PRESIDEN SOEHARTO MINTA DIRUMUSKAN HUBUNGAN ABRI DAN KEPEMIMPINAN MASYARAKAT[1]
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto minta agar Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional) bersama seluruh korps alumninya secara khusus merumuskan, bagaimana hubungan fungsional antara komando ABRI, instansi pemerintah dan kepemimpinan masyarakat pada tiap tingkat, baik dalam masa damai maupun masa darurat. Seluruh rumusan itu hendaknya diarahkan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam strategi nasional.
Imbauan itu disampaikan Presiden ketika menerima 60 peserta Kursus Reguler Angkatan (KRA) XXVI Lemhanas di Bina Graba Jakarta, Senin (27/9). Peserta KRA kali ini, seperti dijelaskan Gubernur Lemhanas Mayjen TNI Hartono, terdiri dari atas 29 anggota ABRI (13 orang dari AD, empat dari AL, enam dari AU, enam dari Polri), dan 31 anggota non ABRI yang terdiri dari pejabat departemen, seorang anggota Kadin dan seorang anggota PWI, yaitu RB Sugiantoro. Mereka akan diwisuda pada 9 Oktober setelah mengikuti kursus sejak 6 Februari lalu.
Pernyataan Kepala Negara dilatarbelakangi oleh perkembangan yang pesat baik dijajaran ABRI maupun golongan masyarakat. Jajaran ABRI- matra darat, laut, udara maupun kepolisian- telah makin profesional. Rakyat juga telah makin cerdas dan terorganisasi dalam berbagai orsospol dan ormas. Kualitas kepemimpinannya juga meningkat. Pembahan di berbagai kalangan ini akan mempunyai pengaruh terhadap hubungan ABRI dan rakyat.
Menurut Presiden, dalam masa damai hubungan itu harus mampu mendorong lajunya pembangunan nasional dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Dalam masa darurat, hubungan tadi hams memungkinkan semua pihak mengerahkan kekuatan yang dimiliki untuk menangkal serta menanggulangi berbagai wujud ancaman. “Peralihan tangungjawab kepemimpinan dari keadaan damai kepada keadaan darurat dan sebaliknya harus dapat berlangsung tanpa guncangan hanya dengan menyusun tatanan demikianlah bangsa Indonesia akan dapat menjamin kelangsungan pembangunan nasional dalam segala keadaan,” demikian Kepala Negara.
Kepala Negara juga mengingatkan bahwa selumh tatanan itu hanya akan dapat berjalan dengan baik jika seluruh jenis kepemimpinan yang ada dalam masyarakat memaharni misi bersama yang mereka emban, mengerti kondisi yang mereka hadapi dan memiliki kemampuan untuk mencapai sasaran nasional dalam kondisi yang tidak selalu menguntungkan.
“Lemhanas dapat mempakan wadah bertemunya para calon pemimpin bangsa Indonesia pada masa yang akan datang,” tutur Presiden.
Pentingnya Kepemimpinan
Kepala Negara juga mengemukakan lagi persoalan dan falsafah kepemimpinan. Lapisan kepemimpinan, katanya, adalah bagian yang paling aktif, kreatif dan dinamis dari suatu masyarakat. Pemimpinlah yang harus mengubah kendala menjadi peluang, mengubah keterbatasan menjadi kekuatan. Pemimpin pula yang hams menunjukkan arah yang jelas dan tegas pada saat orang banyak saling bertanya tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Pengalaman selama inimenunjukkan, kepemimpinan adalah salah satu tugas di antara sejumlah tugas yang ada dalam masyarakat. Sebagai suatu tugas, kepemimpinan itu terkait erat dengan tugas-tugas lainnya. Adalah mustahil, seorang pemimpin dapat berhasil menunaikan tugas yang diamanatkan kepadanya jika pihak-pihak lain yang terkait tidak memberikan dukungan. Itulah sebabnya seorang pemimpin atau calon pemimpin harus memiliki wawasan yang luas dan kepribadian yang matang, di samping memiliki kemahiran berkomunikasi ,kata Presiden. Menurut Presiden, bangsa yang sedang membangun memerlukan banyak pemimpin. Keberhasilan atau ketidak berhasilan pembangunan untuk sebagian terbesar juga ditentukan kualitas dan kerja antara banyak pemimpin tadi. “Jika para pemimpin dapat bekerja sama secara melembaga, maka akan terhimpun kekuatan dinamis yang besar guna mencapai sasaran pembangunan,” kata Presiden.
