KEJUJURAN INTELEKTUIL YANG DIPERLUKAN PEMBANGUNAN

HM Soeharto dalam berita

KEJUJURAN INTELEKTUIL YANG DIPERLUKAN PEMBANGUNAN [1]

 

Oleh: Drs. Soetrisno Saleh

 

Jakarta, Merdeka

Presiden Soeharto sering mengemukakan perlunya kritik2 konstruktip untuk menunjang suksesnya pembangunan. Juga koreksi terhadap kebijaksanaan pembangunan diharapkan. Kebebasan mengemukakan pendapat tetap dijamin dan kritik yang konstruktip tetap diharapkan. Karena tanpa kebebasan dan tanpa ada kritik, tak akan mungkin kreativitas berani muncul. Para ilmiawan pun di minta partisipasinya. Jangan membiarkan ilmu hanya untuk ilmu, tapi seyogyanya diamalkan kepada masyarakat. Penghayatan Pancasila juga sangat diharapkan, karena sampai sekarang beliau katakan bahwa Pancasila baru kita miliki tetapi belum kita hayati dan amalkan. Oleh karena itu Pancasila pun perlu dibahas secara ilmiah.

Berbicara tentang partisipasi pembangunan dan tentang mengamalkan ilmu, untuk setiap orang relatip, tergantung kepada tingkat kemampuan, kesempatan, lingkungan ketja dan kejujurannya serta kemujurannya. Dan khusus tentang kemampuan ilmiah relatip tergantung kepada tingkat pendidikan dan ketekunan seseorang memperdalam sendiri ilmu dan pengetahuannya dari banyak membaca.

Kemampuan ilmiah tidak tergantung kepada kehebatan ijazah, tetapi kepada kepekaannya melihat kejanggalan2 dan kepekaannya melihat problema2 untuk dipecahkannya. Tergantung kepada keakraban dan kesungguhannya bergaul dan berdialog kepada para ahli, yang diwakili oleh buku2 yang telah ditulisnya. Tergantung dari kerajinannya membaca buku. Tetapi lepas dari tinggi rendahnya pendidikan seseorang, yang paling menentukan partisipasinya dalam pembangunan adalah sikap ilmiahnya. Sikap ilmiah itu ditentukan oleh kejujuran intelektuil, bukan ditentukan oleh ijazah2nya. Seseorang tamatan Sekolah Menengah Pertama pun dapat bersikap ilmiah, kalau ia punya kejujuran dan ketekunan. Karena pola berfikir dengan methode ilmiah sudah diajarkan sejak kita duduk dibangku SMP.

Sekali Lagi Sikap Ilmiah

Bersikap ilmiah atau bermata ilmiah sama sekali bukan sok-sokan. Bukan muluk2 sebaliknya “ilmiah” adalah sederhana memakai cara, menurut sesuatu sistim berfikir, sistimatis, mempergunakan urut-urutan logis. Tidak ngawur atau awut-awutan alias semau gue saja. Artinya, sama sekali tidak sok-sokan. Seseorang yang mempunyai kejujuran, intelektuil dapat dipastikan mempunyai sikap ilmiah. Dan sikap ilmiah itu ditandai oleh obyektipitasnya mengemukakan pendapat dan buah fikiran. Pendapat semacam itu selalu kritis. Maka karena itu tak boleh tidak musti disertai kritik2.

Lebih2 kalau yang dikemukakan itu menyangkut masalah ilmu sosial, maka kritik2 itu tak dapat tidak menyangkut perilaku manusia. Dan selama kritik2 itu ditujukan untuk partisipasi pembangunan didalam hubungan dengan mengamalkan ilmu pengetahuan, maka semustinya diterima dengan secara obyektip pula. Tanpa memanipulasikan prasangka2.

