JANGAN TUTUPI KEADAAN SEBENARNYA
Sistem informasi atau pelaporan merupakan salah satu kunci yang sangat menentukan keberhasilan manajemen dalam bidang apapun. Dalam manajemen yang berfungsi baik, biasanya pengambilan keputusan dilakukan melalui proses analisa persoalan lebih dulu.
Berdasarkan analisa persoalan dilakukan pula analisa keputusan yang akan diambil dan sebelum keputusan diambil juga dilakukan analisa persoalan potensial yang mungkin menghambat atau mempengaruhi pelaksanaan keputusan.
Dengan prinsip-prinsip manajemen dalam mengambil keputusan yang dikemukakan sangat singkat itu, agaknya mendasar sekali penegasan Presiden Soeharto dalam pertemuan dengan para pejabat pertanian tingkat pusat dan sembilan daerah, termasuk para gubemur daerah-daerah bersangkutan, Kamis lalu.
Dalam pertemuan membahas serangan hama wereng, dan koordinasi pengendaliannya sesuai dengan Inpres 3/1986, Presiden menegaskan agar tidak menutup-nutupi keadaan sebenarnya, danjangan memberi laporan yang tidak tepat.
Disayangkan masih ada laporan yang tidak tepat. Mungkin karena takut dinilai konduitenya jelek, kata Presiden.
“Bagi saya, dengan menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya dan membuat laporan yang tidak tepat itulah justru konduite jelek”, kata Presiden selanjutnya. Kepala negara minta agar hal ini tidak terulang lagi, karena membahayakan kepentingan nasional.
Barangkali perlu dipertanyakan kenapa terjadi laporan yang tidak tepat, dan cenderung menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya? Ada beberapa kemungkinan. Salah satu di antaranya, mungkin sistem penilaian prestasi lebih bertitik berat formalitas hingga para pelaksana merasa lebih aman untuk bekerja hanya berdasarkan petunjuk-petunjuk formal saja.
Bila memang itu yang terjadi, maka para pelaksana akan kehilangan kreativitas untuk memilih alternatif-alternatif sesuai dengan perkembangan yang dihadapi.
Pada gilirannya, laporan akan cenderung lebih banyak memenuhi petunjuk-petunjuk formal, kalau perlu dengan mengurangi atau melebih-lebihkannya dari keadaan yang sebenarnya.
Kemungkinan berikutnya, tolok ukur penilaian prestasi cenderung dikaitkan dengan keinginan-keinginan yang diharapkan tercapai, dan tidak dengan kenyataan-kenyataan obyektif yang dihadapi.
Bila hal ini ditambah pula dengan sikap penerima laporan yang lebih suka mendengar yang baikbaik saja, misalnya, maka akan lahirlah laporan yang tidak tepat. Laporan bisa kurang dari keadaan yang sebenarnya, atau bisa pula lebih.
Kembali kepada adanya laporan mengenai hama wereng yang tidak tepat, seperti diungkapkan Presiden tadi, tidak saja hal ini bisa menyebabkan kelirunya langkah yang diambil untuk mengatasinya. Tetapi, lebih dari itu, bisa pula membahayakan swasembada beras, andaikata laporan yang menutup-nutupi itu dijadikan dasar untuk mengambil langkah memberantas hama wereng.
Adanya laporan yang tidak tepat itu, tidak hanya patut mendapat perhatian setiap petugas yang harus memberi laporan dalam peristiwa hama wereng, tetapi juga oleh para petugas dan pejabat dalam bidang dan eselon manapun mengenai segala masalah yang dihadapi. Apalagi dalam perkembangan kita yang memprihatinkan seperti sekarang ini.
Untuk itu, dari pihak pelapor dan penerima laporan dituntut keberanian menghadapi kenyataan betapa pun buruknya. Kalau tidak, munculnya perkembangan yang di luar dugaan akan sulit mengelakkan dan mengatasinya. (RA)
…
Jakarta, Suara Karya
Sumber : SUARA KARYA (08/11/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 450-451.