Presiden Soeharto Sampaikan Keterangan RAPBN di DPR[1]
SELASA, 6 JANUARI 1987 Pukul 9.40 pagi ini Presiden Soeharto menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang RAPBN Tahun 1987/1988 dihadapan sidang paripuma DPR di Senayan, Jakarta.
Sebelum memaparkan RAPBN, dalam amanatnya Kepala Negara terlebih dahulu menjelaskan posisi pemerintah menyangkut devaluasi rupiah yang telah dilakukan pemerintah pada tanggal 12 September yang lalu. Dikatakannya bahwa ketika menyampaikan RAPBN 1986/1987 setahun yang lampau ia memang mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu dan tidak akan melakukan devaluasi rupiah. Tetapi dengan kenyataan bahwa kemudian pemerintah terpaksa mengadakan devaluasi, sama sekali tidak berarti bahwa pemerintah tidak konsekuen dengan ucapannya, terlebih-lebih bukan berarti pemerintah menipu atau menjerumuskan rakyat.
Dikemukakannya bahwa devaluasi itu merupakan keputusan yang sangat sulit dan sangat berat. Ia menganggap lebih bermoral dan lebih bertanggungjawab untuk mengatakan apa adanya kepada rakyat dan secara sadar mengambil keputusan yang pahit demi kepentingan pembangunan jangka panjang, daripada ia tidak mengambil keputusan yang pahit itu hanya karena ia ingin menyelamatkan kata-kata yang pemah diucapkannya.
Mengenai RAPBN, dengan mengerahkan segala daya, pemerintah mengajukan RAPBN 1987/1988 sebesar Rpc22,7 triliun lebih. Ini berarti kenaikan 6,4% dari anggaran yang sekarang. Karena tetap dianut anggaran berimbang, maka pengeluaran negara juga akan sama besarnya dengan penerimaan.
Penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 17,2 triliun lebih atau turun dengan 3,3% dari anggaran yang sekarang. Sedangkan penerimaan pembangunan diperkirakan dapat mencapai Rp5,5 triliun lebih atau naik dengan 54,6% dari yang sekarang.
Pengeluaran akan terdiri dari pengeluaran rutin sebesar Rp15 triliun lebih atau naik dengan 14,5% dari yang sekarang; dan pengeluaran pembangunan sebesar Rp7,7 triliun lebih atau turun dengan 6,5% dari yang sekarang.
Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerirnaan dari sektor minyak bumi dan gas alam, serta penerimaan dari luar sektor minyak bumi dan gas alam. Dalam tahun anggaran 1987/1988 nanti, penerimaan negara dari sektor minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 6,9 triliun lebih atau turun dengan 28,7% dari rencana penerimaan tahun 1986/1987. Sedangkan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam diperkirakan sebesar Rp10,2 triliun lebih atau naik 27,2%.
Dijelaskan oleh Presiden bahwa dari angka-angka itu dapat kita lihat betapa besarnya pengaruh turunnya harga minyak bumi di pasaran dunia terhadap penerimaan negara kita. Dan betapa besar pula usaha-usaha yang harus kita lakukan untuk meningkatkan penerimaan yang berasal dari luar minyak bumi dan gas alam. Hal itu terutama berarti bahwa kita harus meningkatkan penerimaan dari pajak.
Sedangkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri jumlahnya akan mencapai lebih dari Rp 5,5 triliun atau naik sekitar 54% dari yang sekarang. Unsur baru dalam penerimaan ini berupa tambahan bantuan proyek dalam bentuk devisa yang dapat dirupiahkan, yang penggunaannya khusus untuk pembiayaan rupiah dari proyek-proyek bantuan tertentu. Tambahan bantuan ini mencerminkan kepercayaan dunia terhadap kita. (AFR)
[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988”, hal 559-560. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003