Roesmin Nuryadin: Pak Harto Mendahulukan Kepentingan Rakyat

Mendahulukan Kepentingan Rakyat [1]

Roesmin Nuryadin[2]

Sebagai orang Jawa Tengah yang ikut bergerilya pada tahun 1945-1949 dan tergabung dalam kesatuan Tentara Pelajar Brigade XVII saya sudah mendengar nama Letkol. Soeharto. Apalagi setelah Pak Harto memimpin serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Kebetulan daerah kekuasaan militer pimpinan Pak Harto itu berbatasan dengan daerah kekuasaan yang dipimpin oleh Pak Achmad Yani, dimana saya bergabung, di daerah Kedu Selatan.

Daerah kekuasaan Pak Harto berada di sebelah timur daerah Pak Yani, sedangkan daerah kekuasaan Pak Surono di daerah sebelah barat, dan Pak Djatikusumo di sebelah timur laut. Tentu saja di antara daerah-daerah kekuasaan itu ada komunikasi, karena kami saling menyebarkan informasi mengenai apa-apa yang dilakukan oleh teman-teman dalam perjuangan. Oleh karena itu dengari sendirinya nama dan kegiatan Pak Harto sudah kami dengar walaupuh belum pernah bertemu muka.

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada bulan Desember 1949 nama Pak Harto sering terdengar lagi. Waktu·itu saya dengar beliau telah diangkat menjadi Panglima T&T di Jawa Tengah, sementara saya melanjutkan sekolah sebentar di Universitas Gadjahmada dan kemudian masuk AURI. Pertemuan langsung dengan Pak Harto baru terjadi pertama kali dalam Opeerasi Trikora pada tahun 1962. Pada waktu itu terjadi pergantian Menteri/Pangau dari Laksamana Suryadarma kepada Laksamana Omar Dhani.

Dalam pergantian pimpinan AURI tersebut, yang bersamaan dengan Operasi Trikora, saya ditugaskan menjabat Wakil Panglima Komando Operasi AU, dalam rangka penyiapan unit-unit Angkatan Udara seperti Pasukan Gerak Cepat dan skadron-skadron udara bagi operasi tersebut. Sebagai Wakil Panglima Mandala dari Angkatan Udara diangkat Komodor Leo Wattimena, dimana Panglima Mandala dijabat oleh Mayor Jenderal Soeharto. Pada suatu hari kami mengadakan pertemuan dengan Pak Harto di Halong, Ambon, suatu pangkalan Angkatan Laut. Pertemuan yang berlangsung dalam suasana ramah tamah itu bertujuan untuk membuat gambaran mengenai hal-hal yang perlu dikerjakan oleh Wakil Panglima Komando Operasi AU di Jakarta untuk operasi siang maupun malam; terutama menyangkut persiapan infiltrasi pasukan kita ke Irian Barat pada malam hari.

Dalam pertemuan dengan Pak Harto itu, saya mendapat kesan bahwa beliau sangat tenang, tetapi berbicara singkat dan tegas serta menguasai medan yang sangat luas di wilayah Indonesia Timur tersebut. Daerah operasi Komando Mandala itu sangat luas, mulai dari Morotai di utara sampai ke selatan, di Irian Barat. Kami mempelajari situasi di daerah operasional untuk mempersiapkan keperluan operasi dengan sebaik-baiknya. Di Jakarta saya mempersiapkan satuan-satuan tugas dengan nama-nama yang saya ambil dari pewayangan seperti Wisanggeni, Anggada, dan lain-lain. Satuan tugas ini terdiri dari berbagai jenis pesawat udara yang kita miliki waktu itu, seperti Hercules C-130, IL-28, TU-16, B-25, Mustang F 5·1, Albatros/Catalina Amphibi, dan C-47 Dakota. Markasnya tersebar dari Morotai, Ambon, Amahai, Letfuan, Madiun dan Jakarta. Sikap Pak Harto yang sangat tenang itu dan kenyataan bahwa beliau sangat menguasai medan, tentu saja, sangat menguntungkan perjuangan kita. Dengan mengenal medan dan penguasaan masalah-masalah yang mungkin timbul, diharapkan operasi akan berjalan lancar. ltulah yang selalu beliau tekankan kepada semua angkatan dalam mempersiapkan diri melawan Belanda. Akan tetapi pada akhirnya segala persiapan yang telah kita lakukan secara intensif, tidak jadi kita terjunkan ke medan laga, sebab justru pada waktu persiapan-persiapan kita memuncak, Belanda setuju menyelesaikan soal Irian Barat melalui meja perundingan.

