidi, kolumnis dan bekas Ketua PWI Pusat. (RA)

 

 

Jakarta, Kompas

Sumber : KOMPAS (12/11/1986)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 625-629.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.