PRESIDEN: BERHENTI JADI HAKIM JIKA TAK SANGGUP JALANKAN TUGAS

PRESIDEN: BERHENTI JADI HAKIM JIKA TAK SANGGUP JALANKAN TUGAS

 

 

Jakarta, Pelita

Presiden Soeharto kembali menegaskan jika para hakim tidak sanggup menjalankan tugasnya berhenti saja menjadi hakim. Sebab para hakim tersebut diangkat oleh Kepala Negara yang merupakan Mandataris MPR.

Penegasan itu dikemukakan Kepala Negara kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh di Bina Graha Kamis, sehubungan kian perlunya perkara-perkara penyelundupan diselesaikan secara cepat.

Para hakim menurut menteri harus merasa terpanggil dan menyadari situasi yang ada di Indonesia kini. Sebagai hakim di negara yang sedang membangun harus terpanggil untuk mengamankan pembangunan.

“Penyelundupan itu menghambat jalannya pembangunan, merongrong jalannya pembangunan, merusak perekonomian negara, dan merugikan seluruh aspek ekonomi”, tegas Ismail Saleh mengutip ucapan Kepala Negara.

Sebagai hakim di negara yang sedang membangun atau di negara yang sedang berkembang, mereka harus terpanggil untuk bisa memutuskan seadil-adilnya, dalam arti putusan itu dapat ikut mengamankan jalannya pembangunan.

“Apabila hukumannya tidak setimpal, tentu akan bisa berakibat luas,” tegas Kepala Negara lagi. Karenanya keadilan di sini harus ditegakkan, dan keadilan itu adalah untuk seluruh rakyat Indonesia, dan juga keadilan bagi negara yang sedang membangun.

Diakui, hakim itu bebas tapi kebebasan itu tidak bersifat mutlak. Ini ketentuan ketentuan di dalam Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jelasnya.

Hakim-hakim yang demikianlah, menurut Kepala Negara, yang perlu diperhatikan. Para hakim harus bisa menghayati dan merasa terpanggil untuk bisa mengamankan apa yang diembankan Kepala Negara itu, ucap Menteri Kehakiman lagi.

Hakim yang diangkat oleh Kepala Negara harus bisa menyelesaikan tugas mengamankan jalannya pembangunan, tambahnya.

 

Penyelesaian Perkara

Kepada Kepala Negara, Menteri Kehakiman melaporkan mengenai penyelesaian perkara penyelundupan di daerah Tanjung Balai Karimun dan di daerah Batam.

Menurutnya, selama Maret 1989 berkas perkara yang dilimpahkan oleh kejaksaan pada pengadilan dan sudah diputus oleh hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, tidak ada yang diajukan banding.

Perkara yang diselesaikan di Tanjung Balai Karimun, dari hasil operasi Srigunting, seban yak 3 berkas, dan terdakwa sebanyak 10 orang. Nilai barang yang diselundupkan sebesar Rp 1.450.000. Hasil operasi rutin Bea Cukai sebanyak 49 berkas, juml ah terdakwa 94 orang dengan nilai barang yang diselun dupk an Rp 287.776.500. Hukuman yang dijatuhkan antara 3 sampai 9 bulan penjara, ditambah denda antara Rp 10.000 sampai Rp 200.000.

Di daerah Batam, banyaknya perkara 10 berkas, jumlah terdakwa 17 orang dari hasil operasi Srigunting, nilai barangnya Rp 13.542.051. Dari tangkapan Polri sebelum operasi Srigunting banyaknya perkara 5 berkas, jumlah terdakwa 10 orang, nilai barang yang diselundupkan Rp 6.177.815 .000.

Di daerah Dabo-Singkep terdapat 14 perkara yang akan dilimpahkan, tapi sampai akhir Maret lalu PN Tanjung Pinang belum menerima satupun limpahan perkara dari Kejaksaan Negeri Batam.

“Jadi dari data tersebut tampak bahwa mengenai operasi Srigunting banyak perkara yang ditangani 13 perkara, jumlah terdakwa 27 orang dan nilai barang selundupan sebesar Rp 14.982.051,” ucap Menkeh.

 

Tempat Sidang Tetap

Untuk menangani perkara penyelundupan itu secara cepat, pengadilan sudah memiliki tempat-tempat sidang tetap di Tanjung Pinang yaitu di Balai Karimun, juga di Belakang Padang dan Dabo Singkep dengan jumlah hakim yang memadai, sehingga tidak ada masalah untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Kepala Negara juga menyatakan, penyelundupan itu terkait dengan jalannya pembangunan di Indonesia, penyelundupan itu benar-benar menghambat jalannya pembangunan di Indonesia, dan menimbulkan kerugian besar.

Barang barang selundupan itu jelas tanpa bea masuk yang menimbulkan berbagai masalah yang sangat luas, yakni selain memasuki pasaran di dalam negeri, bahkan bisa menguasai pasaran di dalam negeri.

Padahal di dalam negeri sudah ada industri yang berkembang dan menghasilkan berbagai produk, sehingga apa bila ada arus barang yang masuk dari luar negeri bisa mengurangi produksi. Industri dalam negeri akan terpukul dan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja, ucap Menkeh. ltulah, kata Ismail Saleh, yang harus diperhatikan mengenai penyelundupan yang terjadi di daerah-daerah yang berdampak negatif luas terhadap pembangunan.

Menyadari dan menghayati keadaan itu, pengadilan pengadilan yang sudah menerima berkas perkara dari kejaksaan untuk mengadili perkara-perkara penyelundupan. Presiden minta para hakimnya untuk bersikap tanggap terhadap keadaan itu.

 

 

Sumber : PELITA (07/04/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 536-537.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.