Ke Tangga Pejabat Presiden

[Tampilnya Pak Harto sebagai Presiden RI kedua merupakan keniscayaan/ panggilan sejarah. Tudingan atau penggambaran sekelompok orang bahwa Presiden Soeharto sebagai sosok ambisius, dan merebut kekuasaan  dari Presiden Soekarno, tidak lain merupakan pengkaburan perilaku ambisius para penuding-penuding itu sendiri dalam berpolitik. Bedanya sangat jelas, kepemimpinan Pak Harto dapat dirasakan dengan jelas kemanfaatannya oleh rakyat dan berlangsung dalam rentang waktu panjang, karena kepemimpinannya didasari oleh kesungguhan dan keluguan motif, untuk berjuang bagi bangsa dan negaranya. Sementara para pejabat pasca kepemimpinannya justru banyak terjerat oleh problem jabatannya sendiri. Sebagaimana kaidah agama mengatakan “barang siapa meminta-minta/membeli jabatan, maka akan dibebani orang itu dengan jabatannya”. Mencuatnya peristiwa 1998 dan akhirnya Pak Harto mengundurkan diri bukanlah kenistaan bagi Presiden kedua itu. Melainkan keberanian mengambil risiko bagi seorang pemimpin dengan sikap tegas dan prinsip yang jelas yang diletakkan atas dasar otentisitas Pancasila dan UUD 1945, untuk membawa bangsanya tinggal landas (mandiri secara hukum, ekonomi, sosial-budaya dan hankam serta sejajar dengan peradaban-peradaban lain di dunia). Indonesia merupakan negara besar dan selalu berada dalam bayang-bayang dinamika geopolitik yang tidak sederhana. Pada tahun 1998, agenda tinggal landas itu dipenggal oleh kelompok-kelompok kepentingan internasional yang berkolaborasi dengan kalangan pragmatis dalam negeri dengan memanfaatkan krisis moneter. Penuturan berikut merupakan gambaran bagaimana suasana kebatinan Pak Harto ketika terus di desak untuk bersedia menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967]

Ke Tangga Pejabat Presiden [1]

Saya di dorong-dorong di tengah suasana konflik politik untuk tampil ke depan. Ada politisi yang tidak sabar akan perubahan dan pergantian pimpinan. Sampai-sampai mengusulkan supaya saya mengoper begitu saja kekuasaan negara. Usul tersebut langsung saja jawab: “kalau caranya begitu, lebih baik mundur saja.” Cara-cara seperti itu bukan cara yang baik. Merebut kekuasaan dengan kekuasaan militer tidak akan menimbulkan stabilitas yang langgeng. Saya tidak akan mewariskan sejarah yang menunjukkan bahwa di Indonesia ini pernah terjadi perebutan kekuasaan dengan kekuatan militer. Saya tidak mempunyai sedikitpun pikiran di benak saya, untuk melakukan coup atau gerakan yang bernoda. Gerakan serupa itu, menurut saya, tidak akan berhasil.

Pengangkatan Menjadi Pejabat Presiden
Pengangkatan Menjadi Pejabat Presiden

“Kalau Saudara-saudara mau begitu, silakan, tetapi saya tidak turut,” kata saya.

Akhirnya tidak ada yang berani lagi mendorong-dorong saya seperti itu. Akhirnya mereka tahu pendirian saya. Dan lalu mereka berkata, “Terserah kepada Pak Harto”.

Kalau kita memang harus atau mau konsekuen melakukan koreksi secara total terhadap kekurangan-kekurangan perjuangan pemimpin-pemimpin kita itu, kita harus mempunyai landasannya. Dan landasan itu adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Karena kita harus betul-betul melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara konsekuen.

Di saat itu sampai kabar kepada saya, bahwa Supardjo yang sekian lama berhasil bersembunyi, tertangkap. Ia kemudian diadili, dijatuhi hukuman mati karena kesalahannya dan hukuman terhadapnya itu dijalankan.

Dengan sidang pengadilan ini pun tidak terdapat bukti, bahwa Bung Karno terlibat dalam G.30.S/PKI.

Rapat-rapat panglima dari keempat angkatan dan anggota-anggota dari Rapat Presidium Kabinet yang penuh ketegangan dilangsungkan di bulan Desember 1966 dan awal Januari 1967. Dan kelegaan pun – walaupun sementara sifatnya- kami dapatkan, karena Presiden Soekarno bersedia melengkapi laporan “Nawaksara”-nya itu. Laporannya yang tertulis diserahkan kepada MPRS pada tanggal 10 Januari 1967. Di dalam laporan pelengkap itu Presiden Soekarno menyatakan bahwa “Gerakan 30 September” merupakan hal yang sangat mengejutkan dan tidak disangkanya. Diterangkannya juga, bahwa pengutukannya kepada “Gestok” dalam laporan yang sudah diajukan lebih dahulu kepada MPRS ditujukan pada pembunuhan jenderal-jenderal, dan beliau mengakui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya percobaan kudeta adalah kebingungan pemimpin-pemimpin PKI. Tidak dilewatkannya mempermasalahkan subversi Nekolim dan unsur-unsur jelek yang tidak dirincinya ada dan siapa dalam hal ini.

