PESAN PRESIDEN KEPADA ANAK-ANAK : BERGEMBIRALAH, KARENA MASA ANAK-ANAK PENUH KEGEMBIRAAN
Ditingkah suara genderang dan flute yang menyajikan serangkaian lagu tanpa syair, sekitar 600 anak bersorak sorai, berjalan mengikuti irama, menggelar sejumlah peragaan mengitari arena pentas bawah Balai Sidang Senayan, Rabu pagi.
Suasana gembira telah hadir sejak awal acara peringatan Hari Anak nasional 1986 yang diikuti tak kurang 4000 anak dari berbagai sekolah di Jakarta.
Pagelaran anak-anak itu nampak mempesona Presiden dan Ny. Tien Soeharto, Wakil Presiden dan Ny. Karlinah Umar Wirahadikusumah, Mendikbud dan Ny. Ciptaningsih Fuad Hassan, serta Direktur Eksekutif Unicef James Grant dan Ny. Ethel Grant.
Sementara di baris lain, Mensesneg Sudharmono, Menkes Suwardjono Suryaningrat, Menpen Harmoko, Menmud Urusan Peranan Wanita Ny. Lasiyah Sutanto SH, beberapa pejabat tinggi lainnya, serta para undangan dari kedutaan besar negara-negara sahabat, juga ikut bertepuk tangan dan menyanyi bersama anak-anak.
Salah satu hal yang sangat penting bagi rasa sejahtera dan kebahagiaan anak : adalah cinta kasih orang tua,” pesan Kepala Negara dalam sambutannya. Dikatakan, rasa dicintai dan dilindungi ini tidak bisa digantikan pihak lain, kecuali oleh orang tua mereka sendiri. Anak yang kelak diharapkan menjadi manusia Indonesia yang utuh, tak hanya memerlukan kecerdasan pikiran dan kepandaian melalui pendidikan di sekolah saja.
“Manusia Indonesia yang kita bangun adalah manusia berakhlak kuat, bermoral tinggi, berwatak dan mandiri,” lanjut Presiden.” Bagian terbesar justru terbentuk dalam keluarga dan semuanya akan sangat ditentukan oleh suasana yang diciptakan dalam keluarga sejak masa kanak-kanak”.
Kepada anak-anak, Presiden Soeharto berpesan agar mereka belajar baik-baik, cinta orang tua, sesama, tanah air dan Tuhan Maha Pencipta. “Jadilah anak-anak yang penggembira, karena masa anak-anak memang masa penuh kegembiraan”, tutur Presiden.
Sedang kepada anak-anak yang lebih dewasa Presiden berpesan agar mulai berusaha memikul tanggung jawab yang lebih besar di lingkungan masing-masing untuk menyiapkan dari memikul tanggung jawab kepada lingkungan yang lebih luas, “Kelak kalian akan siap untuk memikul tanggung jawab yang sangat besar bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara,” ujar Presiden.
Jadi Presiden
“Siapa bercita-cita ingin jadi anak pandai.” tanya Kepala Negara kepada ratusan anak yang mengerumuni sesuai pentas mereka. Pertanyaan itu disambut antusias, “saya…saya..”
“Apa cita-cita kalian?”
“Jadi Presiden …” teriak mereka, serentak dan lantang.
“Bagus, tapi sayang, yang boleh jadi presiden hanya satu,” jawab Presiden Soeharto, Lalu dijelaskannya proses pemilihan presiden sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
Seorang gadis kecil yang berada sangat dekat dengan Kepala Negara, dengan suara kanak-kanaknya berkata, “Pak Presiden, saya boleh minta sepeda?” pertanyaan ini memancing tawa seluruh undangan yang hadir, juga Presiden dan Ibu Tien Soeharto.
“Baik, nanti Bapak akan mengatakan pada orang tuamu agar membelikan sepeda buatmu,” jawab Kepala Negara dengan senyum dikulum.
Sebelumnya, para wartawan cilik berkesempatan mewawancarai Presiden dan Ny. Tien Soeharto serta para pejabat lain. Citraningtyas Budianta (10), tanpa canggung-canggung mendekati Kepala Negara dan bertanya, “Apa pengalaman masa kecil Bapak yang paling menarik?”
