PEMBOROSAN DAN “KEBOCORAN” KEUANGAN NEGARA [1]
Kita Mintakan Tanggungjawab Para Pengelola Keuangan Negara
Oleh: Soepardi T.H.
Jakarta, Kompas
Jauh-jauh hari sebelum dicanangkannya genta Rencana Pembangunan Lima Tahun, di tahun 1968 telah dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1968 tentang Penertiban Tata Usaha Keuangan Negara. Di bulan Januari 1976 yang lalu, Instruksi Presiden tersebut telah berusia sewindu.
Instruksi Presiden tersebut berisi penugasan kepada Menteri Keuangan untuk: (1) melaksanakan penertiban tata usaha keuangan Negara dengan cara lebih mempergiat dan meningkatk:an kegiatan pengawasan umum, (2) memberikan petunjuk-petunjuk teknis mengenai tata usaha keuangan Negara yang diselenggarakan oleh Departemen/Lembaga/Instansi-instansi/badan (3) menghimpun semua peraturan-peraturan yang berlaku dewasa inidalam bidang penugasan dan pengurusan keuangan Negara.
Kepada semua Menteri/Pimpinan Lembaga-lembaga diminta untuk: (a) mengindahkan semua peraturan-peraturan yang berlaku dalam bidang penguasaan dan kepengurusan keuangan negara dan (b) memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan oleh para petugas Departemen Keuangan dalam rangka tugas pengawasannya.
Pada bulan dan tahun yang sama, keluarlah Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1968, tentang pengawasan keuangan negara. Diantara isinya adalah mengatur tugas dan wewenang Direktrorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara.
Sementara itu pada tiap Departemen/lembaga Negara yang menguasai bagian anggaran sendiri, diadakan unit pengawasan keuangan yang berada di bawah inspektur Jenderal Departemen/Lembaga yang bersangkutan.
Disamping Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara dan Inspektorat Jenderal Departemen/Lembaga Negara, instansi/pejabat yang berhak untuk melakukan pengawasan adalah, Kantor Bendahara Negara dan atasan Bendaharawan. Dan last but not least Badan Pemeriksa Keuangan dan Inspektur Jenderal pembangunan.
Jadi, tidak kurang dari 6 (enam) aparat pengawasan yang berhak melakukan penguasaan dan pengurusan keuangan negara, 5 (lima) aparat pemerintah dan 1 (satu) aparat pengawasan di luar (ekstern) pemerintah, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan.
Lain Peraturan, Lain Pelaksanaan
Sebagai pelaksanaan daripada instruksi Presiden No. 3 Tahun 1968, Menteri Keuangan telah menerbitkan Surat Keputusan:
- Nomor 330/M/V/9/1968 tentang pedoman tentang penatausahaan Kas Milik negara, cara pengawasan dan pemeriksaannya.
- Nomor 331/M/V/9/1968, tentang pedoman bagi pegawai yang diberi tugas melakukan pemeriksaan umum kas pada bendaharawan/pemegang kas.
- Nomor 332/M/V/9/1968 tentang buku kas umumnya.
Disamping itu telah lama dikenal “indische compabiliteitswet (ICW Staatblad 1925 No. 448) dan “Regelen voor bet Administratif Beheer” (RAB – staatsblad 1933 No. 381).
Dan sejak pelaksanaan Repelita I, dikenal Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapat dan Belanja Negara. Dari yang diutarakan diatas, kita mengetahui sumber-sumber peraturan mengenai pelaksanaan tata usaha keuangan Negara, dan sekaligus mengetahui aparat pengawas/instansi yang berhak melakukan pengawasan/pemeriksaan.
Tujuan utama daripada peraturan/ketetapan dimaksud adalah : (1) terciptanya tata usaha keuangan negara yang tertib dan teratur, (2) terwujudnya sasaran pemerintah, yaitu kesejahteraan rakyat untuk melangkah pada cita-cita bangsa, adil dan makmur yang merata, materiil dan spirituil.
Di harian ini, pernah disajikan tulisan mengenai penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran dan masih banyaknya terjadi tindak non disipliner dalam pelaksanaan anggaran dan pemeriksa anggaran yang pada masing-masing segi tersebut bisa terjadi tindak non disipliner.
Kita Mintakan Pertanggungan Jawab
Untuk bisa melaksanakan anggaran (Belanja negara) diperlukan (1) Undang undang tentang APBN, (b) Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan APBN (c) Daftar Isian Proyek DIP bagi pelaksanaan Proyek-proyek pembangunan dan (d) Daftar isian kegiatan (DIK) bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan rutin.
Kebocoran Anggaran Negara (keuangan Negara), bisa terjadi dalam pelaksanaan Anggaran Rutin. Atau dengan kata lain pemborosan/kebocoran keuangan Negara bisa teradi di dalam pelaksanaan DIP maupun DIK. Ini bisa terjadi meskipun untuk pelaksanaan tata usaha! pengelolaan keuangannya telah ada berbagai peraturan dan ketetapan dan aparat pemeriksa! pengawas-pun telah disiapkan.
