SEMUA PEJABAT TINGGI HARUS MEMELOPORI PEMBAYARAN PAJAK

SEMUA PEJABAT TINGGI HARUS MEMELOPORI PEMBAYARAN PAJAK

 

 

Pajak Kekayaan akan Diganti

 

 

PRESIDEN SOEHARTO :

 

Presiden Soeharto menyerukan, semua pejabat pemerintah, khususnya pejabat tinggi negara maupun eselon I dan II, harus menjadi pelopor dan contoh sebagai wajib pajak yang baik.

Bahkan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga membantu aparat pajak memberi penjelasan masalah pajak kepada masyarakat. Mengajak masyarakat agar sadar membayar pajak.

“Penerimaan negara dari sektor pajak sangat diperlukan untuk pembangunan dengan kemampuan sendiri. Karena itu pembayaran pajak oleh masyarakat harus diiaksanakan dengan tertib,” katanya

Seruan Presiden ini dikemukakan selesai acara penjelasan mengenai peraturan-peraturan perpajakan yang baru, di Istana Negara hari Sabtu.

Penjelasan ini disampaikan oleh Dirjen Pajak Drs. Salamun A.T. di hadapan semua pejabat tinggi negara, dari Presiden, Wakil Presiden, para menteri, Ketua DPA, Ketua MPR sampai pejabat eselon I dan II. Penjelasan selama 2 jam 45 menit, disusul dengan tanya jawab selama satu jam.

Dalam menutup acara penjelasan tersebut, Presiden selanjutnya mengemukakan, yang memang tidak mampu tidak akan dipaksa membayar pajak. Dalam ketentuan perpajakan yang baru sudah tercermin asas keadilan dan pemerataan.

“Karena itu yang memang tidak mampu tidak usah khawatir. Undang-undang perpajakan tidak memaksa orang yang tidak mampu untuk membayar pajak,” katanya.

Dalam kesempatan itu Presiden juga menyesalkan adanya pejabat-pejabat tinggi yang belum mengisi LP2P (Laporan Pajak-Pajak Pribadi) secara benar kepada Presiden.

Pegawai negeri, selain mengisi formulir pajak, juga harus mengisi LP2P. Tetapi kenyataannya pengisian LP2P belum tertib. Banyak yang merasa enggan atau merasa tidak perlu memenuhi instruksi Presiden tersebut.

“Saya sudah baca LP2P tersebut, sehingga saya tahu cara masing-masing pejabat mengisi. Tempo-tempo saya ketawa, karena seorang pejabat kok mengisi laporan saja tidak bisa. Artinya kurang tertib, maka laporan itu saya kembalikan dan pejabat itu harus belajar mengisinya,” kata Presiden.

Pajak Kekayaan

Dalam acara tanya jawab, dari tujuh penanya sebagian besar menanyakan masalah pajak kekayaan. Tetapi waktu satu jam sebagai kesempatan untuk tanya jawab tersebut, terasa sangat pendek. Walaupun pertanyaan-pertanyaan tajam dilontarkan oleh Presiden maupun pejabat tinggi lainnya, Dirjen Salamun A.T dengan tenang terus melayani, tanpa nampak gugup.

Presiden sebagai pembuka acara tanya jawab ini mengajukan dua pertanyaan mengenai cara mengisi formulir pajak penghasilan. Ditanyakan, yang dicantumkan dalam formulir itu pajak penghasilan pegawai negeri yang sudah dipotong pajaknya, atau yang belum?

Juga ditanyakan, sebelum dimasukkan sebagai penghasilan, apakah ada jenis-jenis pengurangan yang bisa mengurangi penghasilan tersebut. Misalnya biaya administrasi?

Salamun menjawab, yang disebut penghasilan tersebut adalah penghasilan bersih. Artinya sudah dikurangi pajak yang dipungut oleh KPN (Kantor Perbendaharaan Negara).

Tetapi nanti dalam penjumlahan akhir, seluruh penghasilan akan dicantumkan sehingga jika terdapat penghasilan lain dan temyata besar, kemungkinan ada yang harus membayar lebih dari 15 persen sesuai ketentuan perpajakan.