*

Satu hal yang dilupakan banyak orang di ibukota, tapi yang saya perhatikan benar, adalah bahwa Jakarta dan Bandung waktu itu tidak mencerminkan keseluruhan Indonesia. Mencerminkan seluruh Jawa pun tidak.

Di bulan-bulan terakhir 1966 dan permulaan 1967 di ujung Jawa sebelah timur hidup pula semangat untuk ambil bagian dalam merapikan suasana. Tokoh-tokoh dari “Keluarga Besar Brawijaya” berusaha menyumbangkan pikiran dan mengadakan hubungan dnegan pucuk pimpinan negara di Jakarta.

Usaha dengan bercermin pada cerita pewayangan “Begawan Abiyasa” pun ditempuh. Jenderal Sarbini datang pada saya, menyampaikan maksudnya menemui Bung Karno. Saya setujui, karena mengenal Jenderal Sarbini sebagai seorang yang sering menyampaikan pikirannya kepada Bung Karno dengan tidak perlu menyinggung hatinya.

Sementara itu kelompok lain dari Jawa Timur menghadap Bung Karno. Tentu bukan semata-mata memperkenalkan “Keluarga Besar Brawijaya”. Sarbini tidak ikut dalam kelompok yang kedua ini, tetapi nampak-nampaknya pertemuan dengan Bung Karno pada tanggal 5 Februari, bagaimana pun, menghasilkan sesuatu yang mendorong mengubah pikiran Bung Karno.

***

Pada tanggal 7 Februari 1967 saya menerima Mr. Hardi dari PNI. ternyata ia membawa dua pucuk surat dari Bung Karno. Satu yang disebut rancangan “Surat Penugasan” dan satunya lagi “nota pribadi” kepada saya yang sengaja diititipkannya kepada pembawa surat itu. Nota Pribadi itu menjelaskan naskah “Surat Penugasan” itu.

Diterangkan dalam nota pribadi itu, bahwa hal-hal yang tercantum dalam “Surat Penugasan” itu akan dinyatakan di depan Sidang Badan Pekerja MPRS, di mana Presidan akan memberikan penjelasan singkat untuk ikut meredakan situasi gawat pada waktu itu, jika saya dapat menyetujui “Surat Penugasan” itu. Dinyatakannya juga harapannya supaya saya bersedia datang menemuinya untuk membicarakan segala sesuatu mengenai naskah itu.

Rencana nasakah “Surat Penugasan” itu, yang akan dibacakannya nanti di Sidang MPRS menyebutkan bahwa Presiden menugaskan khusus kepada Pemegang SP 11 Maret 1966, untuk memegang Pimpinan Pemerintah sehari-hari dengan dibantu segenap aparatur pemerintahan, khususnya bagi Panglima Angkatan Bersenjata. Diterangkannya juga, bahwa dalam melaksanakan tugas itu, Pemegang SP 11 Maret 1966 harus selalu mengadakan konsultasi yang erat dengan Presiden sehingga wewenang dan tugas kewajiban sebagaimana terkandung dalam ketetapan MPRS 1966 dapat dilaksanakan dengan sempurna.

*

Pada waktu itu beberapa orang pemimpin partai politik datang di rumah saya membicarakan situasi. Lalu mereka mendesak supaya saya mau maju, memimpin negara, menggantikan Presiden Soekarno. Begitu pula beberapa kolega, jenderal-jenderal, mengajukan hal yang sama.

Saya berterus terang kepada mereka, saya tidak mempunyai keinginan untuk menjadi Presiden.

Saya pun mengukur diri saya. Saya mengenal dengan baik diri saya. Menurut saya waktu itu, saya tidak mempunyai kemampuan menduduki kursi yang begitu tinggi.

Ajakan dan penolakan silih berganti dengan berbagai cara.

Tanggal 20 Februari 1967 Presiden memanggil para Panglima dan saya pun hadir dalam pertemuan yang sangat serius itu.

Pertukaran pikiran yang menegangkan mengisi suasana pertemuan itu. Cukup melelahkan, lebih sulit daripada mendaki gunung yang terjal.

Kami mengusulkan dengan hormat, agar Bung Karno tetap menjadi Presiden, tetapi dengan menyatakan diri tidak sanggup melakukan tugas, artinya tidak lagi duduk dalam kekuasaan seperti sebelumnya.

