MENIADAKAN ANCAMAN BAGI KETAHANAN NASIONAL

MENIADAKAN ANCAMAN BAGI KETAHANAN NASIONAL

Oleh : Syamsi Basuning

PRESIDEN Soeharto dalam pidato menyambut tahun baru 1982 antara lain mengatakan dengan membuat penilaian secara berani dan jujur atas diri kita agar bangsa, dengan tidak menutup-nutupi kekurangan dan kelemahan yang masih ada.

Dengan berani pula melihat tantangan dan kesulitan di masa datang. Maka masa datang itu akan kita hadapi dengan penuh perhitungan dan ketabahan. Kita perlu mengambil sikap demikian karena tugas kita di masa datang khususnya di tahun yang akan datang jelas memerlukan kesiapan dan kewaspadaan mengatasinya.

Satu lagi konsepsi kepemimpinan Presiden Soeharto yang patut kita sambut dengan kelegaan dan kegembiraan seperti kutipan di atas.

Sikap politik demikianlah yang langsung dapat dirasakan oleh rakyat, bukan sekadar struktur kelembagaan demokrasi saja.

Jika setiap pemimpin memiliki sikap politik demikian, berarti kita telah mulai melaksanakan prinsip demokrasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Menanggapi amanat Presiden tentang "KEWASPADAAN", penulis berkesimpulan ada dua hal yang dapat mengancam ketahanan nasional. Yaitu dominasi kekuatan ekonomi oleh golongan non pribumi terutama keturunan Tionghoa dan tentang sifat latah yang keterlaluan ("kebangetan" bahasa jawanya).

Dua hal ini bukan hanya hypothcsa ataupun imagination (daya khayal), melainkan benar-benar telah mewamai lembaran hitam atas perjalanan sejarah bangsa.

Dominasi Non Pribumi

Masalah dominasi golongan non pribumi ini, terutama ketumnan Tionghoa benar­benar memerlukan penanganan secara berencana, agar tidak menjadi "BUMERAN G" (titik rawan) di kemudian hari.

Kita lihat zaman jajahan Belanda tingkat dominasi belum secara masal, namun telah adabeberapa sektor ekonomi yang dikuasai golongan ini. Tingkat keresahan masyarakat pribumi tidak nampak, kendatipun ada tidak mungkin menampakkan diri mengingat kita di alam penjajahan. Lalu bagaimana tingkat dominasi ini setelah kita memproklamirkan kemerdekaan, dari tahun ke tahun dominasi itu menunjukkan trend (laju) yang meningkat terus. Keluhan masyarakat pribumi mulai menampakkan diri diberbagai pelosok tanah air.

Pemerintahan dibawah Presiden Sukarno menyadari hal ini, lalu dikeluarkanlah peraturan Pemerintah dikenal dengan PP 10. Suhu keresahan pribumi menurun kembali.

Dalam tahun 1962 hingga 1965 Pemerintah banyak mengeluarkan lisensi istimewa. Peranan golongan non pribumi di kota-kota besar mulai kembali, walaupun lisensi istimewa itu didapat juga olehpengusaha pribumi, namun realisasi (pelaksanaan) dari lisensi istimewa tersebut dikerjakan oleh golongan non pribumi.

Ditambah lagi dengan arah politik waktu itu, akibatnya tingkat dominasi lebih menancapkan kukunya lagi. Bersamaan dengan itu tingkat keresahan (ketidak puasan) masyarakat pribumi meningkat pula ditambah lagi dengan kebencian terhadap golongan PKI yang telah mulai menguasai beberapa bagian dalam pemerintahan.

Tingkat keresahan ini akhimya mencapai titik optimum, ketika terjadi pemberontakan G 30 SPKI. Semua golongan yang cinta dan ingin mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila, bersatu-padu menghancurkan G 30 SPKI.

Kemudian muncul orde baru (orde pembangunan), motto kita waktu itu ialah "pembangunan yes, politik no". Mulailah kita melakukan pembangunan di segala bidang, dengan memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal, pembenahan di setiap sektor kehidupan, dana bantuan luar negeri mengalir deras.

Akibatnya fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah berlimpah-limpah dapat dinikmati secara mudah dan bebas (tanpa kendali). Struktur penguasaan kehidupan ekonomi belum sempat ditata secara fundamental dan konstitusional.

Golongan non pribumi dengan kemampuan pengelolaan (managerial-skill), hubungan (relationship) dengan para pejabat, modal (capital) yang cukup, mulai beiperan aktive dalam pembangunan sekaligus menikmati pembangunan itu.

Akibatnya tingkat dominasi makin menggila (massal), sampai-sampai perdagangan terasi, cabe rawit, bawang merah dan sebagainya dikuasai oleh golongan ini.