Seperti diketahui, dalam ketentuan perpajakan ada tiga jenis tarif yaitu 15 persen pajak penghasilan untuk yang penghasilannya sampai Rp 10 juta setahun 25 persen untuk yang sampai Rp 50 juta dan 35 persen di atas Rp 50 juta. Mengenai biaya administrasi, Salamun mengatakan, biaya itu bisa dikurangkan.

Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, menanyakan mengenai pajak rumah tangga yang obyek pajaknya sama dengan pajak kekayaan. Dinyatakan, dengan adanya persamaan obyek tersebut, akan terjadi pajak berganda bagi masyarakat pemilik kulkas, tape recorder dan barang-barang lainnya.

Salamun menyatakan, masalah pajak kekayaan dan pajak rumah-tangga ini memang sedang dibahas. Memang benar, pengenaan kedua jenis pajak ini akan memberatkan karena berganda. Tetapi Departemen Keuangan kini merencanakan untuk mengubah pajak kekayaan agar lebih rasionil.

“Obyek dalam pajak kekayaan antara lain termasuk barang perhiasan, tape recorder dan lainnya, kenyataannya sangat sulit diperiksa karena harus menggeledah rumah orang untuk mencari obyek pajak ini. Karena itu ketentuan ini akan diubah,” katanya.

Dalam perubahan nanti pajak kekayaan diganti dengan undang-undang baru mengenai pajak atas harta tetapi yang akan digabungkan dengan Ipeda (luran Pembangunan Daerah). Jika undang-undang ini keluar, maka pajak rumah tangga akan dihapus, dan sebagai gantinya, sebagian dari pajak atas harta tetap dan Ipeda itu akan diserahkan untuk pemerintah daerah.

Nilai Rumah

Menteri Koperasi Bustanil Arifin maupun Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) Ir. Drs. Ginandjar Kartasasmita, menanyakan hal yang sama mengenai pajak kekayaan untuk rumah.

Bustanil menanyakan, nilai rumahnya yang berada di Jl. Hang Tuah Kebayoran Baru. Dikatakan, rumahnya yang dibeli 12 tahun yang lalu itu semula berharga Rp 17 juta. Tetapi kini mungkin sudah 500 juta rupiah. Karena itu, nilai mana yang harus dipakai?

Salamun mengatakan, untuk pajak kekayaan, nilainya ditentukan oleh harga lingkungan saat ini, sehingga untuk rumah pak Bustanil juga Rp 500 juta. Tetapi sesuai dengan ketentuan perpajakan, tidak seluruhnya terkena paiak kekayaan.

Dari Rp 500 juta itu, akhirnya hanya Rp 215 juta yang terkena pajak kekayaan. Perhitungannya adalah untuk Rp 50 juta pertama hanya dinilai 10 persen. Kemudian Rp 50 juta selanjutnya dinilai 20 persen. Lalu di atas Rp 100 juta dinilai 50 persen.

Sedang untuk pajak penghasilan, jika rumah itu dijual, akan dikurangi nilai rumah sebelum dijual. Misalnya rumah tersebut tahun 1978 berharga Rp 17 juta, tahun 1985 ini nilainya harus dikalikan 6,37 persen sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan, sehingga menjadi Rp. 102 juta. Setelah dijual Rp 500 juta maka penghasilan yang diterima dan terkena pajak adalah Rp 398 juta. Disini memang terjadi dua jenis harga.

Menteri Muda Ginandjar menanyakan cara-cara penilaian harga sebuah rumah, dan siapa yang berhak menilainya. “Misalnya untuk rumah saya di Jalan Daksa, siapa yang akan menilai dan berdasarkan apa penilaian tersebut?” tanyanya. Menteri Muda sekaligus juga menanyakan mengenai rumah atau mobil yang dibeli dengan angsuran.

Menjawab pertanyaan ini Dirjen Pajak mengakui, menilai harga rumah memang sulit. Instansi pajak sudah menyadari. Karena itu wajib pajak yang menilai harga rumahnya terlalu rendah, tidak pernah ditindak. Tetapi untuk sekarang ini, dasar yang dipakai adalah faktor lingkungan.