Bung Karno tidak mau. Tetapi kemudian, dengan dukungan dari Panglima angkatan lain, di luar Angkatan Darat, Bung Karno menyetujui untuk mengalihkan kekuasaan pemerintahan kepada saya pada hari itu juga, dengan ditegaskannya, bahwa saya harus melaporkan pelaksanaan tugas itu bila dirasa perlu. Saya terima keinginan Presiden, hasrat orang tua itu.

Usai pertemuan itu Bung Karno menonton wayang, sementara saya merenungkan beban tugas yang berat.

Maka dengan ini terselesaikanlah konflik politik yang selama hampir setahun mengungkung kita. Sedikitnya satu periode yang sangat tidak menyenangkan lewat sudah.

*

Di hari-hari itu desakan kepada saya tidak berhenti sampai disana. memang situasi mendesak. Tokoh-tokoh politik dan ABRI mengulangi lagi persoalan kedudukan Presiden itu dan mendesak saya lagi. Mereka mencoba meyakinkan saya.

Saya waktu itu mengenal diri saya sendiri. Saya tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas seberat itu. Begitulah gambaran saya mengenai diri saya waktu itu.

Saya jelaskan, saya tidak pernah mempersiapkan diri untuk memangku jabatan Presiden. Saya berterus terang, jangankan mendapat pendidikan untuk itu, mimpi pun tidak pernah.

Tetapi mereka kukuh dengan mengatakan bahwa tidak ada orang lain selain daripada saya yang mereka lihat.

“Tidak ada yang lain, kecuali Bapak,” kata mereka berulang kali. Tentu saja saya berfikir, “apakah benar tidak ada orang lain?. Masakan tidak ada orang lain!”.

“Apa Saudara percaya kepada saya?”, tanya saya berulang kali. “Apa Bapak mempercayai saya? Apakah tidak ada orang lain?”, tanya saya kepada pemimpin-pemimpin partai politik itu.

“Tidak ada yang lain, kecuali Bapak,” jawab mereka.

Waktu mereka menunjukkan dengan sungguh-sungguh, dengan sinar mata yang ikhlas dan nampak keluar dari rasa yang tulus, disambung lagi dengan menyebutkan bahwa hal itu adalah untuk kepentingan rakyat, saya merasa ditantang. Pikiran saya diuji dan harga diri saya merasa tergitik. “Kalau menolak, itu berarti takut,” pikir saya. “Takut untuk membela kepentingan rakyat? Mustahil saya harus mundur karena ini.”

Kemudian dorongan itu bertambah keras lagi. Ajakan itu bertambah berulang kali.

Dan akhirnya, sekalipun saya nyatakan saya tidak pernah menyiapkan diri untuk itu, dan mampu untuk itu, saya toh dipercayai untuk memikul tugas yang berat itu. Mereka melihat kepada saya, pasti bukan karena saya seorang politikus atau bukan politikus. Bukan karena saya dilihatnya mempunyai atau kurang mempunyai pengetahuan yang pantas untuk itu. Merekapun tahu benar latar belakang saya. Saya tidak pernah mendapat didikan untuk itu. Ambisi pun saya tidak pernah punya untuk itu. Tapi mereka percaya kepada saya. Kepercayaan itulah yang jadi kunci mengapa pintu hati saya jadi terbuka untuk mengatakan “ya” pada akhirnya. Tapi begitu pun, saya menyetujui mereka dengan syarat.

Kepercayaan kepada saya yang ditunjukkan oleh berbagai pihak terus mendesak saya. Dan kemudian saya melihatnya, itu adalah modal saya untuk memikul tugas besar ini.

Kepercayaan itu mesti saya tanggapi. Dan akhirnya saya jawab dengan mengatakan, bahwa saya akan mencoba.

Satu-satunya jawaban mengapa saya berani memikul tanggung jawab yang begitu besar adalah kepercayaan yang diberikan kepada saya itu. Kepercayaan, itu harus saya hargai. Seperti juga pada waktu-waktu yang lampau, sewaktu saya diberi tugas memimpin lapangan. Sewaktu diangkat jadi Panglima, sewaktu menghadapi “Trikora”.

Saya katakan, “Kalau benar ada kepercayaan kepada saya, akan saya coba. Boleh saya memenuhi desakan Saudara-saudara, Bapak-bapak, tetapi dengan syarat: sebagai pejabat saja dulu. Untuk satu tahun.”

Dalam kesempatan itu ada yang bicara, “boleh, sebagai pejabat saja dulu. Tetapi setelah itu hendaknya Bapak sedia juga untuk jadi Presiden penuh”.

Saya tegaskan sekali lagi, “Sebagai Pejabat Presiden saja dulu”.

