Pak Harto dan Trilogi Pembangunan (2)

Pak Harto dan Trilogi Pembangunan (2)

Stabilitas Politik Dan Pemerintahan: Antara Konsensus dan Otoritarianisme[1]

Oleh

Abdul Rohman

 

Stabilitas politik dan pemerintahan dapat diwujudkan manakala dicapai konsensus segenap komponen bangsa terhadap filosofi dan tujuan politik, sistem politik yang dipergunakan, serta kesesuaian sistem politik dengan realitas kultural masyarakatnya. Kalangan pragmatis memandang politik —secara terang-terangan maupun tersembunyi— semata-mata  sebagai instrumen atau alat perebutan kekuasaan untuk kepentingan pribadi maupun golongan[2]. Sedangkan kalangan idealis memandang politik sebagai instrumen partisipasi dalam perjuangan mewujudkan kesejahteraan bangsa, tanpa tersandera keharusan memprioritaskan kepentingan pribadi, klan, maupun golongan tertentu[3]. Menguatnya salah satu dari dua cara pandang diatas akan mempengarui penerimaan sebuah sistem politik yang hendak dipergunakan dalam sebuah negara.

Pembuat Konsensus NasionalKeberhasilan Presiden Soeharto menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan ditopang oleh kemampuannya membangun konsensus, bahwa muara dinamika politik nasional adalah perjuangan untuk terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat yang dilakukan dalam koridor Pancasila dan UUD 1945. Untuk tujuan ini Presiden Soeharto mendorong terwujudnya dua tahapan konsensus. Pertama, konsensus bahwa Pancasila merupakan manajemen multikulturalisme Nusantara, termasuk dalam pengelolaan keragaman idiologi politik. Sebagai konsekuensinya, segala gerak gerik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara —termasuk sistem perpolitikan— harus dijalankan secara konsekuen dalam koridor Pancasila dan UUD 1945. Dalam perspektif ini, segala dinamika perpolitikan bangsa harus dikelola dalam satu payung idiologi bangsa, yaitu Pancasila, sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat dibebaskan dari konflik-konflik nilai yang —selama dua puluh tahun sejak kemerdekaan— telah menguras energi bangsa.

Kedua, konsensus penyederhanaan partai berbasis kelompok idiologi dari multi partai-multi idiologi menjadi tiga partai kontestan pemilu. Partai politik berbasis idiologi nasionalis disatukan dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai politik berbasis idiologi agama —Islam, karena Katolik/Protestan memilih bergabung PDI— disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan Golkar didesain sebagai wadah aspirasi politik kalangan nasionalis-religius. Presiden Soeharto mengakui terwujudnya konsensus ini dilakukan secara sadar dan bukan buah dari upaya-upaya yang bersifat paksaan. Terbukti perlu waktu lama dan baru tahun 1985 —setelah 18 tahun sejak Presiden Soeharto mulai berkuasai tahun 1967—Pancasila dapat diterima sebagai satu-satunya azas kepartaian[4].

“Pada tahun 1985 undang-undang kepartaian dengan satu azas diterima dan azas ciri (idiologi golongan) dihilangkan. Ini merupakan salah satu pembangunan politik yang tidak kentara, akan tetapi sebetulnya merupakan salah satu prestasi bangsa kita yang dengan segala kesabarannya membangun politik. Jadi konsensus nasional itu bukan lahir karena dalam keadaan darurat, sama sekali tidak. Dalam keadaan sadar, kita menyederhanakan kehidupan politik itu dan dengan susah payah menyatukan satu pandangan dan menemukan satu landasan untuk membangun politik, sampai bisa menghilangkan azas ciri dan kembali kepada Pancasila, sebagai satu-satunya azas. Pancasila yang lahir satu hari setelah Proklamasi itu, dalam pembangunan politik tetap kita pertahankan dan sampai sekarang kita laksanakan”[5]

Selain melalui konsensus penyederhanaan partai, stabilitas politik dan pemerintahan pada era Presiden Soeharto juga dukung oleh konsistensinya dalam menjalankan sistem MPR yang didesain para perumus konstitusi (generasi Soekarno) sebagai sistem khas Indonesia. Sistem MPR sebagaimana amanat UUD 1945 pada dasarnya bukan sistem parlementer murni ataupun presidensiil murni. Para perumus konstitusi menyadari adanya multikulturalisme politik di Indonesia sehingga penerapan sistem parlementer murni (fusion of power) dan sistim presidensiil murni (separation of power) tidak akan memberikan jaminan terciptanya stabilitas pemerintahan.

