Jakarta, 8 Juni 1998
Yang terhormat Bapak HoMo Soeharto
yang kami cintai
MENANTI MUKJIZAT [1]
Perkenankanlah kami mengganggu ketenangan Bapak dalam sejenak. Kami merasa sangat prihatin atas kejadian-kejadian di Negara tercinta ini. Semoga Tuhan YME memberikan mujizat kepada rakyat Indonesia yang akhir-akhir ini mengalami cobaan.
Kami awam dalam berpolitik dan secara pribadi kami ndherek prihatos atas cobaan yang menimpa Bapak. Semoga Tuhan selalu melimpahkan rachmatnya dan tansah mengayomi Bapak. Walau keadaan keluarga kamipun jatuh bangun dan untuk tahun ini anak kami tidak bisa melanjutkan sekolah, kami pasrah.
Demikianlah rasa simpati kami yang mendalam karena kami pribadi menilai Bapak mempunyai sifat ke-Bapak-bapakan yang lebih. Bapak dalam acara temu wicara dengan para petani, nelayan, pedagang kecil dan lain-lain selalu tampak akrab.
Sekali lagi kami nderek prihatos semoga Bapak tansah pinaringan ketabahan dan selalu mendapat pengayoman Gusti, Amien. Dan bilamana kami anggenipun matur wonten ingkang lepat, kami nyadong duko.
Dalem prihatos,
Sutrisno
Jakarta Timur
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 1045. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.