PENURUNAN PAJAK TIDAK JAMIN PENINGKATAN VOLUME EKSPOR[1]
Jakarta, Antara
Penurunan pajak ekspor yang ditujukan pemerintah untuk merangsang gairah dunia usaha, dinilai oleh berbagai kalangan tidak menjarnin peningkatan volume ekspor nasional.
Penilaian tersebut dikemukakan oleh pengamat ekonomi Kwik Kian Gie, Tadjoeddin Noersaid anggota kornisi VI DPR dan pengusaha Fadel Muhamad, ketika menanggapi masalah penurunan pajak ekspor yang merupakan salah satu isi pidato Presiden Soeharto atas Nota Keuangan dan RAPBN 1994/1995 di depan anggota DPR di Jakarta, Kamis.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 1994/1995 yang disampaikan Presiden itu disebutkan, pendapatan pemerintah dari pajak ekspor hanya Rp 16,4 miliar, 45,3 persen lebih kecil dari APBN tahun 1993/ 1994 yang mencapai Rp 30 miliar.
Menurut Kwik, peningkatan volume ekspor itu dipengaruhi oleh beberapa elemen yang sebagian besar merupakan kebutuhan produsen dalam menghasilkan barang seperti infrastruktur.
“Tersedianya infrastruktur yang memadai merupakan hal yang lebih penting ketimbang penurunan pajak ekspor karena secara langsung dapat mempengaruhi efisiensi industri,”katanya.
Hal senada juga dikatakan Fadel Muhamad, tanpa tersedianya infrstruktur yang dibutuhkan pengusaha untuk menekan biaya produksi, sulit bagi para pengusaha untuk menembus pasar internasional yang dewasa ini menuntut daya saing tinggi.
“Kalau ditanya dampaknya, memang ada peningkatan, tetapi kecil sekali, karena penurunan pajak ekspor itu ‘kan merupakan bagian kecil dari faktor-faktor yang dibutuhkan oleh dunia usaha,” tegasnya. Tadjoeddin yang merupakan anggota Komisi VI dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP) menilai, kalau penurunan pajak ekspor itu ditujukan untuk meningkatkan volume ekspor maka pemerintah tidak akan mendapatkan basil sesuai dengan yang diharapkan.
“Yang lebih dibutuhkan pengusaha itu ‘kan kemudahan-kemudahan dalam kegiatan produksi, dan penurunan pajak ekspor merupakan suatu hal yang tidak akan banyak mempengaruhi keadaan yang ada sekarang ini,”jelasnya. Oleh karena itu, katanya, kalau pengusaha telah berpendapat mampu meningkatkan volume ekspor dengan catatan infrastruktur yang dibutuhkan terpenuhi, seharusnya pemerintah lebih menekankan pada upaya membangun infras ‘tur itu.
Tanpa Proteksi
Baik Kwik, Fadel maupun Tajoeddin sependapat bahwa kalau pemerintah ingin meningkatkan volume ekspor yang tentunya dengan syarat daya saing produk harus tinggi, hendaknya segala sesuatu bentuk proteksi yang ada harus dihapuskan.
“Dunia usaha harus diajari bagairnana menjalankan usahanya tanpa ada proteksi, karena proteksi yang selama ini berjalan untuk berbagai sektor industri kenyataannya hanya membuat ketergantungan dunia usaha kepada pemerintah,”kata Kwik.
Proteksi tersebut, tambahnya, menjadikan industri nasional tidak pernah dewasa dan tidak akan pernah mau mencoba untuk dewasa.
“Hal itu ‘kan merupakan gejala yang tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi,” Ujarnya. Menurut Tadjoeddin, walaupun persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan baru akan berjalan efektip beberapa tahun Iagi, tetapi sudah seharusnya pemerintah melakukan antisipasi yang lebih baik, terutama dalam mempersiapkan dunia usaha untuk “berjalan”tanpa “dituntun.”
“Kalau pengusaha sudah mampu bersaing secara internasional, volume eksporpun akan meningkat dengan sendiri karena secara tidak langsung permintaan akan produk nasionaljuga bertambah,” jelas Tadjoeddin. (T.PE05/3:15PM!EU05/ 6/01/9415:25)
Sumber: ANTARA(06/01/1994)
______________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 165-166.