PRESIDEN: MERIBUTKAN SUKSESI HANYA BUANG WAKTU

PRESIDEN: MERIBUTKAN SUKSESI HANYA BUANG WAKTU

 

 

Jenewa, Merdeka

Presiden Soeharto hari Sabtu kembali mengingatkan bangsa Indonesia untuk tidak meributkan soal suksesi kepemimpinan nasional, karena hal itu hanya akan membuang­buang waktu.

Ketika memberikan wejangan di hadapan masyarakat Indonesia di Jenewa, Swiss, Kepala Negara menambahkan bahwa mereka yang meributkan suksesi kepemimpinan nasional sesungguhnya hanya memperlihatkan mereka kurang mendalami Pancasila, UUD 1945 dan Tap-Tap MPR.

“Karena belum mendalami, mereka jadi bingung sendiri sehingga tidak tahu bagaimana sebenarnya bentuk Demokrasi Pancasila dan akhirnya menyamakan Demokrasi Pancasila dengan demokrasi di negara liberal atau otoriter,” katanya.

“Padahal,” tandasnya sambil tertawa, “menyamakan Demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal atau demokrasi otoriter sama halnya dengan menghianati Ideologi Pancasiladan UUD 1945”.

Presiden Soeharto berada di Jenewa untuk singgah beristirahat dalam perjalanannya kembali ke tanah air, setelah menyelesaikan kunjungan di Amerika Serikat guna menerima penghargaan PBB bidang kependudukan serta mengadakan pertemuan dengan Presiden AS George Bush.

Pernyataan senada tentang suksesi kepemimpinan nasional juga dikemuk:akan oleh Kepala Negara sewaktu mengadakan tatap muka dengan masyarakat Indonesia di New York, Kamis lalu.

Di depan masyarakat Indonesia Jenewa, Presiden Soeharto juga menjelaskan bahwa kerangka landasan bagi proses suksesi kepemimpinan nasional sudah ada, tinggal melaksanakannya saja.

Dalam kaitan itu, dia menunjuk pada proses pemilihan umum, pemilihan anggota DPR dan pemilihan presiden serta wakil presiden oleh MPR.

Dengan demikian, katanya, suksesi kepemimpinan nasional bukan hanya menyangkut pergantian presiden dan wakil presiden.

 

Pemungutan Suara

Presiden mengingatkan, Demokrasi Pancasila tidak boleh ditafsirkan seolah-olah suatu terbanyak berarti menang.

“Dalam Demokrasi Pancasila, berbeda pendapat dibolehkan dan perbedaan itu justru harus dimusyawarahkan, “katanya.

Kalau ternyata setelah dimusyawarahkan toh, masih ada dua pendapat berkekuatan sama, baru keduanya itu harus diuji dengan pemungutan suara. “Dengan demikian, pemungutan dibenarkan dalam Demokrasi Pancasila, tetapi bukan jalan pemecahan masalah yang harus diutamakan,” tegasnya.

Keagungan Demokrasi Pancasila,menurut Presiden,justru terlihat jika diperoleh dari hasil musyawarah dan untuk melaksanakan semua itu diperlukan adanya pengorbanan atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Dalam kaitannya dengan pencalonan presiden dan wakil presiden, Kepala Negara mengingatkan bahwa berdasarkan Demokrasi Pancasila, tidak mungkin seseorang bisa mencalonkan dirinya sendiri.

“Yang memilih presiden dan wakil presiden adalah MPR, sedangkan yang mengajukan calonnya adalah unsur fraksi MPR. Dalam keadaan sekarang, kepanjangan tangan fraksi MPR itu adalah Orpol (organisasi politik),” demikian Presiden Soeharto.

Kepala Negara dan rombongan direncanakan meninggalkan Jenewa untuk kembali ke tanah air Minggu siang waktu setempat atau Minggu sore WIB. Dalam pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Jenewa itu, Presiden Soeharto juga menjelaskan kebijaksanaan pemerintah dalam berbagai bidang pembangunan.