Sistem parlementer murni dinilai sebagai penerapan pandangan individualisme dan tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas (merupakan fusion of power dimana kekuasaan eksekutif pada esensinya menjadi bagian kekuasaan legislatif) dan sewaktu-waktu terancam oleh mosi tidak percaya parlemen (supremacy of parliament). Sedangkan sistem presidensiil dinilai memiliki tiga kelemahan, yaitu (1) mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif apabila tidak didukung mayoritas parlemen, (2) sangat kaku, karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir dan (3) cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat demokrasi[6].

Realitas multikulturalisme idiologi politik itu mendorong para pendiri negara memilih sistem sendiri[7] dengan menempatkan MPR sebagai supreme of power, sedangkan DPR menjadi bagian dari MPR dan berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Dalam sistem ini Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif untuk menjalankan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dirumuskan MPR. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Presiden mengendalikan seluruh urusan teknis penyelenggaraan pemerintahaan kecuali dalam pembuatan undang-undang, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, membuat Perpu dan penetapan APBN yang mekanismenya harus melalui persetujuan DPR terlebih dahulu.

Konsensus penyederhanaan partai berbasis golongan dan idiologi —yang berhasil diterapkan Presiden Soeharto— dituding sejumlah kalangan membatasi partisipasi politik rakyat dan keberadaanya harus didekonstruksi. Sejumlah kalangan dalam negeri ‘pro demokrasi ala Amerika’ bahkan menuding UUD 1945 melahirkan karakteristik pemerintahan otoriter karena dinilai terlalu memusatkan kekuasaan kepada Presiden (concentration of power upon the president atau the strong executive type of government). Menurut kalangan ini karakteristik tersebut tercermin dari pasal-pasal dalam UUD 1945, seperti Pasal 5 ayat (1) kekuasaan membentuk UU, dan ayat (2) kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah; Pasal 10 memegang kekuasaan tertinggi Angkatan Perang; Pasal 11 menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian; Pasal 12 menyatakan keadaan bahaya; Pasal 13 mengangkat Duta dan Konsul serta menerima Duta negara lain; Pasal 14 memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi; Pasal 15 memberi gelar dan tanda jasa; pasal 17 ayat (2) mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri; Pasal 21 ayat (2) membatalkan RUU yang disetujui DPR; Pasal 22 menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti UU; dan Pasal 23 ayat (1) mengajukan RAPBN[8].

Tudingan tersebut bersisiran dengan atmosfer euforia reformasi yang ditandai dengan sindrom dan stigmatisasi “semua yang terkait dengan Presiden Soeharto harus di dekonstruksi” dan pada akhirnya mendorong amandemen UUD 1945 secara membabi buta tanpa memperhatikan aspek historis maupun latar belakang idiologis perumusan UUD 1945. Tudingan pemusatan kekuasaan pada Presiden didekonstruksi dengan merubah otoritas pembuatan undang-undang pada DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 amandemen pertama). Pasal tersebut diimplementasikan secara berlebihan oleh para anggota DPR dengan memberi hak bagi dirinya —melebihi ketentuan yang ada dalam UUD 1945— seperti hak hak menyeleksi para pejabat publik: pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang.

Amendemen secara membabi buta juga tercermin dalam penghapusan utusan golongan dari keanggotaan MPR dan penghapusan kewenangan MPR dalam penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebagaimana telah dibahas dalam bab 6, penghapusan utusan golongan dapat mematikan multikulturalisme Nusantara secara sistematis sebagaimana tumbangnya suku Indian dan Aborigin di tanah kelahirannya sendiri. Begitu pula dengan penghapusan peran MPR dalam penyusunan GBHN merupakan penyimpangan amanat sila keempat Pancasila bahwa pemerintahan Indonesia pada dasarnya pemerintahan rakyat.