Bersamaan dengan itu tingkat keresahan masyarakat pribumi meningkat pula, timbul gejolak sosial di berbagai daerah secara sporadis. Kadang-kadang yang sangat kecil saja menyebabkan timbulnya "keresahan".

Syukurlah gejolak itu dapat diatasi oleh aparat keamanan secara sempurna tanpa menimbulkan korban yang berarti (dalam konteks kepentingan nasional).

Menilik kejadian-kejadian diatas, kita mulai dapat merumuskan permasalahannya sebagai berikut :

"Makin Tinggi Tingkat Dominasi, Makin Tinggi Pula Keresahan Masyarakat".

Mengatasi hal ini harus ada kemauan politik dari semua pihak. Menurut penulis ada duajalan yang dapat kita tempuh yaitu melaksanakan ketentuan pasal 33 UUD 1945 secara murni dan konsekuen dan diadakan pembagian bidang usaha.

Mengenai pemurnian pelaksanaan ketentuan pasal 33 UUD 1945, telah tidak jemu-jemunya penulis kemukakan agar dibuat tafsir resmi atas ketentuan pasal 33 UUD 1945 tersebut.

Jika tidak, sulit untuk diuji apakah jalannya perekonomian telah sesuai dengan landasan aturan permainan yang telah disepakati oleh semua pihak baik dalam konsepsi, pembiayaan dan pemasukan serta operasionalnya.

Tafsir mana sebaiknya berbentuk undang-undang pelaksanaan dan dibuat oleh DPR dengan menggunakan hak inisiatifnya. Tanpa tafsir itu, masing-masing pihak akan menafsirkan secara sendiri-sendiri, sesuai dengan argumentasi dan sudut pandang yang digunakannya.

Oleh karena itulah dalam berbagai kesempatan telah penulis kemukakan bahwa penciptaan teori ekonomi pancasila itu masih terlalu pagi.

Karena dari mana kita akan memulainya (beranjak), kita tidak dapat beranjak dari materi yang belum ada kesepakatan. Kendati telah ada garis besarnya yaitu suatu usaha bersama dan kekeluargaan ataupun apa yang dimaksud oleh definisi sementara Pemerintah atas bunyi pasal 33 UUD 1945, maupun yang telah dijabarkan secara garis besar dalam GBHN.

Penyusunan teori ekonomi pancasila (EKOPANCAS), tidak dapat menggunakan cara perumusan teori ekonomi liberal. Mereka dalam menyusun teorinya tidak terikat dengan sesuatu ketentuan konstitusi, mereka hanya berdasarkan kepada basil penelitian dan daya khayal (imagination).

Negara penganut ekonomi liberallah yang menyesuaikan konstitusinya dengan teori yang telah dibuat. Disinilah letak kesulitan kita dalam menciptakan teori ekonomi pancasila, karena bentuk perekonomian dan cara penggunaan kekayaan alam yang ada telah ditentukan lebih dahulu kaidahnya.

Namun demikian bukan berarti kita tidak dapat melaksanakan ekonomi pancasila itu, karena untuk melaksanakan ekonomi pancasila tidak harus (mutlak) adanya teori.

Dengan penerapan prinsip nilai yang ada, kita dapat melaksanakan ekonomi pancasila itu. Berbicara teori, orientasinya lebih banyak kepada bidang studi dan pengenalan dengan dunia luar.

Karenanya merupakan keharusan bagi setiap pengamat, peneliti dan para cendikiawan yang ingin memberikan sumbangan pemikiran dan alternatif dalam membangun bangsa dan negara Indonesia tercinta ini harus memahami secara benar-benar tahapan-tahapan pembangunan yang telah kita lakukan.

Tahapan konsolidasi memang telah kita lalui; tahapan rehabilitasipun telah kita lampaui. Akhir tahun 1979 kita mulai memasuki tahapan penerapan nilai-filosofische (struktural), yaitu setelah seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila telah kita terapkan dan sepakati bersama.

Pada momentum (waktu) itulah kita memerlukan teori, karena kita akan memasuki tahapan "pelestarian nilai-nilai yang telah ditrapkan dan disepakati bersama". Proses penerapan nilai ini, mulai nampak lebih jelas dalam pengajuan RUU APBN 1982/1983 tanggal 5 Januari 1982 yang lalu.

Dari neraca (rencana) pendapatan dan pembiayaan serta pidato Presiden Soeharto dalam mengantar RUU APBN 1982/1983 tersebut, nampak jelas landasan idiil dan konstitusionalnya.

Penulis salut kepada Pemerintah yang telah berusaha semaksimal mungkin menyusun APBN 1982/1983 sehingga benar-benar memenuhi apa yang diamanatkan oleh konstitusi. Walaupun masih adabagian-bagian yang dapat kita sempurnakan ditahun-tahun mendatang.

