PERTEMUAN DENGAN BEURE’ EH
Oleh : H. Rosihan Anwar
Seusainya Seminar Sastrawan ASEAN yang diselenggarakan selama tiga hari di kampus Universitas Jabal Ghafur, Sigli, Aceh, menjelang Magrib hari Sabtu, 11 Oktober 1986, saya tiba di depan sebuah mesjid di Brunuen bersama novelis Ahmad Tohari, Dramawan Arifin C. Noer dan Rektor Universitas Jabal Ghafur yang merangkap Bupati Pidie, Drs. Nurdin A.R. Kami berjalan menuju sebuah rumah kecil yang terletak di belakang mesjid.
Di ambang pintu kami disambut oleh Brigjen TNI Purnawirawan Muhammadiyah Haji, anggota DPR fraksi ABRI, beberapa sastrawan dan penyair yang ikut serta dalam Seminar yaitu Taufik Ismail, Sutardjie Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM dan Hamsat Hangkuti ke luar dari rumah itu.
Setelah menunggu sebentar, kami dipersilahkan masuk ke sebuah kamar dan di tempat tidur duduk orang yang kami kunjungi yakni Teungku Muhammad Daud Beure’ eh.
Daud Beure’ eh memakai baju berwarna putih yang di Minangkabau dinamakan baju Cina, berkain sarung merah tua, berkopiah hitam, orang tua berusia hampir 90 tahun itu duduk dengan ditopang punggungnya oleh seorang putranya matanya tidak melihat lagi pendengarannya berkurang, tetapi suaranya masih kuat.
Kebanyakan waktunya dipakai orang yang telah uzur itu untuk berbaring. Ketika beberapa waktu yang lalu Menteri Koperasi Bustanil Arifin mengunjungi beliau, belum tentu pikiran dan penalaran orang tua itu senantiasa jernih. Sebab, akibat penyakit yang dideritanya acapkali pikiran beliau melayang-layang.
Waktu saya berhadapan dengan orang tua itu kelihatannya beliau segar. Toh setelah saya mencium tangan beliau dan duduk di hadapannya, saya mengatakan kedatangan saya bukan memajukan pertanyaan-pertanyaan sebagaimana biasa dilakukan oleh wartawan (dari tipe hard-boiled reporter, tapi istilah ini tidak saya ucapkan), melainkan semata mata karena hendak bersilaturahmi, memegang tangan, melihat wajah beliau. Orang tua itu menjawab dengan bergumam.
Alhamdulillah
Berturut-turut kemudian Arifin C. Noer dan Ahmad Tohari diperkenalkan kepada orang tua itu dan mereka sebagai penghormatan pun mencium tangan beliau.
Muhammaddiyah Haji, menantu orang tua itu, lalu mengambil sebuah buku notes kecil dari minta beliau mencantumkan tanda tangannya di salah satu halaman sebagai tanda kenang-kenangan akan kunjungan kamu.
Setelah ditunjukkan di mana mesti menulis. maka tangannya dengan pasti menggoreskan “Beure’ eh”. Teman-teman yang membawa kamera membuat foto tentang pertemuan itu.
Kemudian saya duduk lagi di muka orang lua itu. Saya pegang tangan beliau tidak ada kata-kata yang diucapkan, sebab penemuan itu saya rasakan lebih banyak sebagai pertemuan batiniah.
Siapapun yang berhadapan dengan orang tua itu, niscaya akan terkesan oleh matanya yang kini sorotannya sudah pudar dengan alis tebal yang kini sudah berwarna putih.
Dari situ mengertilah kita, mengapa beliau sebagai pemimpin mempunyai kharisma luar biasa dan sebagaimana kebiasaan di negeri-negeri Islam lain, bila bertemu dengan pemimpin tua yang mempunyai wibawa besar, tamunya ingin memperoleh apa yang disebut barakah.
Itulah sebabnya sebelum berpamit, seraya memegang erat-erat tangan orang tua itu saya entah karena apa terdorong untuk mengatakan, “Abu (begitulah orang tua itu dipanggil) tolong berikan kepada saya tenaga batin, supaya saya dalam batas kemampuan saya bisa kuat berusaha untuk agama.” Sejurus Abu terdiam. Entah, terdengar atau tidak olehnya apa yang saya ucapkan, wallahu’alam. Tetapi kemudian mulutnya komat-kamit. Entah, apa yang didoakannya, wallahu’ alam pula. Maka sekali lagi saya cium tangan orang tua itu dan berlalu dari kamarnya.