Menyinggung pinjaman luar negeri, dia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia bertekad untuk membayar lunas semua hutangnya walaupun kini dirasakan berat akibat adanya apresiasi sejumlah mata uang asing.

Kepala Negara dan rombongan tiba di Jenewa pukul 13.30 waktu setempat (sekitar pukul 18.30 WIB) sesudah melakukan penerbangan kurang lebih tujuh jam dari New York dengan pesawat DC 10 Garuda.

Presiden dan rombongan meninggalkan New York dari Bandara John F. Kennedy, Jumat tengah malam atau Sabtu siang WIB, dilepas oleh Dubes RI untuk PBB Nana Sutresna dan para Dubes negara anggota ASEAN di tengah cuaca hujan yang mengguyur Kota New York sejak sore hari.

Sesuai dengan rencana, kedatangan kembali Presiden dan Ny. Tien Soeharto di Swiss adalah untuk beristirahat semalam, di samping untuk mengadakan pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Jenewa, sebelum kembali ke tanah air, Minggu siang.

Presiden Soeharto meninggalkan New York hanya beberapa jam setelah mengadakan pembicaraan dengan Presiden George Bush di Gedung Putih dan menerima kunjungan kehormatan Wakil Presiden Dan Quayle di Wisma Indonesia di Washington DC.

Presiden Soeharto tiba di Washington dari New York Jumat siang, berarti dia hanya beberapa jam berada di kota tersebut.

 

Bantuan AS

Presiden Bush dalam pembicaraan dengan Presiden Soeharto, seperti dijelaskan Mensesneg Moerdiono kepada wartawan di dalam pesawat dari Washington ke New York, menyatakan kesediaan AS untuk membantu mengurangi beban Indonesia dalam membayar utang luar negerinya, yang kini dirasakan kian berat akibat apresiasi beberapa mata uang asing.

Pernyataan Bush tersebut disampaikan menanggapi penjelasan Presiden Soeharto tentang kian beratnya pembayaran kembali utang luar negeri Indonesia setelah adanya apresiasi mata uang asing itu.

Menurut Moerdiono, Presiden Soeharto pada pertemuan itu minta perhatian AS sebagai negara besar agar menggunakan pengaruhnya dengan meminta pengertian dalam membayar kembali utang-utangnya.

“Secara spontan Presiden Bush mengatakan AS akan mengambil langkah untuk berbuat apa saja yang mungkin dilakukannya untuk membantu kita,” kata Moerdiono.

Atas pertanyaan wartawan, Mensesneg menambahkan bahwa Bush memang tidak menyebutkan secara spesiflk bantuan yang diberikan AS kepada Indonesia itu. Tetapi pernyataan bersifat umum yang dikemukakan Bush tersebut sudah menunjukkan indikasi baik.

Presiden Soeharto juga minta kepada Presiden Bush agar membuka seluas mungkin pasaran barang ekspor Indonesia ke AS.

Pembicaraan Presiden Soeharto dan Presiden George Bush di Gedung Putih berlangsung sekitar 45 menit.

Presiden Soeharto pacta pertemuan itu didampingi Menlu Ali Alatas, Mensesneg Moerdiono dan Dubes RI untuk AS AR Ramly, sedangkan Bush didampingi antara lain oleh Menlu James Baker serta Kepala Staf Gedung Putih John Sununu.

Menyinggung rencana pameran kebudayaan Indonesia di AS tahun 1990-1991, setelah mendengar penjelasan Presiden Soeharto, Bush menyatakan bahwa secara pribadi dia menaruh perhatian pada rencana itu dan berjanji akan memberi bantuan semampunya bagi kelancaran pelaksanaannya.