Masalah penilaian rumah tinggal itu, diharapkan bisa terpecahkan jika telah dikeluarkan undang-undang mengenai harta tetap dan Ipeda. Sebab dengan cara ini akan bisa ditentukan nilainya melalui rayon-rayonnya seperti Ipeda sekarang ini.

Mengenai rumah atau kendaraan angsuran, Salamun mengatakan, karena rumah yang diangsur itu nanti pasti akan menjadi miliknya, maka untuk praktisnya aparat pajak menentukan bahwa rumah itu sudah dimiliki yang mengangsur.

Karena itu dalam SPT (surat pemberitahuan) pajak, harga rumah itu harus dicantumkan semua. Kemudian baru pada pengurangan pajak dicantumkan utangnya, untuk pegawai negeri adalah utangnya kepada negara. Kemudian juga dicantumkan sisa utang yang harus dibayar.

Dr Adrianus Moy dan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) mengetengahkan pertanyaan mengenai rumah yang dikontrakkan, untuk menghitung pajak penghasilan.

Misalnya ada seseorang mengontrakkan rumah dengan nilai Rp 10 juta pertahun, kemudian untuk mengontrakkan itu dia pun harus mengontrak lagi di lokasi yang lebih jelek dengan harga hanya Rp 2 juta. Dalam penilaian penghasilan, apakah dihitung Rp 10 juta atau Rp 8 juta, yaitu setelah dikurangi Rp 2 juta ?

Dirjen Salamun, yang merupakan satu-satunya Dirjen yang pernah memberikan penjelasan di hadapan Presiden dan seluruh pejabat tinggi lainnya, menyatakan bahwa penghasilan yang dihitung adalah Rp 10 juta. Sedang yang Rp 2 juta tidak bisa dipakai sebagai pengurangan, sebab pengurangan yang diperbolehkan adalah yang melekat dalam rumah yang dikontrakkan. Misalnya biaya perbaikan sebelum dikontrakkan.

Adrianus Moy juga menanyakan, apakah seorang ibu yang menitipkan anaknya di tempat penitipan anak atau baby sitter, bisa menggunakan biaya penitipan itu untuk pengurangan pajak?

Menurut Dirjen Pajak, biaya penitipan itu dianggap sebagai pengeluaran biasa sehingga tidak bisa dipakai sebagai biaya. Tetapi jika memang banyak ibu-ibu yang tidak bisa bekerja jika tidak menitipkan anak, mungkin hal ini bisa dibicarakan lagi, katanya.

Prinsip Pajak

Ketua Dewan Pertimbangan Agung, M. Panggabean dalam pertanyaannya lebih menekankan masalah prinsip-prinsip dari ketentuan pajak yang baru.

Ditanyakan, apakah dengan penentuan pajak baru tersebut sudah benar-benar diperhitungkan, bahwa pegawai yang memiliki penghasilan tetap akan mampu membayar pajak? Sebab kalau tidak, tentu tujuan pembualan pajak itu kurang tercapai.

Dikemukakan, sering terjadi bagi pegawai negeri, di mana dia mampu memiliki rumah atau kendaraan bermotor, tetapi sebetulnya dia sendiri belum memiliki penghasilan yang cukup. Ini akan mempersulit pembayaran pajaknya.

“Misalnya seperti saya yang kebetulan memiliki rumah di Jl. Teuku Umar. Jika dinilai harga sekarang, akan sangat tinggi. Padahal rumah itu sendiri tidak menghasilkan karena tidak disewakan.”

Panggabean juga kemudian memberi contoh mengenai mobil sedan Bel Air yang pernah dibelinya setelah dia pulang belajar dari Amerika Serikat. Walaupun memiliki mobil sedan, tetapi sebetulnya kalau disuruh membayar pajak masih terlalu berat.

Karena itu, ketika itu pemerintah kemudian membebaskan pajak untuk kendaraan bagi seluruh angkatan bersenjata. “Kami memiliki mobil tersebut bukan karena kemampuan kami membeli. Berbeda dengan pengusaha yang bisa membeli,” katanya.