Amendemen UUD 1945 beserta implementasinya secara membabi buta pada akhirnya memicu munculnya instabilitas pemerintahan yang dipicu oleh tarik ulur politik antara Presiden dengan kekuatan politik penyangganya di DPR. Hal sama juga dialami oleh pimpinan daerah yang tidak didukung kekuatan mayoritas DPRD sehingga kerja-kerja pemerintahan banyak tersandera oleh tarik ulur politik. Untuk memahami anatomi permasalahan penyebab terjadinya instabilitas pemerintahan pada era reformasi, dikemukakaan fakta-fakta berikut:

Pragmatisme Elit Politik

Kekacauan politik pada era reformasi bukan lagi disebabkan oleh konflik-konflik idiologis melainkan perebutan pos-pos strategis dalam kabinet, direktur-direktur BUMN maupun penguasaan kendali proyek-proyek pemerintah. Sistem multi partai —selama tiga kali penyelenggaraan Pemilu dalam era reformasi— belum mampu menghasilkan partai yang dapat menempatkan wakilnya secara mayoritas (lebih dari 50%) di DPR. Presiden-Wakil Presiden dan Pimpinan Daerah terpilih pada akhirnya tidak memiliki dukungan mayoritas DPR/DPRD yang mana dukungan itu menjadi syarat terciptanya stabilitas pemerintahan. Bahkan sejumlah Pimpinan Daerah terpilih justru tidak berasal dari kader partai kuat, melainkan diusung oleh gabungan partai-partai gurem. Upaya eksekutif melakukan konsolidasi dukungan parlemen seringkali dimanfaatkan oleh politisi-politisi —khususnya yang datang dari partai berbeda— sebagai pintu bargaining agar partainya memperoleh pos-pos trategis dalam pemerintahan. Tarik ulur ini seringkali menyita energi eksekutif sehingga agenda-agenda pemerintahan menjadi terbengkalai.

Bargaining dan Penyanderaan Kasus Hukum

Tarik ulur antara elit politik dengan elit eksekutif tidak jarang dilatarbelakangi komplikasi antar pelakunya yang terbelit kasus hukum, khususnya tindak pidana korupsi. Bargaining politik tidak jarang dilakukan melalui penyanderaan kasus hukum dimana kalangan elit politik dan elit pemerintahan faktanya tidak banyak yang benar-benar bersih dan terbebas dari kasus hukum. Kasus-kasus hukum ini kemudian dijadikan alat untuk saling menikam satu sama lain hingga pada suatu titik tercapai kompromi dengan bargaining-bargaining tertentu. Penyanderaan kasus hukum menyebabkan pelakunya tidak berani mengambil kebijakan atau tindakan tegas —demi kepentingan rakyat— karena dihantui kasusnya akan terbongkar oleh lawan-lawan politiknya[9].

Money Politik dan Maraknya Kasus Korupsi

Pemilihan langsung ditandai dengan maraknya money politik yang terjadi dalam skala lebih luas jika dibandingkan dengan pemilihan Presiden oleh MPR maupun kepala daerah oleh DPRD. Begitu pula pemilu anggota DPR-DPRD antara sistem proporsional (memilih partai) dan pemilihan langsung terhadap calon-calon anggota legislatif dengan sistem suara terbanyak. Dalam iklim perpolitikan yang masih diwarnai dengan mentalitas pragmatis —jabatan publik dinilai sebagai komoditas yang dapat dibeli dan bukannya sebagai amanah—, pemilu langsung memerlukan biaya lebih besar. Implikasi pembengkakan biaya politik itu dinilai sejumlah kalangan menjadi pemicu penggunaan dana publik (APBN-APBD) sebagai sasaran pengembalikan “investasi” yang telah dikeluarkan untuk membeli jabatannya.

Mentalitas korup dalam rangka pengembalian “investasi jabatan” melalui dana publik itu tercermin dari banyaknya pimpinan Daerah (125 dari 524 pimpinan daerah) yang terjerat kasus korupsi[10]. Berdasarkan telaah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat 8 kelompok perkara penyebab terjadinya tindak pidana korupsi (TPK)[11]:

Banyaknya pimpinan daerah yang tersangkut kasus korupsi tidak hanya menyebabkan kerugian secara langsung berupa hilangnya anggaran negara. Berlarut-larutnya proses penegakan hukum menyebabkan energi pimpinan daerah terkuras untuk upaya-upaya pembelaan diri dari jeratan hukum. Pimpinan daerah yang tersandera kasus hukum pada akhirnya tidak dapat mengalokasikan energinya dalam melakukan perencanaan dan mengorganisasi pembangunan serta pelayanan publik secara maksimal. Akibatnya anggaran yang tersedia tidak dapat dimaksimalkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.

