PERBANDINGAN PIDATO PRESIDEN SOEKARNO DAN SOEHARTO

PERBANDINGAN PIDATO PRESIDEN SOEKARNO DAN

SOEHARTO[1]

 

Oleh: Dr. Asvi Warman Adam

 

Jakarta, Merdeka

Pemikir pertama di dunia yang menyatakan hubun gan antara bahasa dengan kekuasaan tampaknya adalah Confusius, seperti dinyatakan Gerard Mairet dalam bukunya “Les Doctrines du pouvoir, Ia formation de Ia pensee politique” .Confusius yang menemukan “kekuatan” bahasa atas sesuatu dan manusia. Dalam konteks ini relevan dikaji pidato presiden, dalam kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi sebuah negara-bangsa, bagaimana kekuatan politik pada pidato itu dalam mengarahkan dan memberi isi kepada perjuangan yang tengah dilakukan sebuah bangsa. Tulisan ini membicarakan pidato-pidato Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Soeharto. Makalah Maurer dan Raillon dalam Kongres Ahli Indonesia se-Eropa di Bern, Swiss, tahun 1989 menjadi salah satu acuan artikel ini di samping Otobiografi Presiden Soeharto seperti dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan KH (1989).

Tak begitu banyak tulisan yang secara khusus membahas pidato Soekamo. Masalah pidato itu hanya disinggung sekilas dalam deskripsi yang lebih banyak tentang kepemimpinan atau biografi (politik) Soekarno seperti ditulis Bernard Dahm( 1964), Wetherbee (1966) dan Legge (1972). Tulisan ilmuwan Skandinavia Eiizabeth Lind mengenai “The rhetoric of Sukarno” menguraikan bagaimana kharisma Soekarno di “validasi” kan antara lain lewat pidato-pidatonya.

Kebanyakan tulisan tentang pidato Soekarno cenderung mengikuti atau sejalan dengan uraian Ben Anderson, yang pada hemat saya lebih tepat disebut studi tentang budaya politik daripada bahasa poIitik Dalam menganalisis Soekarno (dan Soeharto) yang ditonjolkan dalam tulisan-tulisan tersebut adalah bahwa tokoh itu orang Jawa dan penganut k:ebudayaan Jawa. Kesimpulan Lind misalnya, juga menyebut bahasa Soekamo sebagai bahasa seorang dalang dan penyampaian pidato itu sebagai pertunjukan wayang.

Pendekatan lebih tepat kiranya dalam membahas pidato presiden adalah pertama-tama menganalisnya dari sudut bahasa , yang dilihat mula-mula adalah kata dan kalimat dalam pidato itu. Inilah yang dilakukan Anne-Marie Hussen-Jouffroy dalam disertasinya di Universitas Sorbonne, Paris. Ia sudah dua k:ali menulis disertasi. Pertama, Le vocabulaire du Bahasa Indonesia a travers les oeuvres de Sukarno (tahun 1974) dan kedua, Concept s politiqu es del Indonesia contemporain. Dalam disertasi pertama ia membahas antara lain kata merdeka dan revolusi sebagai bagian dari kosa kata politik Soekarno.

Perbandingan Persepsi

Perbedaan antara Soekarno dan Soeharto misalnya dibahas dalam makalah Raillon dan Maurer tadi. Di situ dijelaskan bahwa kedua pemimpin memiliki pendapat yang sama terhadap Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang melimpah, tetapi berbeda pendapat tentang Sumber Daya Manusia (SDM) . Tahun 1963 ketika perekonomian negara kritis, Soekarno masih terus berpidato. Jika bangsa yang hidup di gurun pasir dapat menyelesaikan masalah ekonominya, kenapa kita tidak.

“Kekayaan alam kita cukup, malah banyak yang belum diolah. Kita mempunyai buruh yang berlimpah dan dengan 100 juta penduduk ..”

Oktober 1964 pun Soekarno masih tetap mempertahankan pendiriannya dalam wawancara dengan Newsweek (5 Oktober 1964). “My solution is to exploit more land because if you exploit all the land in Indonesia, you can feed 250 million dan I have only 103million. In my cotmtly the more (children), the better.” Soeharto lebih memperhatikan keseimbangan demografi dan mempertirnbangkan bahwa pembangunan Indonesia memerlukan kontrol terhadap pertambahan penduduk. Tahun 1967 ia sudah memperingatkan agar Indonesia lebih memperhatikan usaha pembatasan kelahiran .Pemikiran ini terungkap kembali dalam otobiografi beliau (halaman 240) “Indonesia harus memberi perhatian yang serius terhadap usaha-usaha pembatasan kelahiran dan melaksanakan sesuai dengan ide perkumpulan keluarga berencana. Cara ini saya pandang dapat dibenarkan oleh etika agama dan etika Pancasila.” Dalam bidang politik terdapat pula perbedaan antara Soekamo dan Soeharto. Bila Presiden RI pertama sangat memperhatikan pembangunan bangsa (nation build­ing), maka penerusnya lebih menekankan pembangunan negara (state building) . Soekamo berupaya agar Pancasila dapat tertanam dijiwa bangsa Indonesia. Ia memeras lima silajadi tiga dan akhirnya jadi satu (ekasila), yaitu gotong royong Negara Indonesia pada hakikatnya adalah negara gotong royong. Sedangkan Presiden Soeharto berhasil menjadikan lima sila itu – tanpa diperas jadi ekasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan sosial politik.