Dari tahun 1964-1965 dan 1966 saya bertugas sebagai Atase Udara di Bangkok dan kemudian Moskow. Pada akhir Oktober 1965 saya dipanggil ke tanah air. Setiba di Jakarta saya mengunjungi Pak Harto yang kebetulan sedang sakit di rumahnya di Jalan Haji Agus Salim. Pada waktu itu saya ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya dari peristiwa G-30-S/PKI, karena Laksamana Madya Omar Dhani sedang berada di luar negeri. Yang menjabat sebagai Pejabat Men/Pangau adalah Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang. Dalam pertemuan itu Pak Harto memberikan keterangan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Angkatan Udara; beliau juga memberitahukan kepada saya bahwa Omar Dhani sedang berada di luar negeri.

Pak Harto menyampaikan pula ulangan ucapan beliau pada waktu pemakaman jenazah para palilawan revolusi di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ketika itu memang ada tuduhan bahwa AURI terlibat G-30-S/PKI, akan tetapi Pak Harto mengatakan:

“Hei, patriot-patriot Angkatan Udara, AU tidak terlibat, yang terlibat adalah oknum-oknumnya. Sebagai patriot AU, bersihkanlah dirimu dari oknum-oknum seperti itu”.

Pada bulan Februari 1966 saya kembali dari Moskow. Saya dilantik oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri/Pangau pada bulan Maret 1966. Pak Harto menginstruksikan agar saya memanggil kembali Laksamana Madya Omar Dhani dari Phnom Pehn untuk mempertanggungjawabkan dan menerangkan peranan yang dimainkannya dalam peristiwa G-30-S/PKI. Apabila perlu sesuai dengan  ketentuan  hukum yang ada, dapat diajukan  kehadapari Mahmillub. Untuk itu sebuah team yang dipimpin oleh Laksariiaha Muda (Purnawirawan) Suwondo dikirim keluar nege’ri gtinameh jemput  Laksamana Omar Dhani. Team khusus dibentuk’ uritllk mengadakan pemeriksaan terhadap Omar Dhani selama enam bulan dan berkasnya kemudian diserahkan oleh Menteri/Pangauk Pada Pangkopkamtib Jenderal Soeharto dalam upacara kecil di MBAD. Pak Harto juga banyak memberi petunjuk kepada saya dalam rangka tugas saya untuk memulihkan citra AURI di mata masyarakat:

Hubungan saya dengn Pak Harto semakin dekat sejak saya diangkat menjadi Men/Pangau. Dan saya semakin sering lagi berhubungan dengan Pak Harto dalam tahun-tahun berikutnya. Konsolidasi ABRI dan perkembangan politik ketika itu memang mendorong berkembangnya hubungan itu. Dan itu tidak hanya hubungan saya dengan Pak Harto saja, tetapi juga hubungan Pak Harto dengan panglima-panglima angkatan lainnya. Misalnya pada masa menjelang dikukuhkannya beliau sebagai Presiden penuh tahun 1968, Pak Harto mengajak semua pimpinan angkatan untuk menyusun strategi tindakan-tindakan ABRI pasca G-30-S/PKI serta pembangunan ABRI dan negara pada umumnya, Oleh karena itu banyak instruksi yang harus dilaksanakan oleh pimpinan angkatan. Saya sebagai pimpinan angkatan termuda pada waktu itu mendapat tugas dari Pak Harto untuk menjemput bendera pusaka dari Bung Karno di Bogor guna dibawa ke Jakarta. Saya juga mendapat tugas untuk mendampingi Pak Adam Malik, Menteri Luar Negeri, ke PBB guna mengikuti sidang-sidang yang membicarakan masuknya Indonesia kembali kedalam organisasi dunia itu, pada bulan September 1966.