Terseretnya pimpinan daerah oleh kasus hukum seringkali memunculkan gerakan-gerakan politik yang menuntut pergantian pimpinan daerah sehingga stabilitas pemerintahan menjadi terganggu. Instabilitas pemerintahan akibat kasus korupsi sebenarnya dapat diminimalisasi manakala proses penanganannya dilakukan secara cepat sehingga segera memperoleh keputusan hukum tetap. Cepatnya penanganan akan segera membebaskan pemerintah dari penyanderaan kinerjanya oleh kasus korupsi yang melilit pimpinan dan pejabat puncaknya.

Berdasarkan anatomi permasalahan sebagaimana dikemukakan diatas, menyeruaknya instabilitas pemerintahan pada era reformasi disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu komplikasi sistem presidensiil-multi partai, konflik kewenangan DPR-Presiden dalam urusan teknis pemerintahan dan in-efektifitas penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi elit politik dan pejabat negara. Dua faktor pertama merupakan penyebab instabilitas pemerintahan pada tingkat pusat, sedangkan faktor terakhir terjadi merata pada semua tingkatan pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Khusus bagi pemerintahan daerah, kasus korupsi merupakan penyebab utama terjadinya instabilitas pemerintahan.

Komplikasi Sistem Presidensiil-Multi Partai

Penghapusan MPR sebagai locus of power (pemegang kedaulatan tertinggi) dan ditetapkanya pemilihan presiden secara langsung —melalui amandemen UUD 1945 yang ketiga— telah menandai pergeseran sistem ketatanegaraan kita ke arah presidensiil[12]. Sistem ketatanegaraan hasil amandemen, khususnya penghapusan MPR sebagai locus of power, bukan saja bergeser dari rancangan asli para perumus konstitusi —yang mendasarkan sistem ketatanegaraan kita pada kaidah dasar negara kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat dan penyelenggaraan demokrasi sosial ekonomi—, akan tetapi juga melupakan realitas multikultural masyarakat nusantara.

Implikasi multikulturalisme Indonesia —dalam hal budaya, idiologi dan agama—- terpantul dalam wajah perpolitikan bangsa yang ditandai dengan memunculnya banyak partai politik berbasis idiologi golongan atau kelompok. Walaupun pada saat ini perinteraksian antar faksi politik maupun dialektikanya dengan eksekutif tidak lagi diwarnai oleh perdebatan idiologis, keberadaan partai-partai tersebut berasal dari varian-varian idiologi berbeda. Fenomena itu dapat menjelaskan kenapa partai-partai menengah dari kalangan Islam —seperti PAN, PKB, PKS dan PPP— lebih memilih eksis dengan kekuatannya masing-masing dan sulit untuk diharapkan dapat melebur menjadi satu kekuatan kepartaian besar.

Amandemen UUD 1945 dengan mengabaikan aspek historis, filosofis maupun kultural pada akhirnya memunculkan kombinasi sistem presidensiil dan sistem multipartai ekstrim dalam ketatanegaraan kita. Padahal sudah sering diingatkan oleh para ilmuwan politik dan ahli Tata Negara, skema presidensiil memiliki resiko jika dikombinasikan dengan sistem multipartai ekstrem. Konsekuensi kombinasi presidensiil-multipartai adalah terpilihnya ”presiden minoritas”—presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR— dan fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, sebagaimana dialami era Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), dan Presiden Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014). Bahkan Scott Mainwaring (1993) mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai[13].