Sebaliknya, lanjutnya, jika para pemimpin masih berselisih pendapat, terlebih lebih jika menyangkut hal-hal yang paling dasar, pasti akan mengalami kesulitan dalam menyusun kebijakan, strategi dan rencana secara nasional.
“Dalam kaitan ini kita merasa bersyukur bangsa Indonesia telah berhasil menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” ujar Kepala Negara.
lptek dan Hukum
Presiden Soeharto juga menjelaskan, bangsa Indonesia masih harus memacu pembangunan dalam berbagai bidang, khususnya iptek yang menjadi batu sendi kemajuan di berbagai bidang pembangunan, serta dalam bidang hukum yang memberikan kepastian dalam menghadapi dunia yang berubah cepat ini.
Iptek, katanya, hanya mungkin tumbuh dan berkembang jika masyarakat dapat menggunakan hasil iptek itu dalam kehidupannya dengan gemar mengungkap rahasia alam sekitar. Hanya masyarakat yang mencintai iptek serta mampu mengembangkannya yang dapat maju dengan kekuatannya sendiri dimasa depan.
“Karena itu, salah satu tantangan besar yang kita hadapi dewasa ini dan di masa depan adalah bagaimana menciptakan, mengembangkan, dan memantapkan budaya yang memungkinkan tumbuh berkembangnya kegairahan masyarakat guna mengembangkan iptek,”katanya.
Tantangan besar lain adalah membangun sistem hukum nasional yang dinamis, yang akan menjadi tumpuan pembangunan masa depan. “Kita sudah sepakat mengenai filsafat nasional dan nilai-nilai dasar lainnya yang menjadi sumber hukum nasional yang harus dikembangkan,”demikian Presiden.
“Kita juga sudah hidup dalam lembaga-lembaga politik yang cukup mantap. Yang masih harus kita kerjakan ada ah memperluas penjabaran nilai-nilai dasar Pancasila secara taat asas, menjadi peraturan perundang-undangan yang adil dan melaksanakannya secara adil pula,”kata Kepala Negara.
“Dalam tahun-tahun terakhir terasa bahwa laju dinarnika masyarakat jauh lebih cepat dari kemampuan kita menyusun peraturan perundangan yang diperlukan untuk melayani dan mengendalikan dinamika itu.Tugas kita bukan hanya menyusun hukum baru, tetapi juga menjaga agar hukum yang ada tetap sesuai perkembangan zaman.” Pembangunan hukum juga mencakup pengaturan ianjut doktrin dan sistem Hankam rata yang telah diseminarkan pada tahap akhir pendidikan di Lemhannas.
“Kemanunggalan ABRI-rakyat sebagai esensi doktrin dan sistem Hankamrata yang disarikan dari pengalaman perang kemerdekaan akan tetap relevan, baik dewasa ini maupun pada masa yang akan datang,” tandas Presiden.
Kemanunggalan itu, tambah Kepala Negara, adalah salah satu aspek persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Namun, wujudnya dalam praktek bersifat dinamis, dipengaruhi perkembangan ABRI dan dinamika masyarakat sendiri.
Perbedaan Pendapat
Dalam sambutan tertulis yang dibacakan Jenderal Faisal Tanjung hari senin, Presiden Soeharto menegaskan kini ABRI harus mengembangkan kesepakatannya mengenai cara-cara menyelesaikan perbedaan pendapat dalam masalah pelaksanaan Dwifungsi ABRI, mengingat dalam tubuhnya ada anggota yang masih terikat dengan disiplin dan hukum militer serta ada pula yang sudah lebih bebas dari ikatan itu.
Hal itu penting, terutama jika dikaitkan dengan pelaksanaan tugas-tugas ABRI dalam bidang sosial politik.
Berbicara pada pembukaan Sarasehan Para Sesepuh ABRI di Mabes ABRI Cilangkap, Jakarta Timur, Presiden selaku Ketua Badan Pembina Pepabri (Persatuan Pumawirawan dan Warakawuri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) lebih jauh menambahkan, ada beberapa pedoman yang dapat dijadikan pegangan bersama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu.