Kilas Balik Sejarah
Pertemuan saya dengan Teungku Muhammad Daud Beure’ eh itu ibarat suatu perpisahan dengan suatu kurun zaman yang telah lampau, suatu era dalam sejarah tanah air dan Aceh khususnya, yang kini ditelan oleh Sang Kala. Melintas lagi dengan cepat di depan mata, semangat saya beberapa batu pancangan serta dengan sejarah Aceh.
PUSA atau Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh yang didirikan oleh Daud Beure’ eh pada tahun 1939 dengan sifatnya yang anti-Belanda dan anti-golongan uleebalang.
Revolusi sosial yang pecah bulan Desember 1945 dengan Peristiwa Cumbok dan dalam waktu dua bulan kaum ulama melenyapkan peranan penting sosial politik dan ekonomi kaum uleebalang. Harta benda milik kaum uleebalang yang kalah disita dan dibagi-bagikan, sebagian besar mungkin diberikan kepada ulama.
Oposisi terhadap pemerintah yang diakui oleh PUSA tahun 1948 gerakan yang dipimpin oleh Sayid Ali Alsaqat “menentang” Daud Beure ‘eh status propinsi untuk dirinya tidak mau bergabung dengan propinsi Sumatera Utara, menimbulkan ketegangan.
Kunjungan Presiden Soekarno ke Aceh bulan Juli 1951, waktu itu saya dibawa ikut serta sebagai pemimpin redaksi harian Pedoman dan melihat tulisan semboyan kaum demonsiran PUSA, yang berbunyi “Kami cinta Presiden. Tetapi kami lebih mencintai agama”. 1 September 1953 meletus pemberontakan terhadap pemerintah pusat dan Daud Beure’ eh atas nama masyarakat Aceh mengumumkan Aceh dan daerah sekitarnya menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia.
Menyusul masa panjang penuh konflik antara DI dengan pasukan TNI terjadinya perpecahan dalam barisan DI dan akhirnya melalui perundingan antara Gubernur Aceh, Ali Hasjmy, dengan para pengikut Daud Beure’ eh tercapailah persetujuan kembalinya kaum Darul Islam ke pangkuan Ibu Pertiwi dalam suatu upacara di desa Lee Gapui akhir November 1959 di mana KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution menerima penyerahan 5000 anggota tentara DI.
Daud Beure’ eh sendiri baru menghentikan perlawanannya bulan Mei 1962 dan sejak itu Dar al harb, wilayah perang, berubah menjadi Darul salam, daerah damai. Perdamaian pulih di Aceh, dan dalam pada itu sejak 26 Mei 1959 Aceh dapat menamakan dirinya propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Itulah sekelumit sejarah Aceh masa lampau yang penuh dengan pasang surut kehidupan, tapi juga sunyi membisu. Namun bagaimanapun juga ia senantiasa berjuang menyalakan obor terang yaitu kebutuhan mendalam lahir dan batin memelihara identitas atau keberadaan rakyat Aceh menegaskan agama Islam dan budayanya, memerlukan pendidikan putra-putrinya, memperbaiki latar kehidupan dan ekonomi rakyatnya, menempatkan dan membuktikan dirinya sebagai putra terhormat bangsa Indonesia.
Waktu masih terlalu pendek dan jarak secukupnya belum dapat diambil guna menjatuhkan sumbangan terhadap era silam itu beserta peranan dan era Teungku Muhammad Daud Beureeh di dalamnya ini adalah porsi dan tugas para sejarawan Indonesia masa mendatang, bukan pekerjaan seorang wartawan seperti saya.
Namun satu hal pasti dan dapat saya rasakan serta saksikan dalam kunjungan ke Aceh belum lama berselang. Suatu era baru sudah mulai, maka suatu visi baru pun dibutuhkan.
Tinjauan Ke delapan
Gubernur Aceh yang baru dilantik bulan Agustus lalu. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, adalah gubernur kedepan perlu dicatat oleh generasi penerus dia dulu bersekolah di Universitas Syiah Kuala yang didirikan tahun 1961.
Lulusan Universitas ini banyak menempati pos-pos penting dalam jajaran pemerintah, Universitas ini sudah menghasilkan tiga ribuan sarjana, berarti suatu golongan cendikiawan dan profesional yang terdidik, sudah terbentuk di Aceh. Orientasi golongan cendikiawan mungkin berat dalam mencari pekerjaan pada pemerintah dalam lingkungan birokrasi.
