KERUSUHAN PANIAI KARENA KURANG KOMUNIKASI[1]
Jakarta, Republika
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara TB Silalahi melaporkan kerusuhan di Paniai, Irian Jaya, kepada Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Jakarta, kemarin (17/7).
“Presiden mengatakan Pemda kurang memperhatikan komunikasi.” katanya.
Selama dua hari, 2-3 Juli, di Nabire, ibu kota Paniai, terjadi kerusuhan akibat isu di sekitar penerimaan Pegawai Negeri Sipil di Pemda setempat. Pada tahun anggaran 1996/1997, untuk seluruh Irja akan diterima 2.000 pegawai baru. Khusus untuk Paniai akan diterima 200 orang. Padahal yang mendaftar 3.000 orang.
Tapi jumlah 200 orang itu diisukan sebagai telah ditentukan para pegawai yang bakal lolos. Akibatnya, sekitar 3.000 orang yang, akan ikut seleksi membakar Gedung DPRD, Lembaga pemasyarakatan, dan merusak rumah dinas bupati serta sejumlah sarana umum lainnya. Para tahanan pun dilepas. Kerusuhan ini diperkirakan menimbulkan kerugian Rp 1,4 miliar.
“Ngamuknya kebangeten.” kata Silalahi.
Menurut Silalahi, membakar gedung DPRD maupun membobol penjara sama sekali tak memiliki kaitan dengan masalah penerimaan pegawai negeri. Ia menduga ada yang memanfaatkan situasi itu.
“Bapak Presiden maupun saya pun mengimbaulah, terutama masyarakat kita itu, sambutlah itikad baik daripemerintah pusat itu.” katanya.
Ia mengakui pihakny a telah menegur Pemda setempat, kendati tidak langsung.
“Kita teliti du1u apa penyebabnya. Apa betul-betul bersalah atau tidak. Kan ada prosesnya.” jawabnya. Menurutnya, Presiden maupun pemerintah sangat memperhatikan pembangunan sumber daya manusia maupun pembangunan wilayah di Irian Jaya. Presiden berpesan agar Pemda setempat bisa menjelaskan kepada rakyat dengan sebaik-baiknya.
Masalah komunikasi itu muncul mungkin karena Pemda memakai tolok ukur di Jawa dalam memberikan penjelasan kepada rakyat. Padahal untuk wilayah di sana masih memerlukan cara-cara khusus.
“Mereka kurang puas, nah ini lalu memperalat.” kata Silalahi. Tapi sekarang masalah itu sudah berlalu dan tes seleksi pun sudah dilakukan.
Pada sisi lain, katanya, ada gejala membanding-bandingkan kondisi di sana dengan di Timtim.
“Jangan memperbandingkan.” kata Silalahi.
Untuk itu ia menerangkan tentang kampung halamannya, Tapanuli Utara. Jika dibanding-bandingkan, katanya, kampung halamannya lebih miskin dari Kabupaten Manokwari, Irja. ltu bisa dilihat dari pendapatan asli daerah (PAD).
“Padahal, orang Batak itu sejak dulu ada yang jadi pangab, menterinya juga ada.” kata Menpan.
Menurutnya, pemerintah tak pernah membeda-bedakan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Semua daerah diberi kesempatan yang sama. Di samping mendapat bimbingan juga memperoleh subdisi daripemerintah pusat. Tiap daerah juga diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi daerah itu sendiri.
“Nah itulah yang agak vokal disuarakan pemuda tertentu dari Irian Jaya yang suka membanding-bandingkan dengan daerah lain.” kata Silalahi.
Presiden, kata Menpan, meminta Pemda tanggap terhadap masalah seperti itu.
“Kan harusnya Pemda mengerti situasi masyarakatnya sendiri. Komunikasinya barangkali kurang.” kata Menpan.
Di sisi lain ia mengakui sulitnya menempatkan tenaga dari luar di sana, contohnya untuk guru SD.
“Coba suruh orang Batak di gunung sana kan nggak bisa. Paling-paling cuma tahan enam bulan, pulang lagi dia ke Sidikalang atau ke Medan.” kata Silalahi.
Sumber : REPUBLIKA (03/09/1996)
__________________________________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 81-82.