Solusi komplikasi sistem presidensiil-multi partai dapat dilakukan dengan pembatasan jumlah partai secara alamiah —melalui mekanisme parliamentary threshold (PT)— namun tetap memperhatikan batas toleransi tertentu, agar keragaman politik sebagai pantulan ‘multikulturalisme masyarakat Nusantara’ tetap terjaga[14]. Dengan adanya PT, pragmatisme politik, cepat atau lambat akan berhadapan dengan pengadilan rakyat dalam dua bentuk. Pertama, partai yang tidak memiliki kader-kader berkualitas, berintegritas, jujur, bersih —atau tidak mampu membersihkan partainya dari kader-kader yang tidak jujur, pragmatis, tidak memiliki visi dan kompetensi dalam mewujudkan gagasan perubahan untuk kesejahteraan rakyat— dengan sendirinya akan ditinggalkan pemilih pada pemilu berikutnya. Kedua, partai yang tidak dikelola dengan manajemen organisasi secara baik —dan tidak mampu membuktikan kemampuannya mewujudkan kesejahteraan rakyat— cepat atau lambat akan tereliminasi.

Kemerdekaan informasi menjadikan masyarakat semakin melek politik dan mampu membedakan partai yang benar-benar memiliki kader berkualitas serta dikelola dengan manajemen organisasi secara baik dengan partai yang dikelola secara asal-asalan dan didalamnya dipenuhi oleh politisi-politisi yang tidak berintegritas. Proses pendewasaan politik —melalui serangkaian pemilu yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun— menjadikan masyarakat semakin rasional dalam memberikan dukungan politiknya dan tidak lagi terjebak oleh fanatisme golongan, idiologi tertentu atau janji-janji manis kalangan politisi.

Mekanisme PT memang dapat mendorong penyederhanaan partai, namun dalam realitas multikultural Indonesia, penyederhanaan itu kecil kemungkinannya dapat mewujudkan dwi partai sebagaimana sistem kepartaian ideal penopang presidensiil di Amerika Serikat. PT memang bisa mengurangi komplikasi sistem presidensiil-multi partai di Indonesia, akan tetapi tidak dapat diadalkan sebagai instrumen terbentuknya sistem kepartaian ideal dalam skema presidensiil.

Pengembalian Otoritas Eksekutif dan Refungsionalisasi GBHN

Selain komplikasi sistem presidensiil-multi partai, instabilitas pemerintahan pada era reformasi juga disebabkan oleh tarik ulur kewenangan DPR-Presiden dalam urusan teknis penyelenggaraan pemerintah yang seharusnya menjadi otoritas Presiden. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (amandemen pertama) menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Otoritas ini ditafsirkan secara berlebihan oleh DPR dengan memberi hak bagi dirinya campur tangan dalam masalah teknis pelaksanaan pemerintahan, melebihi kewenangan yang diberikan UUD. Penambahan hak itu tercermin dalam proses seleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri atau pimpinan lembaga lainnya yang pembentukannya atau mekanisme pemilihanya diatur melalui undang-undang.

Menurut pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 (amandemen kedua), DPR memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Pada ayat berikutnya (dalam pasal tersebut) disebutkan bahwa selain ketiga fungsi itu, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

Selain ketiga fungsi dan hak tersebut, DPR juga diberi kewenangan dalam: (1) memberi persetujuan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, (2) memberi persetujuan dalam penetapan APBN, (3) memberi persetujuan dalam pengangkatan dan pemberhentian Komisi Yudisial, (4) dan mengusulkan sepertiga calon Mahkamah Konstitusi (MK). DPR juga memberikan pertimbangan Presiden dalam pengangkatan duta dan konsul serta dalam memberikan amnesti dan abolisi.

Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Berdasar ketentuan tersebut, segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan —selain yang sudah diatur secara tegas oleh UUD agar dilakukan bersama-sama DPR— merupakan kewenangan yang melekat pada Presiden (eksekutif).

Penyerobotan hak eksekutif oleh DPR melebihi porsi yang ditetapkan UUD 1945 bukan saja inkonstitusional, akan tetapi juga memperlebar ruang penyanderaan DPR atas kebijakan dan agenda-agenda Presiden. Penyerobotan hak eksekutif ini —sebagaimana dalam kasus seleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri atau pimpinan lembaga lainnya yang pembentukannya atau mekanisme pemilihannya diatur melalui undang-undang— seringkali memicu ketegangan Presiden-DPR sehingga program-program eksekutif menjadi terganggu. Pengembalian kewenangan DPR sesuai dengan pengaturan UUD 1945 bukan saja merupakan pelurusan konstitusional terhadap peran dan fungsi DPR. Pengembalian tersebut juga dapat menghindarkan eksekutif dari ancaman dikatorial partai yang selama ini menjadi pemicu munculnya instabilitas pemerintahan.

