Meningkatkan Keserasian dan Toleransi Agama

Meningkatkan Keserasian dan Toleransi Agama [1]

Di bulan Juli 1975 diadakan konferensi nasional ulama-ulama seluruh Indonesia, dibuka di Istana Negara. Saya bicara di depan para peserta konferensi itu. Betapa pentingnya pertemuan itu tak perlu Iagi saya jelaskan. Saya katakan dalam kesempatan itu bahwa untuk meningkatkan keserasian dan toleransi agama, dibutuhkan badan musyawarah agama sebagai satu forum di mana dapat diperbincangkan hal-hal yang menyangkut kepentingan kelompok-kelompok agama.

Selang beberapa waktu tidak lama kemudian, dibentuklah Majelis Ulama Indonesia dan saya mengadakan satu resepsi untuk para ulama kita itu, yang pertama sekali diadakan oleh Kepala Negara RI sejak Indonesia  merdeka. Saya mengartikan kejadian ini sangat penting. Menciptakan keserasian agama adalah satu syarat yang utama untuk menguatkan ketahanan nasional.

Memang sebelum berdirinya Majelis Ulama Indonesia itu beberapa kali meletup persoalan yang menyangkut agama. Terjadi pula riuh pembicaraan orang tentang adanya usaha dari sementara pihak untuk mengubah kepercayaan seseorang. Maka saya harus mengingatkan kembali bahwa setiap usaha mengubah kepercayaan seseorang yang telah menganut agama tertentu hendaknya dielakkan, karena ini hanya akan mengundang kecemasan umum dan prasangka.

Saya kemukakan pandangan saya mengenai hal ini. Agama diturunkan oleh Tuhan karena kecintaan-Nya terhadap umat-Nya. Kemudian wahyu itu dirangkum dalam suatu tulisan yang kita sebut Kitab Suci. Semua Kitab Suci itu membimbing manusia untuk berbuat baik. Mereka yang berbuat baik akan memperoleh pahala. Mereka yang berbuat tidak baik akan memperoleh hukuman di akhirat nanti. Semua agama menetapkan demikian. Yang berbeda, lahirnya, berkenaan dengan situasi dan kondisi. Waktu Tuhan menurunkan agama Kristen, situasi dan kondisinya berbeda dengan sewaktu Tuhan menurunkan agama Islam.

Tuhan mengirimkan utusan-Nya ke tengah masyarakat yang berbuat bertentangan dengan kehendak-Nya. Tuhan memerlukan menurunkan nabi di tengah masyarakat Arab. Tetapi itu tidak berarti bahwa nabi itu diturunkan untuk masyarakat di tempat itu saja, melainkan untuk seluruh umat manusia. Jadi, agama itu untuk semua manusia.

Tinggallah sekarang manusia diberi kebebasan untuk memilih, mana yang baik, mana yang cocok untuk dirinya sebagai pegangan untuk melakukan perbuatan baik dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Bagi dirinya sendiri boleh saja seseorang membenarkan dan mengakui bahwa yang paling baik itu adalah pilihannya, seperti Islam buat saya. Tetapi bagi orang yang percaya kepada Tuhan, tidak perlu mengatakan “agamamu tidak baik”. Islam menyebutkan bahwa “agamamu, agamamu; agamaku, agamaku”.

Dalam negara kita, negara Pancasila, yang ditetapkan sebagai dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka kita harus melindungi agama yang diturunkan Tuhan. Dalam melaksanakan agama masing-masing, hendaknya kita benar-benar dapat menghayati kehidupan yang rukun; bersatu di negeri ini.

Kita harus menempatkan diri sebagai umat-Nya yang mempunyai kekurangan. Sebab itu, jangan lantas mencari benarnya sendiri. Sebagai misal, seorang umat Islam Indonesia jangan beranggapan bahwa semua orang Indonesia beragama Islam. Dan janganlah kita menuding-nuding orang lain dengan mengatakan bahwa “agamamu tidak benar”. Di Indonesia, kita harus melaksanakan agama kita masing-masing dengan bersikap rukun terhadap dan bersama orang lain, sekalipun kita berlainan agama. Cuma orang fanatik yang beranggapan seolah-olah hanya agamanya yang paling benar dan menuding agama orang lain tidak benar. Orang fanatik begitu akan menimbulkan bentrokan. Orang fanatik begitu akan memaksa, mendorong-dorong orang lain untuk masuk agamanya. Padahal adalah hak asasi masing-masing untuk memilih agamanya sendiri.

Soal dosa dan bukan dosa, tidak akan dipikulkan kepada orang lain, melainkan kita sendirilah, secara masing-masing, yang akan memikulnya kelak. Atas dasar itu kehidupan Pancasila harus kita pelihara dan kita pegang teguh. Kita harus percaya kepada Tuhan, harus percaya dan menghormati bahwa Tuhan itu hanya satu. Tetapi kenyataan bahwa Tuhan telah menurunkan bermacam-macam agama di dunia ini, perlu kita sadari.

Hak beragama, sesuai dengan keyakinan masing-masing, harus dijamin dan dilindungi. Terlebih-lebih karena Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan naluri hidup yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat dan bangsa Indonesia, dan telah menjadi sila pertama dari Pancasila.

Dalam melakukan kebebasan beragama ini, dalam kita sebagai pemeluk-pemeluk agama melakukan ibadah keagamaan sesuai dengan keyakinan kita masing-masing, hendaknya kita tetap waspada, jangan sampai timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang dapat dimanfaatkan oleh musuh-musuh kita, musuh-musuh agama yang mengadu dombakan kita dengan kita.

Kita mempunyai tradisi yang baik mengenai toleransi dan kerukunan beragama ini. Tradisi dan kenyataan inilah yang antara lain menguatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila kita. Dan sebaliknya, dengan Pancasila itu harus kita kembangkan toleransi agama. Bangsa kita menganut berbagai agama. Walaupun demikian, kesatuan dan persatuan harus tetap terpelihara. Setiap agama memang tidak memaksa seseorang menjadi pemeluknya. Agama bertolak dari kepercayaan, dan kepercayaan ini terletak dalam dasar hatinya seseorang. Oleh karena itu, tidak dapat dipaksakan.

Pancasila dan UUD ’45 menjamin kebebasan beragama. Di samping itu mewajibkan pula adanya toleransi agama. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Masalah agama yang timbul hendaknya dapat dinilai dan diselesaikan berdasarkan kematangan berpikir, kematangan berPancasila, dan kematangan beragama sendiri.

Seluruh bangsa kita telah menerima Pancasila. Oleh karena itu, di seluruh wilayah tanah air kita kebebasan beragama dijamin. Kebebasan untuk menjalankan ibadat menurut keyakinan masing-masing juga dijamin.

Sesuai dengan kebulatan kita menerima Pancasila, sesuai dengan kebulatan pengertian kita tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka kita tidak perlu mempersoalkan mayoritas atau minoritas agama di negeri ini.

***



[1]      Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 307-310.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.