Untuk pos pembiayaan memang sempurna, pos pendapatan masih dapat disempurnakan lagi yaitu tentang perincian pemasukan dalam negeri. Harus jelas berapa dari pemasukan kemampuan ekonomi negara, berapa dari potensi ekonomi swasta dan berapa dari potensi ekonomi rakyat.

Karena dengan diketahuinya hasil pendapatan ke tiga potensi ekonomi itu, kita akan mudah menilai (melihat) apakah ke tiga kekuatan potensi ekonomi itu berjalan seimbang dan serasi.

Di samping itu rupanya Pemerintah masih dihadapkan dengan dua pilihan yang dua-duanya menyakitkan. Jika dana bantuan luar negeri itu tidak dimasukkan dalam pos pendapatan, berarti volume pembangunan tidak dapat kita tingkatkan dari tahun sebelumnya.

Kebaikannya, jika target produksi danrencana pemasukan lainnya sesuai dengan yang ditargetkan, itu berarti tingkat inflasi akan menjadi nol presen. Apalagi kalau target produksi dan rencana pemasukan lainnya melebihi target, berarti tingkat inflasi akan menjadi minus nol presen.

Kalau demikian nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (standar) akan meningkat pula. Sebaliknya jika dana bantuan luar negeri itu dimasukkan dalam pos pendapatan volume pembangunan dapat kita tingkatkan.

Buruknya tingkat inflasi akan tetap melekat (outstanding) sebesar nilai bantuan luar negeri berbanding jumlah keselumhan pendapatan kali seratus presen.

Seperti dalam tahun anggaran 1982/1983, penulis perkirakan tingkat inflasi tidak akan kurang dari 8,5% (delapan setengah presen). Nyatanya tingkat inflasi tahun anggaran 1982/1983 hanya berjumlah : 7,9% (tujuh koma sembilan presen).

Itu berarti tingkat produksi dan pemasukan negara melebihi apa yang ditargetkan. Jika tidak mustahillah tingkat inflasi akan kurang dari 8,5 % (delapan setengah presen).

Ini suatu petunjuk bahwa pembangunan ditahun anggaran 1982/1983 jauh lebih maju dari tahun sebelumnya. Hal-hal semacam inilah harus kita pahami secara tepat dan benar, jika kita hendak mengajukan alternatif.

Sebagai usaha lain mengatasi dominasi golongan non pribumi ialah dengan melakukan pembagian bidang usaha. Kita tidak usah terlalu ketat seperti yang dijalankan di Pilipina dimana penduduk keturunan Tionghoa tidak dibolehkan melakukan dagang eceran (retailer) dan setiap perusahaan milik keturunan Tionghoa dllarang memperkerjakan keturunan Tionghoa lebih dari tiga orang.

Kita cukup melakukan pembidangan usaha sebagai berikut. Penduduk non pribumi kuat boleh melakukan bidang usaha import, ekspor, perbankan, perindustrian barang konsumtif, jika industri yang dikelola adalah yang menyangkut kepentingan orang banyak maka distributor pertama haruslah perusahaan negara, kemudian perusahaan negara menunjuk pengusaha pribumi sebagai sub distributor atau pengecernya, jasa perjalanan, jasa asuransi jasa lainnya harus dipegang oleh pribumi.

Penduduk non pribumi lemah, hanya dapat berusaha dalam bidang barang yang bersifat konsumtif, bahan kebutuhan pokok hari-hari haruslah dipegang dan ditangani langsung oleh pengusaha pribumi.

Dikecualikan dariitu, penduduk non pribumi yang telah melakukan asimilasi atau telah pernah bekerja dengan Pemerintah selama tenggang waktu 5 (lima) tahun. Lewat penataan ini kita harapkan dominasi itu dapat dikurangi, asimilasi dapat dipercepat, yang paling pokok agar "produksi dikerjakan oleh semua dengan dasar gotong royong secarake keluargaan, yang nikmatnya terbagi menurut tingkatan aset yang dimiliki oleh individu, kelompok dan negara, dalam rangka memenuhi amanat konstitusi."

Masalah Keterlaluan

Masalah sifat latah yang keterlaluan ini, juga telah berkali-kali mengancam kesatuan dan persatuan. Kita mulai saja dari peristiwa Madiun (Madiun Affair).

Akibat kebencian yang keterlaluan terhadap komunis, hari kehari arah politik bangsa menunjukkan arah yang berlawanan yaitu ke kanan. Timbullah apa yang dinamakan demokrasi parlementer, partai politik tumbuh seperti jamur di musim hujan. Kabinet silih berganti (gonta ganti).

Kemudian bangsa kita sadar, kita kembali kepada UUD 1945 dan konstituante dibubarkan. Selanjutnya segala yang berbau Barat ditolak kehadirannya apakah itu seni, budaya, film, pemikiran dan sebagainya. Warna politik bangsa kita menunjukkan arah ke kiri-kirian kembali.