Selain pengembalian otoritas Presiden sesuai ketentuan UUD, pengembalian fungsi MPR untuk menetapkan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) juga dapat meminimalisasi konflik DPR-eksekutif. Adanya GBHN akan menjadi panduan tentang arah dan kebijakan negara, sehingga dialektika DPR-Presiden akan dikerangkai oleh isu-isu kebijakan yang benar-benar terkait dengan kemajuan bangsa secara berkelanjutan, dan bukannya terjebak oleh kemauan atau ide-ide pragmatis atau ide-ide bersifat temporal yang datang dari faksi-faksi politik di DPR[15]. Pengembalian fungsi MPR menetapkan GBHN bukan saja meminimalisasi dialektika kebangsaan yang tidak produktif, akan tetapi juga merupakan amanat sila keempat Pancasila agar sistem pemerintahan melibatkan partisipasi seluruh rakyat melalui para wakil-wakilnya.

Efektifitas Hukum Bagi Pejabat Publik dan Elit Politik

Selain mendudukan kembali fungsi, kewenangan, dan hak DPR sesuai ketentuan UUD, instabilitas pemerintahan juga dapat diminimalisasi dengan penegakan hukum, khususnya percepatan penyelesaian kasus-kasus korupsi agar segera memperoleh kekuatan hukum tetap. Selama ini para tersangka korupsi tetap mendapat keleluasaan menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara, pimpinan daerah atau anggota legislatif dengan berlindung dibalik argumentasi “kasusnya belum P-21” atau “belum memperoleh kekuatan hukum tetap”. Argumentasi itu kerap dijadikan senjata oleh kalangan koruptor untuk tetap mempertahankan jabatan dan pada saat bersamaan menggunakan fasilitas jabatan yang dimilikinya untuk membersihkan diri dari jeratan hukum. Berlarut-larutnya penyelesaian kasus korupsi berpengaruh terhadap stabilitas pemerintahan karena energi para pejabatnya terkuras untuk melakukan pembelaan diri dari jeratan kasus hukum.

Salah satu upaya percepatan penanganan kasus korupsi adalah dengan perubahan ketentuan UU No 32/ 2004 yang menyatakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden[16]. Para penyidik seringkali beralasan, lambatnya ijin dari presiden sebagai faktor penghambat penanganan perkara korupsi. Dengan menghapuskan ketentuan “ijin dari presiden”, penanganan kasus korupsi yang melilit pimpinan daerah dapat segera dilaksanakan tanpa harus terjebak birokrasi yang panjang. Para pejabat yang kasusnya dinyatakan P-21 dengan sendirinya harus di non aktifkan dari jabatannya —-hingga proses hukumnya memperoleh kekuatan hukum tetap— agar penanganan kasusnya tidak mengganggu jalannya pemerintahan.

Selain itu juga diperlukan sistem yang dapat memaksa aparat hukum agar mampu menyelesaikan proses penyelidikan, penyidikan dan pemberkasan (hingga status P-21) —terhadap dugaan kasus korupsi yang dilakukan elit politik dan pejabat negara— dalam batasan waktu tertentu. Deadline itu diperlukan agar tersangka korupsi segera memiliki kepastian hukum (dengan kekuatan hukum tetap) bahwa dirinya dinyatakan bersalah atau tidak. Apabila dinyatakan tidak bersalah maka nama baiknya dipulihkan dan jabatannya diberikan kembali. Namun apabila pejabat yang diduga korup benar-benar memenuhi unsur tidak pidana korupsi maka prosesnya akan cepat diselesaikan tanpa mengganggu kinerja pemerintahan. Para politisi juga tidak bisa menggunakan kasus korupsi sebagai instrumen penyanderaan terhadap kerja-kerja eksekutif menjalankan pemerintahan.

