Melayani Surat-surat Anak-anak

Melayani Surat-surat Anak-anak [1]

Saya suka meluangkan waktu untuk membaca dan mendengarkan pembantu saya membacakan surat-surat yang sifatnya bukan dinas. Saya menaruh perhatian pada surat-surat yang dilayangkan oleh anak­ anak kepada saya. Ada yang dari anak-anak Indonesia, ada yang dari anak-anak asing. Lucu-lucu. Segar-segar. Ada yang menanyakan mengapa harga buku sejenis “Lima Sekawan” cepat naik, padahal mereka memerlukan buku-buku bacaan  itu.  Banyak  yang menunjukkan simpati kepada saya dan meminta dikirimi toto saya bersama istri saya.

Ada yang lugu, seperti surat dari seorang anak dari Kabupaten Deli­Serdang. Katanya, “Sebenarnya saya sudah lama sekali ingin mengirim surat kepada Bapak, tetapi saya tidak tahu alamat Bapak yang jelas. Dan saya takut kalau-kalau surat saya ini nyasar ke tangan polisi dan kemudian saya dipanggil. Saya akan mendoakan Bapak supaya Bapak terpilih lagi menjadi Presiden. Saya kagum sekali melihat Bapak sebagai Kepala Negara Mengapa Bapak bisa menjadi Presiden?” tulisnya. Ia pun bertanya, apakah sejak kecil saya bercita-cita ingin jadi Presiden? “Apakah rakyat biasa seperti saya ini bisa menjadi Presiden ….?” tanyanya.

Saya suruh pembantu saya menjawab surat dari anak itu. “Saya pada waktu kecil, tentunya, tidak terlepas dari lingkungan,” jawab saya. “Sebagaimana kamu ketahui, saya ini anak petani. Jadi, saya tidak mempunyai cita-cita menjadi Presiden. Dan pada waktu itu saya belum tahu Presiden itu apa. Tetapi karena pada waktu Revolusi 1945 saya ikut berjuang, kemudian karena sejarah dan karena rahmat Tuhan Yang Maha Esa, saya mendapat kesempatan dan dipercaya untuk menjadi Presiden.”

Apakah rakyat biasa seperti anak itu bisa menjadi Presiden? Saya jawab, “Dapat saja. Buktinya, adalah saya sendiri. Saya ini juga anak orang kecil. Kalau kamu memang mempunyai cita-cita ingin menjadi Presiden, tentu saja ada syaratnya, yakni kamu harus belajar dengan tekun dan bekerja keras di samping membantu orang tua dan sebagainya. Tetapi, segala sesuatu memang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa,” jawab  saya.

Kepadanya saya kirimkan foto saya bersama istri saya. Dan sekian banyak lagi surat dari anak-anak yang saya balas. Dan sekian banyak lagi foto saya bersama istri saya yang saya kirimkan kepada anak-anak yang meminta, yang berada di pelbagai pelosok tanah air dan di luar negeri.

Sebagian besar dari surat-surat itu menanyakan, bagaimana saya bisa belajar semasa kecil, bagaimana saya sampai bisa berhasil. Nampak-nampaknya mereka terkesan oleh apa yang telah saya capai. Memang prestasi saya bisa mengesankan mereka, terutama bagi yang tidak mampu, bagi mereka yang miskin.

Mana pula tidak akan begitu! Anak desa yang tidak mampu, yang sewaktu kecilnya tidak terdidik secara formal karena orang tua kekurangan biaya, akhirnya toh bisa mencapai suatu kedudukan yang menunjukkan bahwa ia memperoleh kepercayaan rakyat yang begitu besar. Kepercayaan itu tidak saya dapat secara kebetulan. Mulanya saya terima kedudukan terhormat itu dengan coba-coba. Tetapi setelah saya laksanakan tugas saya itu dengan sungguh-sungguh, ternyata kepercayaan rakyat itu saya peroleh sampai bisa lama.

Apa dasarnya sehingga terjadi hal yang demikian? Kuncinya adalah: belajar dari pengalaman. Jadi, belajar dari kehidupan bangsa. Ternyata inilah perguruan tinggi yang paling hebat.

Kalau memang mempunyai dasar pendidikan tinggi, sampai jadi sarjana, seperti halnya Bung Hatta, Bung Karno, itu bisa kita katakan lumrah. Apa yang terjadi dengan saya, tidak begitu halnya. Tetapi saya setiap saat belajar, sesuai dengan kemampuan yang ada pada saya, terutama belajar dari kehidupan negara dan bangsa, kehidupan masyarakat.

Saya tidak pernah mempunyai cita-cita untuk menjadi Presiden, seperti sudah saya ceritakan di depan. Jangankan untuk menjadi kepala negara, untuk menjadi jenderal pun tidak. Nah, begitulah. Saya tidak mempunyai cita-cita lain selain daripada ingin mengabdi kepada bangsa dan negara dengan sebaik-baiknya. Cita-cita saya bukan cita-cita mengenai kedudukan. Tetapi ternyata, dengan prestasi yang saya capai dalam bercita-cita mengabdi sebaik-baiknya itu, saya memperoleh kedudukan yang terus meningkat, sampai mencapai yang tertinggi, mencapai kedudukan Presiden.

