Denpasar, 22 Mei 1998
Kepada
Yth. Bapak Haji Muhammad Soeharto
di Jl. Cendana
Jakarta
MEMASUKI TAHAP BIKSUKA [1]
Salam beribu hormat,
Bapak Soeharto yang saya hormati, yang saya muliakan dan yang saya banggakan. Pada kesempatan ini saya memberanikan diri untuk menyampaikan isi hati saya kepada Bapak, karena Bapak saya anggap sebagai Bapak bangsa negeri ini.
Saya sedih Bapak mengundurkan diri sebagai presiden, sedangkan negara dalam kondisi tidak sehat. Walaupun demikan saya dan banyak pihak menilai sikap dan keputusan Bapak adalah sikap yang arif dan bijaksana sebagai seorang negarawan sejati yang berjiwa dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
Pada kesempatan ini saya tidak lupa mengucapkan beribu-ribu terimakasih kepada Bapak atas segala jasa dan usaha Bapak untuk membangun Republik ini selama 32 tahun. Tiada kata-kata yang dapat saya susun sebagai ungkapan terima kasih, hanya doa yang dapat saya panjatkan.
Semoga Bapak hidup tenang dalam memasuki tahap hidup “Lengser Keprabon Madeg Mandita” Dalam tahap ini disebut “Biksuka”, di mana seseorang menjadi seorang Biksu/Pandito dalam arti luas dengan kewajiban seperti yang telah Bapak ketahui.
Demikian serpihan ungkapan hati saya. Atas perhatian dan kemurahan hati Bapak, saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga Damai, damai, dan damai selalu. (DTS)
Hormat saya,
I Made Sugianantha
Denpasar – Bali
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 757. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.