Presiden Soeharto: JANGAN “EWUH PAKEWUH”MENGKOORDINASIKAN PROYEK

Presiden Soeharto: JANGAN “EWUH PAKEWUH”MENGKOORDINASIKAN PROYEK

 

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menegaskan, para gubernur jangan ewuh pakewuh atau sungkan dan ragu-ragu untuk mengkoordinasikan dengan semua instansi terkait, jika dijumpai ada hal-hal yang memang perlu dikoordinasikan dalam pelaksanaan proyek pembangunan.

“Kita tidak boleh ragu-ragu dalam mengkoordinasikan dan memadukan berbagai proyek pembangunan di daerah, baik yang bersumber dari APBN, APBD, maupun bantuan luar negeri. Sebab kunci keberhasilan pembangunan adalah keterpaduan dan kegotongroyongan,” tambah Kepala Negara.

Penegasan itu disampaikan Presiden Soeharto ketika menerima Gubernur Sulawesi Tenggara H. Alala di Bina Graha, hari Rabu .Ia melaporkan perkembangan berbagai proyek pembangunan di daerahnya.

Kepala Negara mengatakan, jika gubernur mengetahui ada hal yang perlu dikordinasikan, hendaknya tidak perlu ragu mengadakan koordinasi dengan semua instansi terkait. Tanpa perlu ewuh pakewuh hendaknya gubernur mengundang semua instansi terkait, sehingga proyek pembangunan itu dapat dimaksimalkan untuk memasuki tahap tinggal landas, tegas Kepala Negara.

Kepada para gubernur, Presiden Soeharto juga menekankan pentingnya pemantauan operasional berbagai proyek pembangunan secara langsung di lapangan.

Pengadilan juga diminta menghadirkan seorang saksi yang selama ini tak pernah muncul, meski keterlibatannya jelas disebut-sebut. Perintah itu dikeluarkan melalui putusan sela dari majelis hakim banding.

Menurut Muladi, dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) memang dimungkinkan adanya perintah pengulangan semacam itu, jika putusan sebelumnya dianggap tidak sah atau tidak menampilkan semua barang bukti. Kalau alasan pengulangan itu demi menciptakan kebenaran materiil, jelas harus didukung. Soal merugikan terdakwa atau tidak memang jadi relatif.

Namun demikian kalau pengulangan itu hanya karena masalah berat ringannya pidana, Muladi cenderung tak perlu dilakukan. Dalam hal ini pengadilan banding bisa membuat keputusan, masalah kekurangan berkas dan lainnya bisa disusulkan.

“Ini kalau yang dipersoalkan masalah berat ringannya pidana. Kalau bukti-bukti lain itu tidak akan mempengaruhi salah tidaknya terdakwa, ya buat apa diulang. Secara politis keputusan pengadilan tinggi lebih tepat dari pada harus mengulang lagi. Kecuali kalau ada bukti baru yang akan menguntungkan hukum pidana, itu boleh. Seorang terdakwa tentu sangat mengharapkan adanya kepastian hukurn,” katanya seraya menambahkan, salah satu faktor peradilan yang cepat adalah efektifitas peradilan pidana.

 

Penilaian

Menurut Muladi, pengadilan ulang adalah masalah yang sangat urgen karena itu harus dipertimbangkan betul. Pengulangan seperti itu harus tetap bisa menjaga kewibawaan aparat peradilan. Kalau tidak, kesan masyarakat bisa lain. Hal ini ia garis bawahi karena dalam pengadilan ulang sesungguhnya terkait pula masalah kondite. Jadi merupakan penilaian terhadap pengadilan sebelumnya, “Alasan belum semua bukti diperiksa, itu juga merupakan suatu penilaian, jadi harus dijaga agar tidak memerosotkan kewibawaan,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.

Atas pertanyaan apakah pengadilan ulang itu ada kaitannya dengan tekanan masyarakat atau tidak, Muladi yang banyak menyoroti kerja hakim itu tidak sepenuhnya mengiyakan. “Tapi kalau melihat jumlah anggota majelis yang akan memeriksa juga bakal ditambah, rasanya memang ada kaitan dengan kesan masyarakat selama ini,” katanya lagi.

Asal kesan masyarakat itu tidak mempengaruhi keputusan yang akan diambil nanti, OK lah. Bukti-bukti yang akan diajukan tentunya sangat obyektif. Tapi kalau kesan masyarakat itu nanti berpengaruh dalam putusan hakim, saya khawatir bisa jadi presiden untuk menekan peradilan.

Peradilan bagaimanapun harus tetap bebas meski tetap dibatasi oleh kepentingan nasional. Saya dulu juga ikut mengritik putusan terhadap Frans Limasnax. Tapi kritik-kritik semacam itu sebenarnya bermakna untuk perbaikan di masa datang. Jadi lebih bersifat ilmiah.

 

 

Sumber : KOMPAS (18/05/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 414-416.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.