Boleh jadi ini kasus yang perlu dipelajari oleh ilmuwan. Sementara itu saya mengadakan pertemuan dengan anak-anak itu di pelbagai kesempatan. Sampai-sampai di Tapos saya mengadakan pertemuan dengan mereka.

Di depan anak-anak itu, seperti pada waktu memperingati  Hari Anak Nasional di bulan Juli, saya berpesan kepada mereka; dan kepada orang tua mereka, bahwa salah satu hal yang sangat penting bagi·rasa sejahtera dan kebahagiaan anak adalah cinta kasih orang tua. Rasa cinta dan dilindungi ini tidak bisa ditentukan pihak lain, kecuali oleh orang tua mereka sendiri. Anak yang kelak diharapkan menjadi manusia Indonesia yang utuh, tak hanya memerlukan kecerdasan pikiran dan kepandaian melalui pendidikan di sekolah saja.

Manusia Indonesia yang kita bangun adalah manusia Indonesia yang bersusila, berakhlak kuat, bermoral tinggi, berwatak dan mandiri. Bagian terbesar justru terbentuk dalam keluarga. Dan semuanya akan sangat ditentukan oleh suasana yang diciptakan dalam keluarga sejak masa anak-anak.

Saya harapkan dari anak-anak, agar mereka belajar baik-baik, cinta kepada orang tua, kepada sesama, tanah air, dan Tuhan Maha Pencipta. “Jadilah anak-anak yang penggembira karena masa kanak-kanak memang masa penuh kegembiraan,” begitu pesan saya.

Lalu saya berkata lagi kepada anak-anak kita itu agar mereka berusaha memikul tanggung jawab yang lebih besar di lingkungan masing-masing, untuk menyiapkan diri memikul tanggung jawab kepada lingkungan yang lebih luas. Kelak mereka harus siap untuk memikul tanggung jawab yang sangat besar bagi kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pengalaman saya di masa kecil tentunya lain sekali dengan yang didapat anak-anak sekarang. Waktu saya masih kecil, negara kita masih dijajah. Penderitaan di masa kecil itulah yang membuat saya memiliki semangat juang. Tetapi itu tidak berarti bahwa anak-anak yang sekarang tidak memerlukan semangat juang.

Anak yang baik, di mata saya, harus selalu patuh dan hormat kepada orang tua, yaitu kepada bapak dan ibunya, yang selalu mendidik anak-anaknya agar berbudi luhur dan takwa pada Tuhan.

Di samping menjalankan ajaran agama Islam yang saya anut, berdasarkan pengalaman olah kebatinan, mendekatkan diri dengan Tuhan sejak remaja dan dengan sumbangan-sumbangan pikiran dari kadang-kadang sesama. gayuh ilmu kebatinan, dan mengambil sari dari ajaran-ajaran Pujangga Jawa, saya himpun petunjuk hidup itu dalam suatu buku yang berjudul “Butir-butir budaya Jawa, Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi bawa leksana, ngudi,sajatining becik”. Buku ini saya berikan pada anak-anak saya sendiri sebagai pegangan hidup. Pada Tutut, anak saya yang tertua, timbul rasa kebersamaannya, ingin meneruskan pituduh dan wewaler yang terkandung dalam buku tersebut kepada orang lain untuk dipelajari dan dimiliki. Dicetaklah buku tersebut dan mulai disebarluaskan pada kesempatan memperingati hari perkawinan saya yang ke-40 (26 Desember 1987).

Kepada pemuda-pemuda, saya tidak bosan-bosan menyampaikan pesan saya. Saya mencambuk mereka dengan semangat yang harus mereka miliki. Di depan pramuka, di depan pemuda-pemuda lainnya saya tidak jemu menunjukkan jalan hidup yang mesti mereka tempuh.

Pengendalian diri sendiri dan tanggung jawab sosial merupakan unsur-unsur yang paling penting untuk suksesnya pembangunan bangsa dan negara. Itulah salah satu pesan saya kepada mereka, seperti saya ucapkan di depan pramuka dan pemimpin-pemimpin mereka.

“Janji pada diri sendiri, dengan segala keberanian dan kemampuan selalu berusaha mengendalikan kepentingan  pribadi  guna memenuhi kewajiban sebagai makhluk sosial dalam mewujudkan kehidupan Pancasila itu, kita namakan ‘Eka Prasetya’. Yang kita janjikan pada diri sendiri adalah mengorbankan kepentingan pribadi guna memenuhi kewajiban sebagai makhluk sosial, yang didorong oleh keinginan untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila. Menghayati dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila oleh karsa pribadi itu kita namakan ‘Panca Karsa’, yang meliputi takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghargai orang lain yang berlainan agama/ kepercayaannya; mencintai sesama manusia dengan selalu ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang dan ‘tepa selira’; cinta pada tanah air, menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi; demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah, serta suka menolong, menggunakan apa yang dimiliki untuk menolong orang lain sehingga dapat meningkatkan kemampuan  orang lain itu.

