PRESIDEN BANYAK PELAKU POLITIK BELUM AMALKAN PANCASILA

PRESIDEN BANYAK PELAKU POLITIK BELUM AMALKAN PANCASILA[1]

 

Jakarta, Suara Karya

Presiden Soeharto menyimpulkan dalam praktek politik banyak pelaku politik belum mengamalkan Pancasila. Padahal dasar negara ini sudah dinyatakan sebagai satu-satunya asas oleh semua partai politik dan Golkar.

Presiden tidak menyoroti secara khusus terhadap salah satu parpol, namun pandangannya itu dikemukakan setelah melihat keadaan secara umum. Hal itu dikemukakan Presiden ketika menerima Tim Penasehat Presiden mengenai Pelaksanaan P-4 (Tim P-7) yang diketuai Sudharmono, Selasa di Bina Graha.

Cosmas Batubara, salah seorang anggota P-7, selesai pertemuan konsultasi tersebut mengemukakan salah satu contoh belum diamalkannya Pancasila secara penuh. Ia menunjuk masalah mufakat sebagai contoh. Ada yang mempertentangkan mufakat dengan suara terbanyak, sehingga mufakat itu misalnya harus merupakan hasil dari pengumpulan suara terbanyak.

Presiden menekankan, mufakat mutunya jauh lebih  tinggi dari pada suara terbanyak.

“Ini dalam kaitan politik yang kita ikuti akhir-akhir ini, menurut saya nuansa yang ditekankan Bapak Presiden ini perlu direnungkan dan dihayati.” kata Cosmas.

Sudharmono menambahkan, meskipun dalam UUD disebutkan bahwa MPR mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak namun hal itu tidak bisa diartikan suara terbanyak harus diraih melalui voting.

Menurut Sudharmono, suara terbanyak yang paling tinggi mutunya adalah aklamasi

“Inilah yang dikembangkan Orde Baru.” kata Sudharmono.

Musyawarah untuk mufakat itu dikembangkan oleh Orde Baru. Menurut Ketua Tim P-7 yang juga mantan Wapres,untuk mencapai mufakat dalam musyawarah itu ada mekanismenya.

Sudharmono menolak memberikan komentar mcngenai perpecahan dalam tubuh PDI. Ia lebih suka menanggapinya secara umum. Namun diakui kemelut yang tetjadi di tubuh PDI tersebut sangat memprihatinkan.

Oposisi

Mungkinkah ada tempat bagi partai oposisi di dalam Demokrasi Pancasila? Sudharmono menyatakan, sistem politik yang memiliki oposisi untuk menjatuhkan lawan yang berkuasa tidak dikenal dalam Demokrasi Pancasila.

Meski oposisi tidak dikenal di Indonesia, namun perbedaan pendapat dijamin undang-undang. Perbedaan pendapat itu tidak harus berbentuk oposisi.

Perbedaan pendapat itu bahk:an terhadap pemerintah masih dibenarkan dan mekanismenya telah pula diatur dalam undang-undang.

Tim P-7 yang diterima Presiden terdiri dari Sudharmono, Ismail Saleh, Bustanil Arifm, Emil Salim, Bintoro Tjokroamidjojo, Aang Kunaefi, Cosmas Batubara dan Masjehun Sofwan serta Soetjanto Poespowardojo (sekretaris) dan Wibisono Singgih (Kepala Sekretariat).

Sumber : SUARA KARYA (12/06/1996)

_________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 68-69.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.