Pertama, ABRI didorong oleh motivasi yang sama, yaitu motivasi sebagai pejuang yang ikut merasa bertanggungjawab terh adap kemajuan bangsa. Sehingga, kalau terjadi perbedaan pendapat antara sesamanya, hal tersebut jangan menyangkut motif ideologis, tetapi lebih mengenai kebijakan dan strategi dalam berbagai wujud dan rumusan.
Kedua, tambah Presiden, masyarakat menganggap ABRI (termasuk yang purnawirawan) tetap sebagai warga ABRI secara keseluruhan. Ia merupakan salah satu kekuatan sosial politik yang mempunyai peranan demikian penting dalam negara ini.
Karena itu, perbedaan pendapat secara terbuka di antara sesama anggota ABRI, apalagi yang memberi kesan pertentangan dan ketegangan, akan merisaukan masyarakat Pengalaman sejarah menunjukkan, apapun yang terjadi dalam ABRI dampaknya akan terasa dalam tubuh bangsa Indonesia. Dan dampak tersebut tidak jarang mendalam dan berjangka panjang.
Semakin Berat
Presiden pada kesempatan itujuga mengingatkan, tugas ABRI di masa mendatang, khususnya dalam bidang pertahanan keamanan dan sosial politik akan semakin berat. Sebab itu, ABRI harus mencari cara merumuskan kebijakan dan strategi yang tepat untuk menangani berbagai permasalahan nasional yang dihadapinya. Dalam kaitan itu, ABRI di samping harus konsisten secara kejuangan, ia juga harus realistis dan mengikuti dinamika perkembangan masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan Dwifungsi ABRI, kata Kepala Negara, pada dasamya menghendaki daya kreativitas yang tinggi dari ABRI. Artinya, ABRI bukan saja harus mampu menjabarkan dan menerapkan nilai-nilai kejuangan dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, tetapi juga harus mengembangkan nilai-nilai itu secara operasional. Dalam menerapkan dan mengembangkan nilai-nilai tersebut, lanjutnya, ABRI pun harus bersikap hati-hati sebab nilai-nilai luhur itu merupakan sari-pati dari keseluruhan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang telah disepakati oleh seluruh lapisan dan kalangan dalam masyarakat. Selain itu kata Presiden, ABRI harus mengingat pula bahwa masalah sosial ekonomi yang mendesak demikian banyak yang harus diselesaikan. Sarasehan yang berlangsung sehari itu menurut Kapuspen ABRI Brigjen. TNI Syarwan Hamid menampilkan sejumlah pembicara dari lingkungan Pepabri seperti, mantan Wapangab/Pangkopkamtib Sumitro, Sekjen Wanhankamnas Machmud Subarka, man tan Mendagri Rudini, Mantan Gubernur KDKI Jaya Wiyogo Atmodarminto, Mensesneg Moerdiono, dan mantan Menhankam LB Moerdani.
Hasil dari sarasehan tersebut, jelas Kapuspen akan dirumuskan dalam suatu konsep untuk kemudian diserahkan kepada Pangab sebagai masukan baginya. Karena hal itu akail dijadikan dasar-dasar kebijakan ABRI di masa mendatang, dengan sendirinya hal tersebut pun akan mewarnai kebijakan ABRI di masa mendatang. Sementara Pangab dalam Sarasehan itu mengemukakan, forum seperti ini tidak lain bertujuan untuk mendapatkan masukan dari para sesepuh ABRI. “Dengan demikian potensi bapak-bapak akan dapat tersalur untuk lebih mendayagunakan tugas tugas ABRI masa kini dan masa mendatang, khususnya di bidang sosial politik,” tuturnya. Saran, pendapat, dan masukan para sesepuh ABRI, kata Pangab, selain akan menjawab citra kejayaan ABRI di masa mendatang, juga akan menjadi tauladan kebersamaan ABRI dengan tokoh pendahulunya. “Khususnya dalam citra menempatkan bangsa di atas kepent ingan golongan atau perorangan,” demikian Pangab Jenderal TNI Faisal Tanjung. (vik/fan)
Sumber: KOMPAS (28/09/1993)
___________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 636-641.