Palembang, 22 Mei 1998
Kepada
Yth. Bapak Soeharto
(Mantan Presiden RI)
Di Jakarta
INI SUNATULLAH [1]
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan keberkahan, kesehatan dan ketenangan lahir batin kepada Bapak sekeluarga, dan semoga Allah berkenan membalas semua jasa Bapak kepada rakyat Indonesia.
Allah Ta’ala mengetahui niat dan I’tikad baik Bapak. Karenanya, balasan yang paling berharga hanyalah dari Allah Ta’ala semata, bukan manusia. Akal dan nafsu boleh berputar-putar, tapi bisikan hati nurani tak bisa dibohongi. Apa yang disuka/diimpikan oleh manusia (siapa saja) bisa saja berakibat buruk baginya, sebaliknya apa yang disuka ternyata menjadi baik bagi kehidupannya di dunia dan akherat. Ini sunatullah.
Semoga ridla Allah senantiasa menyertai kehidupan Bapak dan seluruh keluarga. Derajat manusia di sisi Allah tidaklah ditentukan oleh tingginya kepangkatan dunia, melainkan ketaqwaan. Dan taqwa hanya ada dalam hati nurani. Mayoritas rakyat Indonesia berada di desa jauh dari keramaian kota (seperti saya). Tanggal 21 Mei 1998 adalah puncak keharuan dan tetesan air mata, semua merasakan betapa orang tua yang sudah banyak jasanya, dipaksa tersiksa di hari-hari tuanya. Mudah-mudahan Bapak bersabar dan mensyukuri apa yang oleh Allah berikan.
Pak Harto, ketika Allah berkehendak mengangkat dan meninggikan derajat seorang hambanya, Allah akan membebaninya dengan cobaan dan tekanan lahir dan batin. Perbanyaklah shalat malam, membaca Al Quran dan shalawat serta istighfar.
Percayalah, Allah tak akan menyia-nyiakan ibadah Bapak kepada bangsa dan negara Indonesia. Sudah sejak belasan tahun dan beberapa kali saya menulis surat, tapi tak pernah jadi saya kirimkan. Mudah-mudahan inilah surat pertama yang Bapak terima, ketika Bapak tidak menjabat lagi sebagai Presiden. (DTS)
H. Zain Abdurrahman
Sumenep
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 997-998. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.