Berbagai pendapat telah sering dikemukakan dalam mass-media tentang pemborosan dan kebocoran Anggaran Negara. Namun hanya sedikit yang “membuka” dan mengemukakan sebab musabab dan cara-cara mengatasinya.
Kita tahu pasti bahwa pemborosan dan kebocoran keuangan Negara memberikan akibat kerugian negara baik uang, tenaga, waktu maupun fisik-materiil. Efek selanjutnya adalah menghambat pembangunan.
Pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk memperbaiki “keadaan” demikian, namun hasilnya setali-tiga uang: pemborosan dan kebocoran keuangan Negara tetap terjadi.
Kita masih ingat peran “Pak Sidik” yang dibawakan oleh Menteri MENPAN beberapa waktu yang lalu di “panggung” KBN, Jakarta dengan lakon “ketangkap basah”. Jalan ceritanya singkat saja, yaitu: menja jagi kebenaran adanya uang-pelicin, uang siluman dan entah uang-uang apa lagi, yang dipungut dengan atau tanpa kompromi dari pihak sana yang terdiri dari pegawai-kecil RSCM. Dan peran “Pak Sidik” tersebut rupanya sangat berhasil.
Jika kasus “Pak Sidik” tersebut hanya merugikan kantong-kantong pegawai kecil, bagaimana dengan kerugian-kerugian Negara, yang antara lain lewat pemborongan pekerjaan, pembelian barang-barang melalui leveransir dsb- nya.
Apakah untuk iniperlu diperankan figur semacam “Pak Sidik” lagi? Bukan itu maksud kita, bukan demikian pulahendaknya, maksud Pemerintah, Kita menghendaki pengertian para aparat Pemerintah, khususnya para pengelola keuangan Negara untuk:
- tunduk-turut pada aturan tata tertib tata usaha keuangan Negara.
- tidak menghambat dan!atau mempersulit prosedur pembayaran;
- menghilangkan “red tapes” dikalanganaparat Pemerintahan; dan
- menghendaki “aturan permainan” yang negatif, serta;
- mengamankan keuangan Negara dalam arti yang seluas-luasnya.
Sudah tentu dari aparat Pemerintah, khususnya para pengelola keuangan negara, kita mintakan pertanggungan-jawabnya mengenai masalah tersebut. Satu dan lain hal demi untuk menutup kebocoran dan menghindari pemborosan dalam pengelolaan keuangan Negara.
Sumber Kebocoran dan Pemborosan
Diatas telah disinggung bahwa kebocoran dan pemborosan keuangan Negara dapat terjadi pada pelaksanaan anggaran pembangunan maupun pelaksanaan anggaran rutin.
Dari Anggaran Pembangunan; Dalam DIP tercantum jumlah rencana pembiayaan yang diperuntukkan bagi: Upah/gaji, tanah bahan-bahan, peralatan & mesin-mesin, pengangkutan lokal (termasuk handing cost), perjalanan, konstruksi, lain-lain pengeluaran dan bea-masuk & pajak-pajak.
Pada setiap jenis pengeluaran dimungkinkan timbulnya “aturan permainan” yang mengakibatkan pemborosan dan kebocoran keuangan Negara.
- Kebocoran keuangan Negara pada jenis pengeluaran upah/gaji. Apakah kita yakin bahwa pengeluaran untuk upah/gaji benar-benar dikeluarkan untuk membelanjai pekerjaan proyek ybs. Tidak adakah pekerjaan “selundupan” yang ada nama tidak ada orangnya dalam daftar pekerja Proyek ybs.
- Kebocoran keuangan Negara pada jenis pengeluaran untuk tanah. Tanah merupakan sumber penghasil yang “cukup empuk”. Dengan menaikkan harga tanah sekian rupiah per-meter persegi, bisa diperoleh pengeluaran uang negara yang tidak sedikit untuk pembelian tanah dalam jumlah ribuan meter persegi. Sangat leluasa untuk mengatur ‘harga’ tanah sekitarnya plafon anggaran yang tersedia jauh lebih tinggi dari harga realita. Karena itu apa salahnya jika pimpinan proyek panitia pembelian ybs. menaikkan harga tanah setingkat plafon?
- Bahan-bahan, peralatan dan mesin-mesin pun mendatangkan “hokie” yang tidak sedikit. Bukankah awam telah maklum, demikian halnya leveransir, bahwa “orang dalam” perlu diberi perangsang? Oleh karena itu menaikkan harga barang dengan sekian rupiah atau sekian prosen per unit adalah ”wajar”.
- kebocoran keuangan Negara dari perjalanan, pada dasarnya banyak dijumpai dengan versi antara lain; mencatut lamanya/waktu perjalanan dan “menyulap” kwitansi hotel yang ”tarip”nya lebih rendah dari ketentuan lumpsum menjadi lebih tinggi.