Dalam pada itu, saya tekankan bahwa tradisi gerakan perjuangan dan semangat kebangsaan dalam pergerakan nasional waktu dulu harus tetap dipelihara, disuburkan dan disegarkan dalam Gerakan Pramuka pada zaman pembangunan lahir-batin sekarang ini.

Dalam masa tenteram dewasa ini, semua anak dan remaja yang bergabung dalam pramuka tetap mempunyai kesempatan untuk menunjukkan rasa cinta tanah air dan bangsa. Caranya tentu berlainan dengan di masa lampau. Dalam zaman pembangunan sekarang, rasa cinta tanah air dan bangs a itu bisa ditunjukkan dengan rajin belajar, menimba ilmu pengetahuan, melatih diri dengan berbagai ketrampilan yang berguna dan menempa diri agar kelak mampu memikul tanggung jawab memajukan bangsa.

Saya katakan kepada semua keluarga besar pramuka, “Camkan sebaik-baiknya Dasa Dharma Pramuka. Tidak cukup dengan hanya menghafalkan saja, tetapi harus dengan menghayati dan melaksanakannya.” Itulah salah satu pesan saya di depan para peserta Pesta Pramuka terakhir (1986) yang dilangsungkan dengan cukup meriah.

Berulang-ulang saya mengajak seluruh rakyat agar terus mempertebal rasa persatuan dan kesatuan, karena hanya dengan persatuan nasional itulah masa depan bangsa menuju cita-cita kemerdekaan akan berhasil dibangun. Sejarah mengajarkan bahwa cita-cita besar hanyalah dapat dicapai ·dengan persatuan dan kesatuan yang kukuh segenap bangsa. Kebangkitan Nasional pada tahun 1908 mempakan awal dari tumbuhnya kesadaran kita mengenai mutlaknya rasa persatuan nasional, dengan meninggalkan rasa kedaerahan yang sempit. Sumpah Pemuda tahun 1928 menegaskan persatuan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 membuktikan bahwa dengan persatuan yang bulat, tidak ada kekuatan yang dapat menghalangi lahirnya Indonesia Merdeka.

Dalam zaman pembangunan, kita harus mempertebal kesadaran dan tekad bahwa hanya dengan persatuan nasional kita akan berhasil membangun masa depan menuju cita-cita kita. Persatuan nasional sekarang ini mempunyai kekuatan pengikat yang sangat kuat ialah dengan penegasan·Pancasila sebagai satu-satunya asas. Penegasan itu sama sekali tidak berarti menghilangkan perbedaan yang tercermin dalam kebhinnekaan Indonesia. Penegasan Pancasila sebagai satu-satunya asas justru memberi napas segar, menggerakkan dinamika, dan mendorong kreativitas dalam rangka memberi makna pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam pada itu, kita harus mengandalkan kekuatan sendiri. Dan kekuatan itu ada pada inanusia, bangsa Indonesia dengan generasi muda sebagai andalan utamanya. Karena itu, generasi muda Indonesia harus menyiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat melanjutkan, memperluas, dan meningkatkan pembangunan bangsa demi masa depannya sendiri dan demi masa depan bangsa dari generasi ke generasi sepanjang masa.

Saya tahu, kita wajib mengobarkan semangat kebangsaan di kalangan kita dan di kalangan generasi muda. Generasi penerus yang akan menentukan kejayaan bangsa kita. Semangat kebangsaan harus dihidup-hidupkan terus sebab semangat kebangsaan bukan azimat yang tidak bisa pudar.

Dalam masa penjajahan dulu, perjuangan jelas, ialah menghadapi musuh yang nyata yaitu kekuasaan penjajahan asing. Dalam perjuangan seperti itu, semangat kebangsaan lebih mudah dikobarkan. Dalam zaman pembangunan ini, tantangan tidak selamanya tampak nyata yaitu keterbelakangan. Tantangan itu terasa lebih berat sebab tantangan itu umumnya terletak dalam diri kita sendiri, baik dalam pribadi kita masing-masing maupun dalam diri bersama sebagai suatu ban gsa.

Karena itu, semangat kebangsaan harus kita tumpahkan pada kebutuhan dan tantangan pembangunan. Semangat kebangsaan harus dicurahkan kepada prestasi-prestasi dalam pembangunan di segala bidang oleh kita masing-masing tanpa kecuali dan dalam bidang kita masing-masing.

Semangat kebangsaan ini kita tampilkan dalam peningkatan produksi pangan, dalam penggalian kekayaan alam dengan kekuatan sendiri, dalam membangun jalan raya, dalam membangun industri, dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam mencapai prestasi olah raga, dalam kehidupan pers, dalam kecintaan kita kepada penggunaan produksi dalam negeri, dan setemsnya. Semangat kebangsaan itu mutlak kita perlukan selama-lamanya agar kita benar­benar berkembang dan tumbuh menjadi bangsa yang kokoh, kuat, dan jaya.

***



[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 431-436.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.