Mengacu anatomi permasalahan sebagaimana dikemukakan diatas, percepatan penanganan tindak pidana korupsi terhadap elit politik dan pejabat akan memberikan kontribusi besar dalam mengembalikan stabilitas pemerintahan. Percepatan penanganan korupsi akan membebaskan penyanderaan roda pemerintahan —baik pusat maupun daerah— dari para pejabat tersangka kasus korupsi yang masih bercokol dan mencengkeram jabatannya.

***


[1]     Disarikan dari buku Politik Kenusantaraan

[2]     Pada tingkat ekstrim, pragmatisme politik akan mengantarkan dinamika perpolitikan bangsa kedalam kumparan perebutan kekuasaan berbasis egoisme kelompok atau klan tertentu, walaupun dikemas dengan isu-isu kesejahteraan. Pada suatu titik, dinamika itu seringkali mengabaikan kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa demi kecemerlangan politik kelompok atau klan yang di dukungnya.

[3]     Dalam perdebatan lebih lanjut memunculkan kontroversi apakah para wakil rakyat merupakan delegates/ messenger boy (terikat oleh kepentingan partai) atau trustee (anggota DPR mengeluarkan suaranya sebagai sosok merdeka, menurut perasaan kehormatan dan keinsafan batinnya, tidak selalu atas perintah atau kewajiban mengikuti induk partainya).

[4]     Pidato Presiden, Wejangan Bapak Presiden Kepada Para Peserta Sarasehan Pembekalan Bagi Calon Anggota DPR-RI Periode 1997-2002 di Istana Negara, (Jakarta: Sekretariat Negara, 9 Agustus 1997), hlm 40.

[5]     Ibid, hl 40-41

[6]     Sofian Effendi, makalah dengan judul “Sistem Pemerintahan Adalah Jati Diri Bangsa”, (Yogyakyakarta: Universitas Gajah Mada: 2 Februari 2005), hlm 8. 

[7]     Sistem pemerintahan yang disusun para pendiri negara Indonesia bukanlah mencontek apa adanya dari sistem parlementer atau presidensil, akan tetapi menggunakan sistem sendiri. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR. Lihat dalam Sofian Effendi, makalah dengan judul “Sistem Pemerintahan Adalah Jati Diri Bangsa”, (Yogyakyakarta: Universitas Gajah Mada: 2 Februari 2005), hlm 8. 

[8]     Wawan Kurniawan, evektifitas versus demokrasi, SAKSI No. 21 Tahun IV 23 Juli 2002.

[9]     Sebagai contoh kasus Bibit-Candra yang pada awalnya terbelit kasus hukum namun agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat kasusnya di Deponering. Mereka berdua akhirnya diijinkan mengikuti pemilihan ketua KPK dalam sebuah proses di DPR yang menandakan keberadaan mereka diterima oleh para anggota DPR. Namun ketika KPK mulai melakukan penangkapan terhadap politisi partai-partai besar yang terjerat kasus gratifikasi pemilihan Gubernur BI, para politisi kemudian mempersoalkan kembali Deponering yang telah membebaskan mereka berdua dari tuntutan hukum.

[10]    Rincian:18 gubernur, 17 walikota, 84 bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil bupati, 8 wakil walikota.

[11]    Sudah 125 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi Dengan Status Tersangka, Lawang Post, 7 November 2010

[12]    Sofian Efendi, Op. Cite, hlm 7

[13]    Samsudin Haris, Presidensial Cita Rasa Parlementer, http://picasaweb.google.com, Jum’at, 28 November 2008

[14]    Kecuali jika dapat dicapai konsensus penyederhanaan partai (tanpa menggunakan mekanisme PT ataupun ET) sebagaimana dilakukan Presiden Soeharto, maka komplikasi presidensial-multipartai akan dengan sendirinya dapat diatasi.

[15]    Tidak adanya GBHN menjadikan dialektika pembangunan pada era reformasi diwarnai oleh penyikapan terhadap ide-ide baru yang bermunculan secara sporadis sehingga hanya menghasilkan perbaikan-perbaikan atau sekenario pembangunan secara parsial. Adanya GBHN akan menjadikan dialektika kebangsaan tetap berada dalam koridor agenda menyeluruh pembangunan bangsa sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan oleh MPR.

[16]    Kecuali kasus yang ditangani KPK, maka prosesnya tidak memerlukan ijin Presiden.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.