Kehormatan Mantan Presiden

Jakarta, 25 November 1998

Kepada

Bapak H. M. Soeharto

Jl. Cendana No. 8

di Jakarta

KEHORMATAN MANTAN PRESIDEN [1]

Assalamu’alaikum wr. wb.

Perkenankanlah saya selaku seorang warga negara Republik Indonesia menyampaikan nurani saya di tengah derasnya arus yang menghujat Bapak H. M. Soeharto, Mantan Presdien Republik Indonesia.

Hujatan terhadap Bapak akhir-akhir ini sudah sangat melampaui adab dan batas budaya kita sebagai bangsa yang arif, sopan santun.

Memang benar kita dalam era informasi yang penuh kebebasan, tetapi kebebasan mempunyai batas. Salah satu batasnya adalah kehormatan seseorang, apalagi kehormatan seorang mantan Kepala Negara.

Akhir-akhir ini ramai tuntutan kepada Bapak, baik dari orang se­orang maupun dari kelompok.

Dengan penuh hormat dan ikhtifar kepada Allah, saya mohon agar tidak terealisir tuntutan untuk mengadili Bapak. Pertimbangannya adalah kehormatan Mantan Presiden/Kepala Negara dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Sebagai bahan pertimbangan lain, adalah konvensi kenegaraan yang diberikan H. M. Soeharto kepada kita, pada tahun 1967 sampai 1968. Betapa keras dan gencarnya tuntutan terhadap Jenderal Soeharto selaku Pj. Presiden agar menyeret dan memahmilubkan Dr. Ir. H. Soekarno. Tetapi hal ini tidak direalisir. Dan pada pidato menyambut tahun baru 1968 dikatakan bahwa tahun 1968 adalah Tahun Batas Kesabaran Rakyat. Meskipun kesabaran rakyat sudah sampai pada batasnya waktu itu, namun Pj. Presiden lend. Soeharto secara arif politis dan bijaksana tidak menyeret ke Mahmilub Dr. Ir. H. Soekarno mantan Presiden Republik Indonesia I (Pertama) untuk diadili sampai akhir hayatnya.

Meski ada landasan hukumnya yaitu pasal 4 Tap MPR No. XII TAP/MPR.1998 namun dalam prakteknya dan doktrin hukum tidak semua hal dapat dituntut di depan pengadilan. Pertimbangannya ada­lah, jika sesuatu yang akan diajukan ke pengadilan tersebut akan mem­bawa perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa, membahayakan tatanan yang ada, dalam hal ini dapat dideponir atau dibiarkan berlalu seiring dengan berjalannya waktu, karena pada umumnya rakyat dan bangsa Indonesia pemaaf.

Kemudian di samping penerapan asas praduga tidak bersalah, tidak kalah pentingnya kita pertimbangkan Hak Asasi Manusia dalam hal ini hak asasi seorang mantan Presiden/Kepala Negara. Pada dirinya sampai kapanpun melekat harkat dan martabat seorang Presiden yang Nota Bene di dalam dirinya tersimpan banyak rahasia kenegaraan yang apabila kebablasan menghujatnya, sarna dengan membalikkan seluruh gerbong kereta api, meski lokomotifnya sudah diganti baru.

Berdasarkan pemikiran dan tauladan yang pernah diberikan dalam praktek kenegaraan tersebut di atas, mohon kepada Bapak Presiden berkenan mempertimbangkan permohonan kami yang lugu ini kiranya kita bersama punya niat tulus dan ikhlas untuk tetap menjaga kehormatan setiap mantan Presiden demi kehormatan negara dan bangsa Indonesia. (DTS)

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Tagor Muda Harahap, SH

Bekasi Barat

[1]       Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 650-651. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.