Begitulah akhirnya tawar menawar antara saya dengan tokoh-tokoh politik dan beberapa jenderal, kolega saya itu. Kesepakatan pun di dapat: Saya menerima untuk menjadi Pejabat Presiden selama satu tahun. Masa itu kita pergunakan untuk saling menimbang, apakah saya mampu, apakah di tengah jalan tidak ada perubahan pikiran, tidak ada perubahan pilihan. “Kalau nanti ternyata saya tidak berhasil,” kata saya lagi kepada mereka yang mendesak saya, “ya, pilihlah lagi orang lain.”

Pikiran saya yang begitu, akhirnya diterima, yaitu tidak menjadi Presiden, melainkan sebagai Pejabat Presiden, untuk satu tahun.

*

Sementara itu, untuk mengatasi serba aneka pikiran di tengah masyarakat dan di lingkungan ABRI, khususnya AD, saya mengambil inisiatif mengadakan pertemuan dengan sekitar 500 perwira senior di bulan Februari 1967. Saya memberikan penjelasan di depan mereka tentang apa yang terjadi.

Malam harinya saya menyampaikan pidato ke seluruh pelosok tanah air. Saya memelihara ketenteraman.

Lalu kami adakan pertemuan dengan Badan Pekerja MPRS, kemudian saya memberikan penjelasan lagi kepada rakyat melalui pers. Saya tidak ingin terjadi kekacauan semata karena keputusan yang diambil secara tergesa-gesa.

Ada orang yang tidak melihat usaha saya dalam mengambil keputusan. Maka ia menilai sifat saya itu seolah berdasarkan pegangan alon-alon asal kelakon. Ya alon-alon asal kelakon, tetapi jangan melihat alon-nya saja, melikat kelakon yang menjamin hasil. Bukan hanya kelakon (terlakukan), tetapi kelakon yang membawa hasil.  Kalau cepat-cepat, bisa-bisa kebat tapi keliwat. Memang dapat cepat-cepat, tetapi kelewat, tidak berhasil. Maka lebih baik pelan tapi pasti berhasil daripada cepat-cepat tetapi tidak berhasil.

Itulah perhitungan dengan semasak-masaknya. Itulah pegangan saya sewaktu akan mengambil keputusan.

Bersamaan dengan itu DPR-GR secara aklamasi memutuskan suatu rencana untuk mengangkat saya sebagai satu-satunya calon untuk Pejabat Presiden, yang dibawa ke Sidang Istimewa MPRS.

*

Sekali saya menerima tantangan itu, jiwa pejuang saya muncul. Perasaan itu hidup pada diri saya. Dan tantangan itu harus saya jawab dengan bukti tanggung jawab penuh, seperti di waktu-waktu yang sudah. Kalau saya menolaknya, itu berarti saya takut. Padahal ini untuk kepentingan rakyat. Maka saya harus berani berkorban untuk kepentingan orang banyak. Bukankan telah saya tunjukkan hal yang serupa di masa-masa lampau? Sampai sekarangpun saya bersikap demikian.

Tentu saja saya punya perasaan, bahwa saya harus membuktikan segala kemampuan saya. Kepercayaan wakil-wakil rakyat kepada saya tidak boleh saya lalaikan. Saya tidak boleh mengecewakan mereka. Tapi kalau pada suatu waktu, melalui jalan yang benar dan sah mereka mencabut kembali kepercayaan itu dari saya, dengan senang hati akan saya serahkan. Saya tidak akan mempertahankan kedudukan saya, apalagi mempertahankannya dengan mempergunakan kekuatan senjata. Sama sekali saya tidak akan berbuat seperti itu !. Hendaknya jangan ada yang mengira, bahwa semenjak saya jadi Pejabat Presiden lalu langsung saya mempergunakan segala kekuasaan, segala wewenang yang ada pada saya itu untuk mempertahankan kedudukan saya. Nah, di sini kadang-kadang kelihatan ada orang yang bingung. Ia salah kira. Ia keliru menilai saya.

Maka dengan sendirinya saya berunding dengan istri. bagaimanapun juga, apa yang akan saya hadapi tidak akan terlepas dari keluarga. Pahit getir hidup saya tentu akan sangat mempengaruhi hidup keluarga, istri dan anak-anak. Jadi, pada waktu itu, saya sampaikan kepada keluarga bahwa saya akan dipercaya oleh rakyat untuk menduduki kursi tertinggi itu. Dan kami harus menerima, harus siap untuk memberikan pengorbanan dengan rela bilamana diperlukan.

Istri saya sepaham. Istri saya juga pejuang. Kami sependirian, bahwa kalau ada sesuatu perbuatan baik yang harus kita lakukan, kita harus menerima tugas itu.


[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 1989), Hal. 185-192)

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.