Menjawab pertanyaan Panggabean yang panjang lebih tersebut, Salamun hanya mengemukakan jawaban pendek yang dinilai sudah menyangkut seluruhnya.

Misalnya mengenai kemampuan pegawai negeri membayar pajak, dinyatakan bahwa pemerintah sudah memberikan batas yang cukup tinggi untuk PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak).

PTKP untuk diri wajib pajak mencapai Rp 960.000, kemudian ditambah Rp 480.000 bagi yang sudah kawin. Jika istrinya itu bekerja, PTKP ditambah lagi Rp 960.000. Jika mempunyai anak atau keluarga yang ditanggung sepenuhnya, PTKP itu ditambah Rp 480.000 per orang yang ditanggung, dan maksimal 3 orang untuk setiap keluarga.

Rumah tinggal besar yang dimiliki oleh orang yang tidak mampu, menurut Salamun memang menjadi persoalan. Banyak orang yang sudah telanjur memiliki rumah besar, padahal penghasilannya tidak mencukupi untuk membayar pajaknya.

Untuk mengatasi masalah ini, salah satu jalan adalah memberikan penilaian khusus bagi rumah-rumah tinggal. Tetapi tidak mungkin untuk membebaskan sama sekali sebab berlawanan dengan ketentuan pajak.

Pada prinsipnya, mereka yang memiliki rumah besar dinilai lebih mampu dari-pada yang memiliki rumah kecil. Karena itu sudah sepantasnya yang memiliki rumah besar harus membayar pajak lebih besar.

Selain itu Menteri Keuangan juga sudah menaikkan kekayaan yang bebas pajak. Kalau dulu batasnya hanya Rp 14 juta, kini dinaikkan menjadi Rp 80 juta.

Ali Affandi dari Sekretariat Negara, sebagai penanya terakhir mengajukan banyak pertanyaan dan beruntun. Bukan hanya pertanyaan tetapi sekaligus keluhan dan kritikan.

Misalnya, dia yang tahun 1978 sudah pindah dari Inspeksi Pajak Jakarta Selatan ke Jakarta Pusat, ternyata masih terus dikirim SPT pajak oleh Jakarta Selatan.

“Sejak tahun 1978 sampai tahun 1985 ini, setiap tahun saya harus memberitahu kepada Inspeksi Pajak Jakarta Selatan, bahwa saya sudah pindah ke Jakarta Pusat. Memang secara materiil tidak merugikan, tetapi sangat merepotkan,” katanya yang disambut ketawa riuh hadirin, termasuk Presiden sendiri.

Ali Affandi masih melanjutkan, dikatakan bahwa dia telah dikirimi NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dari Inspeksi Pajak Jakarta Pusat dengan nomor 5.142.242.6.25. Tetapi dari Jakarta Selatan, tanpa mendaftarkan diri, pejabat ini juga memperoleh NPWP No. 5.006.438.5.22.

Menjawab hal ini, Salamun tidak kalah luwesnya. Dikatakan, keluhan tersebut memang banyak. Tetapi setelah diperbaiki, keluhan itu semakin menurun dan terakhir adalah keluhan Ali Affandi tersebut.

Dikatakan juga bahwa Ditjen Pajak sudah mulai dengan sistem komputer, sehingga kesalahan-kesalahan akan teratasi.

Overhead Projector

Penjelasan pajak oleh Dirjen Pajak Salamun A.T tersebut dimulai dengan penjelasan masalah pajak penghasilan. Khususnya cara-cara mengisi formulirnya untuk pegawai negeri. Penjelasan ini dilakukan panjang lebar, hampir dua jam.

Dalam kesempatan itu juga dibagikan beberapa brosur­brosur dan formulirnya. Agar lebih jelas, dirjen juga menggunakan sarana overhed projector. Setelah masalah pajak penghasilan, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai pajak kekayaan dan terakhir PPN (pajak pertambahan nilai). (RA)

 

 

Jakarta, Kompas

Sumber : KOMPAS (18/02/1985)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 110-116.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.