“Pengalaman saya di masa kecil, lain sekali dengan sekarang, karena waktu itu saya kecil negara kita masih dijajah. Penderitaan di masa kecil itulah yang membuat Bapak memiliki semangat juang”
“Bagaimana menurut Bapak anak yang baik itu?”
“Anak yang baik harus selalu patuh dan hormat kepada orang tua, yaitu bapak dan ibunya,” Jawab Presiden Soeharto.
“Kegemaran Ibu sewaktu kecil?” tanya Citra beralih kepada Ny. Tien. “Tidak banyak. Tapi saya senang bekerja sama mengadakan rekreasi bersama-sama pandu yang sekarang pramuka, misalnya naik gunung, berkemah dan lain-lain,” jawab Ny. Tien lembut.
Kepada Direktur Eksekutif Unicef, James Grant, gadis itu dengan lantang bertanya, “Mr. Grant Your Chilhood ?” Ayah tiga anak ini nampak tergagap sebentar, lalu ia menjawab tentang beberapa dongeng yang pernah menjadi cerita favoritnya sema ia kecil.
lmunisasi
Penandatangan prasasti pencanangan Dasa Warsa Anak Indonesia (1986-1996) oleh Kepala Negara memang menandai acara peringatan Hari Anak Nasional 1986 ini.
Tetapi salah satu mata acara yang tak kalah menariknya adalah imunisasi, simbolik yang dilakukan Ny. Tien Soeharto dan Ny. Karlina Umar Wirahadikusumah, yang masing-masing meneteskan vaksin polio kepada Ferry Laksmana (tiga bulan).
Ferry anak ke dua Ny. Emmy Zulkarnaen yang tinggal di Perumnas Tanah Abang. Sedang Rani anak kedua Ny. Deddy Yusuf dari Jl. Awaludin, Tanah Abang. Ke dua wanita muda itu mengaku dihubungi dokter Puskesmas Kecamatan Tanah Abang untuk acara ini.
Ny. Emmy nampak tersenyum cerah dan bangga karena bayinya yang gemuk mendapat imunisasi langsung dari Ibu Negara. Bahkan setelah ditetesi vaksin polio mulutnya, Ferry ditimang dan dicium berulang-ulang oleh Ny. Tien Soeharto.
Direktur Unicef yang menyaksikan hal ini bertepuk riang. Baginya, ini berarti program imunisasi bayi di Indonesia mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara. Kamis 17Juli lalu, Presiden Soeharto juga telah melakukan vaksinasi polio kepada tiga bayi di kediamannya, Jalan Cendana.
Pingsan
Ketika Presiden Soeharto berpidato di atas mimbar sempat terhenti sekitar satu menit ketika seorang pramuka pemegang bendera jatuh pingsan. Agaknya, posisi memegang lembaran kain dengan ke dua tangan kearah belakang itu cukup melelahkan dan menegangkan bagi gadis itu.
Ketika ditemui Kompas diruang posko kesehatan, Neneng Setyawati (13) menyatakan bahwa ia gemetar, menggigil, pusing lalu tak sadarkan diri. Padahal semalam mengikuti kegiatan kepramukaan, ia tak pernah pingsan.
“Pagi tadi pun saya sempat sarapan,” tutus siswa kelas dua SMP Dwi Dharma di Senen ini. Ia dan sembilan temannya dari sebuah panti asuhan memang ditugaskan untuk memegang bendera dalam acara tersebut. Beberapa orang menduga, anak tersebut tercekam emosi menyaksikan suasana perayaan itu.
Ketika ditanya kenapa ia menjadi penghuni rumah yatim piatu, dengan wajah sayu gadis ini berkisah, bahwa ia adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang pecah.
Ayah-ibunya bercerai ketika ia masih bayi, lalu mereka masing-masing menikah lagi, Neneng kecil dibesarkan ibunya hingga berusia tujuh tahun, kemudian dikirim oleh bibinya ke panti asuhan, “Mungkin ayah saya tidak menyukai kehadiran saya. Tapi adik-adik tidak tahu, kalau saya kakak tiri mereka, Walau sering bertengkar, kami tetap baik-baik,”
Neneng adalah satu dari sekian banyak anak yang terlahir dari keluarga yang berantakan. Pada peringatan Hari Anak Nasional yang juga diperuntukkan bagi anak-anak seperti dirinya, Neneng menjawab tidak tahu apa cita-citanya. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (24/07/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 601-603.