KE KTT G-15 DAN MENULARKAN KEBERHASILAN RI

KE KTT G-15 DAN MENULARKAN KEBERHASILAN RI[1]

Jakarta, Suara Karya

Presiden Soeharto hari ini bertolak ke Dakkar, Senegal, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Grup-15. Konferensi ini diadakan setiap tahun. Tahun lalu di Caracas, Venezuela dan sebelumnya di Kuala Lumpur, Malaysia.

Setiap kali berlangsung KTT G-15, Presiden Soeharto berusaha hadir sendiri. Dan pada setiap KTT itu Indonesia selalu membawa gagasan bagi menggalang ketja sama lebih erat antara negara-negara berkembang.

Gagasan Indonesia umumnya selalu diterima sebagai kesepakatan dalam sidang G-15 dan dapat langsung direvitalisasikan.

“Buat apa kita membuat rencana bagus kalau tidak bisa dilaksanakan,” ujar Presiden.

Tahun lalu misalnya, Indonesia menawarkan bantuan konsultasi mengelola program keluarga berencana. Tawaran itu langsung mendapat sambutan dari negara-negara berkembang termasuk yang bukan anggota G-15.

Tawaran bantuan pengelolaan KB itu dilontarkan Indonesia setelah mempunyai pengalaman selama lebih dari 20 tahun mengelola KB dan hasilnya cukup memuaskan. Indonesia sebagai negara berkembang melihat persoalan negara-negara berkembang lainnya yang selalu kewalahan setelah mendapati perturnbuhan penduduknya tidak terkendali. Pertambahan penduduk yang tanpa kendali itu, menjadi berbahaya manakala pendapatan tidak turut meningkat. Akhirnya banyak negara berkembang berjalan menuju proses pemiskinan. Sebab berapapun hasil peningkatan produksi, pangan dan sebagainya habis terserap oleh penduduk. Bahkan makin lama kesempatan mendapatkan makanan, sandang dan perumahan makin sempit.

Jadi negara-negara berkembang yang tidak mampu mengendalikan perkembangan penduduk, akhirnya pembangunan yang dilakukan bukan mengarah kepada kemakmuran, tetapi menuju kepada jurang kemiskinan. Sekarang banyak contoh negara yang nyaris bangkrut, makin miskin dari keadaan sebelumnya.

Penduduk dan Pangan

Masalah pengendalian pertambahan penduduk memang bukan satu-satunya cara untuk meraih kemakmuran, tetapi merupakan salah satu upaya yang tidak boleh diabaikan. Program ini harus ada, sementara program lainnya juga harus dijalankan.

Masalah lainnya yang bagi banyak negara maju mungkin masalah ringan, tetapi bagi negara berkembang merupakan perjuangan hidup mati dalam pengadaan pangan. Penduduk negara kaya mungkin berucap,”Makan apa enaknya hari ini?”, Namun bagi penduduk negara miskin ucapannya bisa menjadi, “Apakah hari ini bisa makan?”.

Keprihatinan itu pernah dirasakan oleh Indonesia, dan kini telah lepas dari kesulitan yang mengerikan itu. Keberhasilan ini ingin ditularkan kepada negara berkembang lainnya. Oleh karena itu Indonesia dalam KTT G-15 yang lalu juga menawarkan bantuan dalam bentuk piranti lunak untuk meningkatkan tanaman pangan, Indonesia bersedia menularkan ilmu tentang bagaimana menjaga produksi pangan sekaligus meningkatkan produksinya.

Bantuan untuk itu biayanya cukup besar, padahal Indonesia sebagai negara berkembang belum mampu membantu pembiayaannya. Yang ada baru ilmunya, dan menularkan ilmu itu tidak bisa dilakukan tanpa biaya. Presiden Soeharto lalu menawarkan kemungkinan bantuan biaya dari negara pihak ketiga, yang tentunya diharapkan dari negara maju.

Ahli-ahli tanaman pangan Indonesia cukup banyak, mereka bisa dikirim ke negara yang memerlukannya. Atau kalau negara itu mau, dapat mengirim petani dan ahlinya ke Indonesia, karena banyak tempat di sini dapat digunakan sebagai lahan pelatihan.

Tawaran itu dilontarkan Indonesia pada KTT G-15 di Caracas tahun lalu. Banyak negara yang memang memerlukan bantuan seperti ditawarkan Indonesia itu segera menyambutnya. Senegal yang menjadi tuan rumah KTT G-15 ini misalnya telah mengirim beberapa petaninya untuk dilatih. Kelihatannya pelatihan petani Senegal itu memberi manfaat besar, sehingga Presiden Senegal Abdu Diouf ketika bertemu Presiden Soeharto di sela-sela kesibukan KTT Gerakan Non Blok September sempat menyatakan terima kasihnya.

Presiden Soeharto secara terbuka mempersilahkan negara-negara berkembang lainnya termasuk yang bukan anggota G-15 untuk mempelajari bagaimana Indonesia mengatasi masalah pangan. Contoh dari Indonesia itu menurut Presiden itu tidak perlu diterapkan sepenuhnya, tetapi setidaknya menjadi bahan perbandingan, lalu dicarikan cara yang cocok dengan keadaan setempat.