Hukum DROR mengatakan: Peranan para warga negara didalam (menunjang) penyusunan kebijaksanaan akan merosot atau menghasilkan kebijaksanaan paling buruk, terkecuali apabila kapasitas para warga negara untuk menelaah serta mempelajari seeara kritis aneka ragam masalah2 kebijaksanaan meningkat betul2. DROR pun menegaskan, bahwa kebijaksanaan pembangunan pada negara yang sedang membangun (berkembang) harus dianalisa setiap saat, secara periodik.

Berbeda dengan pada negara maju. Karena pada negara berkembang perubahan2 sosial itu sangat pesatnya, maka apa yang tadinya kita perkirakan betul selalu dikejar oleh waktu, menjadi tidak sesuai lagi dengan tuntutan perubahan sosial yang pesat itu. Oleh sebab itu diperlukan analisa2 kebijaksanaan setiap saat. Karena itu diperlukan kritik2.

Maka seyogyanya para penguasa malahan senang dan gembira menerima kritik; seperti halnya yang diharapkan oleh Presiden diatas. Selanjutnya juga dari para penguasa diharapkan sikap ilmiah dan kejujuran intelektuil. Bagaimana perkembangan Perusahaan Negara dan Koperasi hasil pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen itu?

Dr, Emil Salim beberapa bulan lalu pernah berkata kira2: “Kaum ilmiawan hendaknya jangan hanya menjual ilmunya kepada majikan yang membayarnya, tetapi harus secara jujur mengamalkan ilmu itu kepada masyarakat, karenanya mereka harus peka mendengarkan suara hati masyarakat”.

Dr. Soemitro Djojohadikusumo pernah berkata: “Pemilihan tehnologi melalui entrepreneurial behavior, khususnya melalui transnational corporation, belum tentu sejalan dengan pemilihan tehnologi secara tepat bagi kebutuhan pembangunan. Oleh karena itu secara menyeluruh diperlukan suatu pendekatan yang lebih rasionil dan komprehensip terhadap masalah pemindahan tehnologi”.

Sedangkan Dr. Ibnu Soetowo pun pernah berkata kira2:

“Bahwa pemindahan tehnologi baru melalui perusahaan2 penanam modal asing (MAC) sangat mahal biayanya. Tehnologi itu harus dibeli dengan harga sangat mahal, sedangkan tidak seluruhnya tehnologi itu mereka serahkan secara rela”.

Gunar Myrdal, ahli ekonomi dan sosial terkenal telah banyak pendapat2nya yang dikutip atau diulas oleh ahli-ahli ekonomi kita. Yang diantara pendapatnya itu mengatakan kira2:

“Kelemahan negara2 berkembang didalam membangun ekonomi mereka ialah, walaupun pembangunan digalakkan katanya untuk tujuan meningkatkan kemakmuran yang merata, tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah “ketidak merataan” pendapatan. Sebab2 yang pokok karena sikap2 dan perbuatan2 yang tidak menghargai hukum disamping masih kuatnya cara berfikir feodal. Yang memberikan ciri kepada negara2 berkembang sebagai negara lembek (soft state, soft nation)”.

Salah seorang penulis pada Harian Merdeka, sdr. Taufik Moh. Daud yang beberapa kali mengemukakan pendapat2nya tentang ekonomi, mengulas secara panjang lebar sejarah ekonomi, mazab demi mazab pada negara2 barat pada umumnya, kemudian juga mengulas banyak contoh2 kebijaksanaan ekonomi yang pernah ditempuh oleh Jerman, Amerika dan lain2. Yang semuanya menyimpulkan, bahwa dalil2 atau theori2 ekonomi itu kebenarannya selalu berubah menurut keadaaan, tempat, waktu dan kondisi sosialnya. Maka mengimpor doktrin ekonomi neo liberal oleh negara2 berkembang, yang tingkat pertumbuhan ekonomi dan sosialnya masih belum merata dapat menimbulkan divergensi dan ketegangan2 yang merintangi pembinaan kesatuan bangsa dan pembentukan masyarakat yang rukun damai.

