PRESIDEN SOEHARTO: PELIHARA TERUS KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA [1]
Jakarta, Media Indonesia
Presiden Soeharto meminta agar para pemimpin bangsa, formal maupun nonformal- terlebih para pemuka agama- terus memelihara kerukunan hidup di antara sesama umat beragama.
“Perbedaan agama aliran dan pemahaman keagamaan Jangan sampai membuat kita terpecah belah dan bermusuhan satu sama lain,” tandas Kepala Negara pada peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Istana Negara, Jumat (19/8) petang.
Menurut Presiden, masalah agama menyangkut keyakinan dan hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan.
“Karena itu, seperti berulangkali saya kemukakan pemerintah tidak akan dan tidak mungkin mencarnpuri masalah intern agama, baik yang menyangkut keyakinan akidah, tata cara peribadatan maupun organisasi kelembagaannya ,”jelas Kepala Negara.
Undang-undang Dasar, lanjut Presiden, secara tegas menjamin kemerdekaan beragama dan kebebasan untuk menjalankan ibadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, menegaskan bahwa kemerdekaan beragama adalah hak yang paling asasi yang berasal dari Tuhan, bukan pemberian negara atau goIongan.
“Bagi kita umat Islam, kemerdekaan beragama itu sangat dihormati. Tidak ada paksaan dalam agama, demikian ditegaskan dalam Al Qur’an . Bahkan, Nabi Muhammad SAW diperintahkan Tuhan untuk berlaku adil terhadap orang yangbukan Muslim,” jelas Presiden Soeharto.
Selain itu, kata Kepala Negara, AI Qur’an melarang kita untuk berlaku tidak adil terhadap orang yang kita benci sekalipun. Sebenarnya inilah salah satu wujud nyata dari masalah Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi umat manusia.”
Presiden kembali mengingatkan, bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk dalam suku dan ras, majemuk dalam adat istiadat dan bahasa, majemuk pula dalam agama dan kepercayaan. Dalam kehidupan beragama, tutur Kepala Negara, kemajemukan itu tampak dalam kehadiran berbagai agama dan j uga kehadiran berbagai aliran yang berbeda-beda dalam satu agama. “Tidak jarang pertentangan berbagai aliran dan pemahaman diantara umat beragama bisa jauh lebih sengit dan lebih parah dibanding perbedaan agama,” tegas Presiden Soeharto.
Sebab itu, Kepala Negara mengatakan, bangsa Indonesia patut bersyukur kepada Allah SWT karena para pendahulu kita telah merumuskan dan mewariskan ideologi nasional, Pancasila.
“Selain itu kitajuga bersyukur karena Nabi Muhammad SAW membekali kita untuk menghadapi perbedaan diantara kita. Beliau menegaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Tentu saja kalau kita pandai dan arif menangani perbedaan itu,” ujar Presiden.
Untuk itu, tutur Kepala Negara, diperlukan sikap rendah hati, sikap arif dan sikap lapang dada. Sebab, agama Islam juga mengajarkan agar, perbedaan dan kemajemukan dikembangkan sebagai pendorong berbuat baik bagi sesamanya.
“Dan memang agama Islam berulangkali menganjurkan untuk ber fastabiqull khairat, untuk berlomba-Jomba berbuat kebaikan,” tegas Kepala Negara.
Tanggung Jawab Moral
Sementara Itu Menteri Agama Dr H Tarmizi Taher dalam sambutannya mengatakan, tidak banyak bangsa di muka bumi ini yang berhasil merumuskan hubungan konstitusional antara keimanan rakyat dan negaranya.
“Dengan kaidah konstitusi seperti tercantum dalam UUD 1945, negara serta pemerintah mengemban tanggungjawab moral yang berakar dari keimanan rakyatnya dalam pelaksanaan, tugas kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan,” katanya.
Menag mengingatkan umat beragama dan kepemimpinannya mengemban tanggungjawab moral terhadap bangsa dan negara yang didirikan. “Peranan konstitusional umat beragama untuk meletakkan landasan spiritual, moral dan etik yang kukuh terhadap pembangunan nasional bukan tugas ringan. Umat beragama perlu menjabarkan lebih lanjut guna memberi basis keimanan, kerohanian dah kesusilaan di semua bidang.
“Semua umat beragama di Indonesia harus memahami mereka punya dua pedoman, Pancasila dan kitab sucinya masing-masing sebagai pedoman warga negara dan pedoman umat beragama.” (RicU)
Sumber: MEDIA INDONESIA ( 21/08/1994)
___________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 610-612.