MUFAKAT LEBIH BERMUTU DARI PADA SUARA TERBANYAK, ADA POLITIS BELUM AMALKAN PANCASILA

MUFAKAT LEBIH BERMUTU DARI PADA SUARA TERBANYAK, ADA POLITIS BELUM AMALKAN PANCASILA[1]

 

Jakarta, Media Indonesia

Presiden Soeharto mengungkapkan ternyata dalam praktek politik banyak pelaku politik yang belum sepenuhnya merasakan dan mengamalkan Pancasila.

“Padahal dalam melihat perkembangan politik saat iniharustetap mengacu kepada Pancasila.” tandas Kepala Negara seperti dikutip anggota Tim P-7 Cosmas Batubara.

Ketua Tim P-7 (Penasihat Presiden untuk Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) Sudharmono bersama sejumlah anggotanya, antara lain Cosmas Batubara, Ismail Saleh, Bustanil Arifin, Emil Salim, Soetjanto Puspowardojo bertemu Presiden di Bina Graha, kemarin.

Kepada Presiden , Tim P-7 menyampaikan laporan rutin tentang apa yang telah

Dilakukan, seperti pembudayaan Pancasila dan P-4. Penalaran P-4, kata Cosmas, perlu lebih diefektifkan, diintensifkan dan disebarluaskan, tekniknya juga perlu disempurnakan.

Selanjutnya Cosmas mengemukakan, saat ini masalah mufakat dan suara terbanyak masih sering dipertentangkan.

Padahal, jelasnya, Kepala Negara mengingatkan bahwa mufakat itu jauh lebih tinggi mutunya dari pada suara terbanyak.

“Sebab itu, penghayatan terhadap mufakat ini harus lebih ditingkatkan terutama dalam kaitan politik yang terjadi akhir-akhir ini.” ungkap Cosmas.

Karena kalau sekedar suara terbanyak, katanya, seperti di DPR membicarakan setengah ditambah satu memang merupakan suara terbanyak tetapi kan masih lebih tinggi mutunya mufakat.

Sementara itu, Ketua Tim P-7 Sudharmono mengingatkan bahwa pengertian suara terbanyak itu demokrasi Pancasila, tambahnya.

Jadi, tandasnya, pengertian suara terbanyak itujangan diartikan harus melalui voting.

“Kita harus mengembangkan kalau bisa suara terbanyak yang mufakat dulu, dan untuk itu diperlukan musyawarah.” ujarnya.

Menurut Sudhannono, pencapaian mufakat itu ada mekanismenya seperti melalui kelompok, fraksi atau komisi barulah yang terakhir pleno.

“Jadi kalau ada pendapat, kita disebut demokrasi kalau menggunakan suara terbanyak dengan voting, hal itu tidak benar menurut sisi Demokrasi Pancasila.”  jelasnya.

Jangan Separuh

Sebab itu, tutur Sudharmono, harus diusahakan agarjan gan ada keputusan yang separuh-separuh. Kalau bisa, ujarnya, harus dicarija lan yang disetujui oleh semua.

“Kita semua tentu bisa berpikir dewasa untuk kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan yang lebih kecil.”

Ditanya apakah dalam Demokrasi Pancasila juga dikenal oposisi, Sudharmono mengemukakan bahwa sistem pemerin tahan di Indonesia tidak mengenal adanya oposisi.

“Karena pemerintah itu milik kita semua.”

Namun, katanya, bukan berarti orang tidak boleh beda pendapat.

“Beda pendapat boleh tetapi bukan berarti harus oposisi. Sebab oposisi itu mesti menjatuhkan pemerintah agar dia nanti pada gilirannya bisa menjadi pemerintah.” ungkapnya.

Sudharmono mengarahkan menurut konstitusi di Indonesia, DPR ditambah dengan golongan-golongan jadilah MPR yang kemudian menentukan GBHN, lalu memilih salah seorang yang terbaik dari sekian warga negara, yang mampu melaksanakan GBHN tersebut. Sebab, tegasnya, pemerintahan di Indonesia itu bukan pemerintahannya kelompok namun milik seluruh rakyat.

Menjawab pertanyaan tentang partai baru, mantan Wapres ini mengemukakan bahwa menurut UU sudahjelas hanya ada dua parpol dan Golkar yang memiliki hak, kedudukan, dan kewajiban yang sama

“Undang-undang itu namanya UU Partai Politik dan Golkar.” jelasnya.

Jadi, tandasnya, di luar itu tidak akan dibentuk lagi partai baru karena untuk apa. Menurut dia, parpol itu memperjuangkan konsep yang harus konstitusional yaitu

melalui DPR. Sebab itu, katanya, partai baru ini tidak boleh ikut dalam pemilu karena menurut undang-undang yang dibolehkan hanya dua partai politik dan Golkar.

Sudharmono mengatakan hal itu bukan berarti melarang kebebasan karena sebenarnya membuat ormas itu leluasa, hanya jika membentuk parpol terbatas. Sebab, tuturnya, Indonesia menganut limited system dan hal ini tidak timbul begitu saja tetapi melalui konsensus dan proses.

“Jadi soal dilarang atau tidak dilarang bikin parpol, ya memang tidak ada larangannya. Namun sikap konsep, dan kehidupan kepartaian adalah dua parpol dan satu Golkar sebagai orsospol.” jelasnya.

Sumber : MEDIA INDONESIA (12/06/1996)

_________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 69-71.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.