 

Soeharto-Quayle

Sebelum mengadakan pembicaraan dengan Bush, Presiden dan Ny.Tien Soeharto terlebih dahulu menerima kunjungan kehormatan Wapres AS dan Nyonya Dan Quayle di Wisma Indonesia di Washington.

Sama halnya dengan Bush, Wapres Dan Quayle dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto juga menyatakan penghargaannya kepada Kepala Negara RI yang telah berhasil mendorong kemajuan program KB di Indonesia sehingga memperoleh penghargaan PBB tahun 1989.

Pertemuan antara Presiden Soeharto dan Presiden George Bush itu merupakan pertemuan antara presiden kedua negara dalam tempo sekitar tiga tahun ini setelah pertemuan Presiden Reagan dan Presiden Soeharto tahun 1986.

Pertemuan Wapres Dan Quayle dengan Presiden Soeharto merupakan yang kedua kalinya. Pertemuan pertama berlangsung awal Mei lalu ketika Quayle berkunjung ke Jakarta.

Menurut Moerdiono, baik Bush maupun Quayle menyatakan penghargaan dan penegasan kembali dukungan AS atas usaha Indonesia bersama negara anggota ASEAN lainnya dalam membantu penyelesaian masalah Kamboja.

 

Kemelut RRC

Indonesia tidak mengharapkan kemelut di RRC akan membawa dampak negatif terhadap upaya penyelesaian masalah Kamboja.

Menjawab pertanyaan wartawan pada saat berada di pesawat yang membawa rombongan Presiden Soeharto kembali ke New York dari Washington, Alatas mengatakan bahwa “kita mengharapkan tidak ada dampaknya.”

“Lagi pula,” kata Alatas, “kita menganggap soal Kamboja pada pokoknya harus diselesaikan oleh pihak-pihak Kamboja sendiri dengan dibantu oleh negara-negara regional”.

Namun, sambungnya, hal itu bukan berarti penyelesaian masalah Kamboja tidak memerlukan dukungan negara-negara besar, Amerika Serikat sendiri, dinilai Alatas, telah memberikan dukungan terhadap upaya penyelesaian Kamboja yang dimotori oleh ASEAN.

“Perlu ada keterlibatan aktif tiga negara besar untuk mendukung ASEAN,” kata Alatas mengacu kepada Amerika Serikat, Uni Soviet dan Cina.

Ketika diminta komentarnya tentang rencana pemberian bantuan militer AS kepada kelompok Sihanouk, Alatas menegaskan lagi pendirian Indonesia bahwa upaya penyelesaian masalah Kamboja harus berpegang teguh kepada kesepakatan JIM I dan JIM II, yang isinya antara lain menekankan perlunya penghentian bantuan atau intervensi asing.

“Kita sedang menuju pada titik akhir penyelesaian masalah Kamboja secara politis, bukan secara militer. Rasanya agak mengganggu kalau kemudian ada peningkatan pemberian senjata dari siapapun juga,” katanya.

Alatas juga mengharapkan perkembangan di Cina itu tidak memberi dampak pada proses normalisasi hubungan RI-RRC, yang diawali dengan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan Menlu Cina Qian Qichen di Tokyo, 23 Februari lalu.

Masalah Kamboja merupakan salah satu di antara berbagai masalah yang dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dengan Presiden AS George Bush di Gedung Putih hari Jum’at.

Kepala Negara, seperti dijelaskan Alatas dan Mensesneg Moerdiono, menjelaskan kepada Bush tentang proses penyelesaian masalah Kamboja lewat JIM I dan JIM II. Disampaikan pula kepadanya tentang penemuan antara Pangeran Sihanouk dan Perdana Menteri Hun Sen di Jakarta awal Mei lalu.

Presiden AS, kata Alatas, menghargai peranan Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan Brunei Darusalam dalam membantu penyelesaian konflik yang telah berlangsung sepuluh tahun lebih itu.

 

 

Sumber : MERDEKA(12/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 219-223.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.