PRESIDEN SOEHARTO: MUI MAKIN MANDIRI

PRESIDEN SOEHARTO: MUI MAKIN MANDIRI

 

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menilai, dewasa ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berkembang menjadi suatu lembaga yang semakin mandiri. Atas prakarsa pimpinannya sendiri telah berkembang kerja sama yang erat dengan semua pimpinan umat Islam Indonesia, termasuk dengan kaum terpelajar Islam Indonesia.

Hal itu dikemukakan Kepala Negara ketika menerima para peserta Rapat Kerja Nasional MUI di Istana Negara, hari Rabu. “Kerja sama ini telah menciptakan suasana baru yang segar dalam pertumbuhan agama Islam serta umatnya di Indonesia. Kerja sama itu bukan saja perlu dipelihara, tapi perlu ditumbuhkan dan dikembangkan di masa datang,” tambahnya.

Dikatakan, pengalaman menunjukkan tidak mudah mendekatkan organisasi­organisasi yang sudah mempunyai tradisi kuat apalagi untuk mempersatukannya. Padahal, tantangan yang dihadapi sebagai bangsa memerlukan persatuan dan kesatuan yang kukuh. Hal itu bukan saja dalam bidang politik, ekonomi, atau pertahanan keamanan, tapi juga dalam bidang sosial budaya dan agama.

Karena itulah, kata Presiden Soeharto, pemerintah mengambil prakarsa untuk mendorong berdirinya MUI hampir dua dasawarsa lalu. Pemerintah memberanikan diri mengambil peran sebagai jembatan untuk terwujudnya kesatuan dan persatuan dalam umat Islam Indonesia, khususnya dalam menunaikan tugas kebangsaan yang sangat besar.

“Pemerintah berkepentingan dengan adanya suatu Majelis Ulama Indonesia, yang akan berperan sebagai penghubung dengan umat Islam Indonesia yang demikian banyak jumlahnya itu, baik yang telah menggabung pada salah satu organisasi yang ada maupun yang belum,” katanya.

 

Dua Tugas Nasional

Di bagian lain sambutannya, Presiden menilai, di tahun-tahun mendatang para pemimpin umat beragama di Indonesia menghadapi dua tugas nasional, baik ke dalam jajaran umatnya sendiri, maupun ke dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

Dua tugas tersebut adalah, pertama, tugas yang mengarah ke dalam, yaitu mengembangkan kerja sama antara umat yang sama agamanya, seperti dikehendaki UU Organisasi Kemasyarakatan. Sedangkan tugas kedua adalah yang mengarah ke luar, yaitu tugas untuk memberikan sumbangan konsepsional keagamaan yang akan menjadi landasan moral, etik, dan spiritual bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Karena bagian terbesar rakyat Indonesia menganut agama Islam, dengan sendirinya tugas organisasi kemasyarakatan Islam sangat besar, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Rakemas MUI membahas masalah penting bagi pembinaan umat Islam. Pusat perhatian dicurahkan pada masalah pendidikan, dakwah, dan ukuwah Islarniyah, untuk meningkatkan kualitas umat dalam mensukseskan Repelita V

Kepala Negara menilai, pusat perhatian itu sangat tepat, karena keberhasilan pembangunan di masa datang ditentukan oleh kualitas manusia yang tinggi. “Membangun kualitas manusia ini merupakan proses yang memakan waktu panjang, terutama melalui pendidikan serta, juga dakwah dalam artian yang luas,” katanya.

Diingatkan pula, dewasa ini bangsa Indonesia sedang bersiap-siap memasuki babak baru dalam kehidupan kebangsaan, yakni era tinggal landas, sehingga semua pihak harus membenahi diri menyongsongnya. Dalam pembenahan ini, Presiden menekankan pentingnya dibangkitkan kreativitas serta prakarsa masyarakat.

“Majelis Ulama Indonesia serta organisasi-organisasi kemasyarakatan umat Islam lainnya perlu mendayagunakan peluang ini, sehingga umat Islam dapat memberi sumbangan yang sebesar-besarnya bagi keberhasilan pembangunan,” demikian Presiden Soeharto.

 

Tekad MUI

Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri melaporkan, rakemas yang berlangsung 17-20 Desember itu diikuti 300 peserta, termasuk para ulama di negara sekawasan.

Melalui rakemas, MUI bertekad meningkatkan pendidikan Islam, meningkatkan dakwah bilhal, meningkatkan usaha nyata dalam memperkukuh ukhuwah Islamiyah guna lebih memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam melestarikan stabilitas nasional, serta memasyarakatkan dan memperluas wawasan zakat harta.

Sementara itu, Pangab Jenderal Try Sutrisno dalam sambutannya Selasa malam mengatakan, peran positif yang selalu ditujukan oleh umat Islam dalam sejarah perjuangan bangsa telah melahirkan nilai-nilai yang hakiki yang harus tetap tertanam kuat di dalam hati sanubari setiap umat Islam Indonesia. “Sejarah bangsa Indonesia telah mencatat bahwa para ulama justru menjadi pelopor dalam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” katanya.

Dengan kearifan, tambah Pangab, kebijaksanaan dan kematangan wawasan berpikir para ulama telah dapat menemukan hubungan yang tepat dan proporsional antara ideologi negara Pancasila dan akidah Islamiyah. Kesadaran ini perlu dilandasi oleh pengertian bahwa dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas, peluang dan kesempatan berdakwah membangun agama tidak akan berkurang, apalagi sampai tertutup sama sekali.

 

 

Sumber : KOMPAS(21/12/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 587-589.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.