Jadi di dalam perbedaan antara kedua tokoh itu terdapat persamaan yang mendalam antara keduanya. Di bidang ekonomijuga terdapat gaya dan cara mencapai masyarakat adil makmur di antara kedua pemimpin tersebut. Soekarno mempertahankan prinsip

“Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)”, sedangkan Soeharto mengupayakan tercapainya swasembada (beras/pangan). Soekamo menonjolkan marhaenisme, Soeharto mencapainya melalui revolusi hijau (pertanian).

Politik Luar Negeri

Demikianpula dalam politik luarnegen. Selama ini orang menganggap bahwa Presiden Soekamo bersikap highprojil dalam politik luar negeri, sedangkan Presiden Soeharto lebih cenderung lowprofil. Namun anggapan itu meleset setelah Indonesia ternyata terpilih dan sukses menjadi Ketua GNB. Dengan kata lain, perbedaan antara kedua tokoh besar itu semakin menciut, yang semakin tampakjustru persamaan di antara mereka. Apa saja persamaan antara kedua presiden tersebut tentu tak sempat dirinci dalam tulisan singkat ini. Yang jelas mereka berdua berhasil menjadi figur sentral berWIBawa yang memimpin bangsa sudah lebih dari dua dasawarsa. Mengenai pidato tanggal 16 Agustus itu Soeharto mengatakan dalam otobiografinya (1989, halaman 201): “Saya ubah kebiasaan perayaan 17 Agustus itu. Saya mengucapkan pidato satu hari sebelumnya di depan sidang DPR. Saya laporkan fakta-fakta dengan mengambil waktu tiga jam lamanya. Saya uraikan segala segi kehidupan nasional, mulai Pancasila sampai pada persoalan biaya hidup orang sehari­ hari.

Pidato saya berlainan dengan yang biasa dikumandangkan Bung Karno, sekalipun saya tidak pernah melewatkan penekanan, betapa pentingnya persatuan dan kesatuan di antara kita. Saya mesti menciptakan ketenangan di tengah kehidupan kita, sementara itu kita harus bekerja keras.” Sebagai penutup tulisan ini, digambarkan bagaimana kedua tokoh ini menilai satu sama lain. Pendapat Soekarno tentang Soeharto terl ihat dalam Otobiografi (halaman 91): “Pada waktu Presiden Soekarno datang di Semarang, saya keluarkan isi hati saya mengenai PKI itu…. Pak, saya lihat tambah hari PKI tambah menonjol. Apakah itu tidak berbahaya. Tidak membahayakan Pancasila?” Mendengar saya berbicara begitu, kelihatan Presiden Soekarno seperti marah. Beliau seperti kukuh dengan mengatakan bahwa PKI itu mesti dimasukkan ke dalam Pancasila. “Dan itu urusan saya,”katanya.

“Kamu Soeharto, kamu seorang tentara. Masalah politik, itu urusan saya, serahkan kepada saya,”kata Bung Karno. (Otobiografi halaman 91).

Bagaimana pandangan Soeharto terhadap Soekarno? Ini dapat dibaca pada buku yang sama (halaman 247).

“…Saya melihat Bung Karno, sampai di mana pengorbanannya untuk negara dan bangsa. Jelas, pengorbanannya amat  besar, sampai kita, sebagai  bangsa, bisa merdeka . Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sampai menjadi proklamator bersama-sama dengan Bung Hatta. lni merupakan jasa seorang pejuang, patriot yang harus kita hargai .”

“Dalam perjalanan sejarah Indonesia merdeka, kita pun membuat kesalahan. Bukan Bung Karno saja. Tetapi kesalahan Bung Karno, jelas tidak sampai menjerurnuskan bangsa maupun rakyatnya. Mungkin semata karena terdorong oleh suatu ambisi besar, maka kesalahan itu dibuatnya. Ambisi besarnya itu adalah ambisi untuk menjadi pemimpin dunia…”.

Kajian tentang pidato-pidato presiden tersebut sangat penting, karena akan menjelaskan visi dan pandangan mereka dalam mengendalikan kemudi pemerintahan.

Sekaligus juga menjelaskan ke arah mana bangsa dan negara ini mau dibawa. Secara khusus tulisan di atas menggambarkan bahwa berbeda dengan kebanyakan pengamat Barat yang cenderung melihat kontras antara Soekarno dan Soeharto, justru kita mengamati dalam perjalanan waktu semakin kelihatan persamaan antara kedua tokoh nasional itu. Kedua, Presiden Soeharto menaruh respek terhadap Bung Karno. Apakah di kalangan aparat pada level yang lebih bawah sudah terdapat kesamaan persepsi mengenai hal ini? (Penulis adalah peneliti senior pada Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI).

Sumber: MERDEKA (04/09/1995)

___________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 263-267.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.