Dengan Malaysia kita berkonfrontasi. Makin hari arah politik makin ke kiri, PKI mulai menguasai bidang­bidang yang strategis. Keadaan ini mencapai puncaknya, dengan timbulnya pemberontakan G 30 S-PKI. Selanjutnya muncul orde baru (dikenal dengari orde pembangunan), motto kita waktu itu "pembangunan yes, politik no". Keadaan ini berlangsung cukup lama, melalui tahapan pelita I dan pelita II.

Kemudian bangsa kita sadar bahwa pembangunan tanpa diiringi dengan pembangunan yang manusiawi dan pendidikan politik akan timbul kesenjangan.

Akhir tahun 1979 kita mulai menyentuh masalah-masalah struktural yaitu penerapan nilai-nilai yang ada. Bersamaan dengan itu muncul kembali sifat latah banyak kalangan mulai sinis dengan anak didik tamatan luar negeri; sinis terhadap dana bantuan luar negeri, bidang senipun mulai menunjukkan warna baru, yang bernafaskan pembangunan.

Menghadapi ini semua, hindarilah sifat latah yang keterlaluan, dudukkanlah setiap persoalan kepada proporsi yang tepat dan benar dengan tetap menjaga kepribadian bangsa (karakteristik bangsa).

Untuk dapat menghilangkan sifat latah ini, perlu adanya sikap politik yang mantap. Pandai mendudukkan persoalan kepada proporsi yang tepat dan benar, mengetahui secara jelas sampai di mana batas­batas hak, kewajiban dan larangan sebagai seorang warganegara, mengetahui pula batas-batas hak dan wewenang Pemerintah, lembaga tinggi negara (MPR dan DPR).

Dalam rangka mendidik rakyat untuk memahami hal-hal terakhir inilah Presiden Soeharto menginstruksikan untuk diadakan pendidikan politik, agar setiap warga negara Indonesia menjadi makhluk sosial yang Pancasilais. Hanya tipe (bentuk manusia seperti inilah yang dapat memahami dan mampu memahami hal-hal di atas).

Hindarilah tindakan yang bersifat hypothesa atau tindakan-tindakan yang bersifat mendahului keputusan yang akan diambil lembaga-lembaga tertentu. Apakah itu lembaga peradilan, MPR, DPR, Badan pemeriksa keuangan dan sebagainya.

Agar keputusan yang akan diambil tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak diatur oleh undang-undang dan konstitusi. Kita telah memasuki era (zaman) Columbia, neutron dan lasser. Gaya-gaya berpolitik zaman baheula (kuno) sudah sepantasnya kita tinggalkan.

Kesimpulan

Masalah dominasi perekonomian oleh golongan non pribumi, jangan sampai menjadi problem nasional, seperti Amerika menghadapi kelompok keturunan Yahudi lewat kelompok "Wall Streetnya".

Setiap orang di dunia ini mengerti bagaimana warna politik Amerika jika menyangkut masalah Israel. Mumpung masalahnya masih dapat diatasi secara terencana.

Sifat latah yang keterlaluan lebih mudah mengatasinya, karena timbulnya bukan dari rakyat kecil melainkan dari sifat para pemimpin yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu (pribadi) dan hal ini akan dapat diatasi jika rakyat telah mempunyai sikap polilik yang mantap.

Masalah menempatkan masalah kepada proporsi yang tepat dan benar haruslah dimasyarakatkan. Karena tidak jarang dari pihak pemimpin rakyat, masih saja terdapat kekeliruan pentafsiran.

Seperti baru-baru ini ketika pelantikan/serah terima jabatan Rektor Universitas Indonesia. Kalau tidak salah tangkap, Dirjen Perguruan Tinggi Prof. Dr.Tisna Amidjaja mengatakan, bahwa angka pembiayaan pembangunan pendidikan sebesar Rp 1,3 triliun itu.

Dikarenakan adanya kepercayaan Pemerintah, hal-hal semacam inilah yang perlu diluruskan itu, angka kenaikan pembiayaan menjadi Rp 1,3 triliun adalah dalam rangka memenuhi amanat konstitusi sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dimana sektor mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu dari cita-cita proklamasi bangsa kita.

Jadi bukan soal percaya dan tidak percayanya Pemerintah kepada kemampuan mengelola dan melaksanakan pembangunan suatu departemen.

Kasarnya angka pembiayaan sektor pendidikan sebesar Rp 1,2 triliun itu bukan oleh karena reputasi membangun Departemen P&K melainkan dalam rangka memenuhi landasan idiil dan konstitusional APBN 1982/1983. (RA)

Jakarta, Merdeka

Sumber : MERDEKA (09/02/1982)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 1011-1017.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.