Mereka terpengaruh oleh gaya hidup dan nilai-nilai masyarakat perkotaan. Hal ini membuat mereka terputus hubungan dengan realitas masyarakat pedesaan, dimana agama dan adat tetap kokoh.
Tampaknya Gubernur Ibrahim Hasan harus memberikan perhatian pada bidang pendidikan, dimana dapat ditumbuhkan misi dan orientasi baru. Visi dan orientasi itu ialah mencari kepuasan dan kebahagiaan dalam kesederhanaan hidup.
Sudah jelas pembangunan ekonomi saja tidak memecahkan persoalan bangsa. Pembangunan ekonomi yang dikatakan berhasil selama ini telah menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, kehilangan harkat dan martabat manusia, memudarkan identitas dan kebangsaan sebagai bangsa dan negara menipis rasa setia kawan, menimbulkan berkecamuknya sikap nafsi-nafsi mengutamakan kepentingan diri atau goIongan sendiri, berlomba mengejar kemewahan oleh sebagian golongan orang kota. Demikianlah dirasakan oleh sebagian masyarakat Aceh, walaupun tidak diutarakannya secara terbuka.
Dalam pada itu, walaupun pembangunan ekonomi dipacu dengan sekuat tenaga, toh tidak mungkin negeri ini akan mencapai GNP yang tinggi, suatu penghasilan per kapita, katakanlah sebesar 5000 dolar AS pada tahun 2000, seperti yang diproyeksikan oleh Korea Selatan. Ada keterbatasan dalam kesanggupan bangsa Indonesia, dalarn pertumbuhan mengingat faktor manusia dan alam.
Jika demikian halnya, mengapa tidak dicari penyelesaian dalam jalan dan arah yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Aceh, seperti berikhtiar di bidang ekonomi semaksimal mungkin untuk meningkatkan GNP sedapatdapatnya itu betul, tetapi dengan tidak mengabaikan amarah-amarah moral tertentu, hidup dalarn rasa kebersamaan, kewajaran dan kesederhanaan namun toh memperoleh kebahagiaan disana, bebas dari penyakit stress mental dan frustrasi, mengamalkan apa yang menjadi ideal Islam yaitu Hasanah fiddunia (yang baik didunia ini), serta baida tayyiba (negeri yang baik untuk didiami). Dalam pikiran-pikiran inilah terdapat temuan bagi visi dan misi baru yang diperlukan.
Sebabnya Teungku Daud Beure’ eh menduduki tempat sentral dalam barisan oleh rakyat bukanlah semata-mata lantaran beliau seorang ulama besar yang hidupnya sepenuhnya diabdikan kepada agama.
Beliau tokoh besar dari era yang telah lampau. Sekarang zaman sudah berubah. Apa yang dinamakan oleh Daud Beure’ eh “pengaruh kota” sulit dibendung di daerah pedesaan agraris. Adakah dan siapakah yang akan menggantikan peranan seperti yang pernah dilakukan oleh Daud Beure’ eh demikan pertanyaan yang mengetuk saya dan tidak bisa dijawab saat ini.
Tetapi di Kabupaten Pidie saya melihat usaha pendidikan dijalankan dengan tekun di Universitas Jabal Ghafur. Mudah-mudahan ini dalam semangat yang sesuai dengan visi dan orientasi baru yang saya sebutkan tadi.
Sepuluh tahun lagi generasi ke tiga cendikiawan Aceh akan muncul dari situ, dan rektornya yang sekarang, Nurdin A.R. boleh berbangga atas hasil kerjanya itu.
Di Kabupaten Pidie juga diberikan perhatian intensif kepada pendidikan di dayah-dayah (pesantren), di mana Islam diajarkan secara sistem terpadu. Sepuluh tahun lagi juga dari dayah-dayah itu bakal muncul generasi baru ulama.
Maka dengan sedikitnya variasi atas karya pengarang Italia Luigi Porandello, saya dapat mengatakan keadaan di Aceh sekarang ibarat pentas yang sudah siap, aktor aktris pelaku sudah digodok, lakon sudah siap, tinggal mencari sutradaranya saja. Siapakah itu, harus kita tunggu, Insya’ Allah dalam sepuluh tahun lagi. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (03/11/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 634-639.