Dilain hal John E. Griggs didalam bukunya yang berjudul: Evaluating Marketing Change An Application of System Theory (1971), mengutip pendapat Gardner Ackly seperti berikut:

“Ackly berpendapat, bahwa pertumbuhan negara maju dapat dianalisa hanya dengan mempergunakan konsep ekonomi saja (economic tool alone). Akan tetapi untuk pertumbuhan pada negara berkembang bagaimana juga dinyatakan, bahwa : konsep2, theori2 dan pandangan ahli2 masyarakat, ahli2 politik, antropolog, ahli2 ilmu jiwa, insinyur2 dan ahIi2 pendidik, sangat penting dan tak boleh diabaikan.”

Jangan Mementingkan Golongan dan Diri Sendiri

Apakah makna yang dapat kita petik dari pendapat ahli2 diatas?. Pendapat2 itu polos danjujur. Para ilmiawan pada suatu ketika dapat keliru mengetrapkan teorinya, akan tetapi apabila kemudian teorinya itu menghadapi kenyataan yang berlainan, berupa kebenaran paling baru, maka kebenaran baru itu yang diakuinya. Sebagai orang2 yang setia kepada Pancasila kita bangsa Indonesia semestinya cukup punya moral, yaitu cerminan daripada akhlak dan adab yang dimaknakan oleh sila KeTuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; untuk memiliki kejujuran intelektuil.

Pertumbuhan ekonomi tidak  semata-mata  dapat  diukur  dengan “economis tool” berapa GNP saja bagi bangsa yang berPancasila, tetapi makna daripada pasal 33 UUD 45 yang menghendaki keadilan social

tak boleh diabaikan. Dan sistim atau doktrin ekonomi neo liberalisme sudah pasti tidak sesuai dengan doktrin ekonomi sosialisme religius, yang tercantum didalam UUD 45. Dan bagi negara berkembang seperti Indonesia, prioritas pembangunan ekonomi  pedesaan, dimana terdapat 80 % penduduk yang termasuk golongan ekonomi lemah, kiranya tidak keliru, jika diutamakan.

Karena meningkatkan pendapatan kira2 seratus juta orang yang sangat miskin; miskin dan setengah miskin itu adalah merupakan tujuanrevolusi kemerdekaan 31 tahun yang lalu. Peningkatan pendapatan golongan miskin mana sekarang juga dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa2 Yang   berarti Pancasila lebih unggul daripada doktrin manapun, jika kita betul2 melaksanakannya secara murni dan konsekwen. Terbukti rumusan2 di dalam UUD 45, 31 tahun yang lalu, sekarang ditiru oleh dunia. Hanya sayangnya diantara kita sendiri ada yang mengimpor doktrin neoliberalisme. Dan sayangnya pula didalam membentuk Tata Ekonomi Dunia Baru kita kurang punya keberanian untuk menganjurkan sistim ekonomi Pancasila.

Akhirnya sebagai penutup kita harapkan kepada semua fihak, jika kita diharapkan untuk mengamalkan Pancasila sekaligus mengamalkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat buat menunjang partisipasi pembangunan, seyogyanya ada kejujuran intelektuil dari semua orang. Dan jangan hendaknya memanipulasikan pendapat2 ilmiah untuk keperluan mempertahankan sesuatu interest. Misalnya saja interest kekuasaan. Negara kita ini kepunyaan kita bersama, bukan kepunyaan perorangan atau partai atau golongan2.

Rakyat kecil yang miskin yang jumlahnya berpuluh-puluh juta, bahkan yang hidup dibawah tingkat kemiskinan kira2 50-60juta, orang itu juga ikut memiliki negara ini. Marilah kita pandai2 mengendalikan diri, untuk tidak terbawa nafsu untuk kepentingan diri sendiri dan golongan sendiri. Melainkan lebih memperhatikan kepentingan umum. Khususnya kepentingan golongan miskin, yang membutuhkan pertolongan. (DTS)

Sumber :  MERDEKA (06/08/1976)

 

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 76-79.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.