Indonesia lebih suka jika petani dari negara-negara yang menginginkan bantuan datang dan langsung mempelajari di lapangan. Sebab masalah tanaman pangan, apalagi pada tingkat petani penjelasan secara teori pasti lebih sukar diserap.

Mengatasi persoalan pangan bukan masalah yang sederhana, sesederhana menanam, memetik dan mengomsumsikannya. Dana yang dibutuhkan bagi pemenuhan, kebutuhan pangan rakyat satu negara cukup besar, karena diperlukan untuk mengadakan pupuk, pengolahan laban, menuai, menyimpan dan memproduksinya. Belum lagi masalah mendistribusikan . Jika tak becus, satu negara bisa tenggelam dalam gelombang inflasi karena tidak dapat, mengurus soal pendistribusian pangan. Sebab pangan merupakan, faktor yang cukup besar mempengaruhi angka inflasi, terutama di negara-negara miskin.

Pengelolaan Utang

Selain masalah pengendalian pertumbuhan penduduk dan pengadaan pangan, masalah lainnya yang amat penting bagi negara berkembang adalah pengelolaan utang. Dalam hal ini Indonesia mempunyai pengalaman yang cukup luas dan dalam waktu yang lama.

Pengalaman Indonesia mengelola utang ini termasuk yang ditawarkan dalam KTT G-15 yang lalu di Caracas. Indonesia tentu tidak berani memberikan piranti lunak dalam pengelolaan utang luar negeri, jika tidak mempunyai pengalaman pahit dan berhasil mengatasinya.

Cara-cara Indonesia mengelola dan memanfaatkan pinjaman luar negeri banyak dipuji secara internasional. Yang paling penting tentunya pujian dari negara atau badan­ badan pemberi pinjaman itu. Penghargaan dan pujian itu tentunya keluar setelah mereka menilai kemampuan Indonesia. Kini, Vietnam misalnya sedang belajar dari Indonesia mengenai pengelolaan utang luar negeri.

Indonesia bukannya tidak pemah menghadapi kesulitan dalam masalah pengembalian pinjaman itu. Kesulitan dalam hal pengembalian itu terutama akibat naiknya nilai mata uang asing selama jangka pinjaman. Memang tidak ada yang bisa disalahkan, tetapi nyatanya Indonesia terpaksa harus melunasi dalam jumlah yang jauh lebih besar dari nilai pinjaman awalnya. Beban depresiasi itu cukup berat, bahkan bagi negara yang sedang membangun beban itu menjadi batu sandungan yang bisa-bisa membuat tersungkur.

Namun Indonesia dengan berbagai upaya bisa lepas dan mengatasi kesulitan itu tanpa meminta penjadwalan pelunasan hutang. Inilah yang oleh banyak negara donor dan badan internasional dipuji sebagai keunggulan pemerintah Indonesia.

Bukan hanya depresiasi saja yang dapat menjerumuskan suatu negara berkembang, tetapi juga pinjaman-pinjaman komersial jangka pendek. Pinjaman komersial jangka pendek ini juga bisa membuat satu negara sulit mengembalikan pinjamannya, banyak negara bisa dijadikan contoh yang tersungkur akibat tetjebak oleh pinjaman jangka pendek itu, antara lain Brasil.

Indonesia pun hampir saja tersandung oleh pinjaman komersial jangka pendek itu. Namun sebelum membengkak sudah ditangkal dengan membangun benteng melalui bentukan pemerintah yaitu Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri.

Indonesia ingin agar negara-negara berkembang bisa membangun dan pandai mengelola pinjaman. Dengan demikian negara itu benar-benar bisa membangun untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya, dan mudah-mudahan pula terhindar dari berbagai pertikaian yang tidak perlu.

Stabilitas

Dalam berbagai forum internasional, Presiden Soeharto berusaha menyakinkan pemimpin-pemimpin dunia bahwa stabilitas nasional adalah kunci utama untuk memajukan negara itu. Dalam pertemuan-pertemuan bilateral Presiden Soeharto selalu memberi ide mengenai betapa pentingnya stabilitas itu. Sebab tanpa stabilitas tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali memperparah kehidupan rakyatnya.

Pertikaian yang tak ada sudahnya pada akhirnya bukan memunculkan pemenang yang perkasa tetapi hanya melahirkan tokoh-tokoh yang mudah rapuh.

Lantas bagaimana cara membangun stabilitas itu? Mungkin itulah kira-kira yang muncul di benak lawan bicara Presiden Soeharto. Stabilitas nasional itu memang indah bila diucapkan tetapi menciptakannya bukan hal yang mudah. Tapi Presiden Soeharto pasti punya jawaban bagi para pemimpin negara yang tergabung dalam G-15.

Sumber: SUARA KARYA(19/11/1992)

_________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 464-467.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.