- kebocoran keuangan Negara pada jenis pengeluaran konstruksi dapat kita jumpai demikian; seperti halnya pada pembelian peralatan dan bahan-bahan serta mesinmesin, pembangunan konstruksi pun bisa menjadi “sumber penghasilan” yang lumayan. Bukankah volume dan kwalitas pekerjaan bisa disulap? Meskipun untuk itu berakibat turunnya kwalitas fisik dan kerugian bagi Negara.
- Belum lagi pengeluaran-pengeluaran ekstra dari pemborong yang notabene akan dimasukkan dalam kalkulasi harga penawaran. Akibatnya adalah harga tinggi, kwalitas rendah!.
- kebocoran keuangan Negara dari jenis pengeluaran lain-lain, akan nampak dari pengertian “lain-lain” itu sendiri, yang dapat ditafsirkan sebagai pengeluaranpengeluaran yang disebutkan tadi Tampaknya pos ini memberi peluang pada pimpinan proyek untuk mereka-reka.
- Pemborosan/kebocoran keuangan Negara bagi keperluan pengeluaran untuk bea masuk dan pajak-pajak penulis belum begitu yakin. Dengan kata lain kalau toh ada uang akan masuk “kantong”Negara.
Dari Anggaran Rutin; inibisa terjadi, teristimewa pada belanja-barang, belanja pemeliharaan, dan juga belanja-perjalanan. Pada dasarnya prakteknya sama dengan yang telah diuraikan diatas.
Belanja barang prosesnya mirip pada pembelian tanah, bahan-bahan peralatan. Belanja Pemeliharaan mirip halnya pada pelaksanaan pembelian-pembelian dan juga pelaksanaan bangunan konstruksi.
Sedang belanja perjalanan, pemborosan/kebocoran keuangan Negara, bisa terjadi antara lain dengan “mencatut” lamanya waktu tugas.
Jadi dari dua Anggaran Belanja Negara (Pembangunan dan Rutin) selalu dimungkinkan timbulnya pemborosan/kebocoran keuangan Negara. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa pemborosan/kebocoran Anggaran berupa:
- tendensi merubah harga/menaikkan harga dari satuan barang yang dibeli,
- tendensi melakukan kecurangan denganjalan menurunkan volume dan kwalitas bahan, barang atau bangunan,
- Menyulap jumlah tenaga kerja pada proyek dan tendensi “mencatut” waktu lamanya perjalanan dinas,
- Lain cara-cara negatif yang seolah-olah menghalalkan setiap cara yang ditempuh dengan dalih suksesnya pembangunan.
Bahan-bahan diatas kiranya bisa dianggap sebagai informasi terbuka kepada para pemeriksa dan pengawas keuangan untuk meneliti dengan seksama kewajaran dan kebenaran daripada bukti-bukti yang disajikan oleh proyek.
Hendaknya para pemeriksa keuangan insyap akan kesulitan yang mungkin timbul, sebab umumnya bukti-bukti yang disajikan demikian “smooth” dan “benar”. Jika dijumpai hal yang demikian, diperlukan metode lain untuk mengecek kebenaran dari data-data tersebut. Yakni memeriksa asal-usul atau riwayat pembuatan surat-surat bukti pengeluaran keuangan negara bersangkutan.
Usaha Untuk Memperbaiki
Beberapa hal mengenai cara mengecek kebenaran dari pada bukti-bukti yang disajikan oleh proyek telah dikemukakan di atas. Pemerintah pun telah membentuk aparat pemeriksa dan pengawas Keuangan. Bahkan Presiden telah menginstruksikan kepada para Menteri dan Pimpinan instansi Pemerintah, untuk mengambil langkahlangkah yang sungguh-sungguh dalam meningkatkan pembinaan dan pengawasan aparatur di lingkungannya.
Cara lama, dengan menaikkan gaji pegawai, nyatanya kurang memberikan hasil sebagaimana diharapkan. Inflasi dan “rangsangan” dari masyarakat yang menampakkan cara hidup yang berlebih-lebihan sangat mempengaruhi aparat Pemerintah. Meskipun untuk itu telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 1974 tentang Pola Hidup Sederhana.
Berbagai peraturan-peraturan tata usaha Keuangan dimaksudkan untuk terciptanya Iklim administrasi Keuangan yang tertib. Akan tetapi kenyataan justru penyimpangan penyimpangan/penyelewengan-penyelewengan terhadap tata tertib terus berjalan.
Maka mau tak mau timbullah kesimpulan bahwa apapun ujud peraturan/ketetapan/pedoman dimaksud, tidak akan kuasa membendung pemborosan dan kebocoran Anggaran Negara apabila tidak disertai tindakan yang tegas terhadap para pelanggamya.
Marilah kita kembalikan masalah ini kepada yang berwenang untuk ini. Mampukah pihak berwenang membendung kebocoran Anggaran Negara hanya dengan peraturan/ketetapan/pedoman melulu.
Sumber: KOMPAS (10/02/1976)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 41-46.