Selain itu banyak kesan lain yang menarik tentang Pak Harto, terutama ketika saya menjadi menteri selama 11 tahun lebih. Umpamanya, apabila saya menghadapi sesuatu masalah maka saya minta petunjuk beliau. Untuk itu kepada saya selalu ditanyakan beliau langkah-langkah apa yang akan saya jalankan serta akibat yang mungkin timbul. Memang kalau berhadapan dengan Pak Harto kita harus menguasai sekali persoalan-persoalan dan data yang ada, karena beliau adalah seorang yang mempunyai daya ingat yang lama, dan daya analisa yang teliti. Dalam membuat suatu keputusan, Pak Harto selalu mengingatkan kita kepada analisa kenapa masalah tersebut timbul dan alternatif apa saja yang dapat diambil sebagai jalan keluarnya, tetapi dengan memperhitungkan segi positif dan negatifnya. Ini merupakan suatu kebiasaan yang diajarkan dalam latihan/pendidikan kemiliteran dimana seorang perwira dalam membuat keputusan diharuskan memiliki pikiran yang logis dan analitis .

Pikiran Pak Harto memang sangat analitis sehingga dapat diterjemahkan kedalam pengertian yang ekonomis meskipun itu adalah keputusan militer strategis. Selain itu beliau juga sangat kritis, dan malah mengarah kepada perfeksionis. Sebagai contoh yang lebih baik dapat saya ambil dari pengalaman saya dalam Komando Mandala.

Didalam pengiriman pasukan untuk menyerang Biak, pangkalan udara Belanda terbesar di Irian Barat pada masa Trikora, beliau secara teliti dan kritis menanyakan tentang awak pesawat yang akan dikirim kesana, terutama mengenai keselamatan mereka. Pada waktu itu saya dan Komodor Leo Wattimena tertegun sebentar karena kami tidak menyangka bahwa Pak Harto akan berpikir sejauh itu, termasuk nama-nama awak pesawat. Aspek kemanusiaan tetap diperhatikan dan diperhitungkan, namun beliau berpesan agar rencana yang telah dibuat itu jangan sampai terganggu. Oleh karena itu beliau meminta agar mengirimkan orang-orang yang mempunyai kualifikasi tinggi untuk menghindari kegagalan.

Pengalaman saya yang lain mengesankan bahwa Pak Harto adalah seorang pemimpin yang memperhatikan kepentingan rakyat. Kesan ini terlihat ketika saya mengusulkan kenaikan tarif kereta api pada tahun 1985. Beliau menolak usul saya itu. Dalam hubungan ini beliau mengatakan bahwa memang benar apabila tarif kereta api dinaikkan, maka subsidi akan dapat dihentikan. Namun menurut beliau, kalau tarif kereta api dinaikkan, maka beban rakyat akan besar, karena kenaikan itu terutama sekali akan menambah beban hidup rakyat kecil. Ketika itu beliau meyakinkan saya bahwa behwa memahami sekali apa arti kereta api itu bagi rakyat, sebab rumah beliau di sebelah bar at Yogyakarta (Godean) dekat dengart jalan kereta api, yang sering menjadi perhatian beliau waktu masih remaja.

Sebaliknya ada pula hal-hal yang tidak dapat kita perkirakan dari Pak Harto; hal-hal yang mungkin  bagi kita terlalu berlebihan atau mungkin mewah, justru didukung oleh beliau. Misalnya dalam membuat keputusan tentang pemesanan kapal-kapal untuk PELN. Kapal-kapal yang akan melayani  jalur-jalur  jauh  dipesan dari galangan di luar negeri. Sebenarnya kapal-kapal tersebut masih dianggap mewah untuk masa sekarang. Akan tetapi dengan pikiran beliau yang menerawang jauh ke masa depan, maka beliau tetap mendorong pemesanan kapal-kapal tersebut. Menurut beliau teknologi kapal jangan dilihat dalam ukuran waktu satu atau dua tahun saja, tetapi puluhan tahun ke depan. Oleh sebab itu beliau mengatakan:

“Pemesanan kapal-kapal tersebut terus dilaksanakan, karena bukan untuk memenuhi standar hidup orang kita sekarang atau bukan standar kemakmuran orang sekarang, tetapi merupakan standar kemakmuran untuk 15-20 tahun mendatang”.

Suatu waktu saya bertanya kepada beliau:

“Bagaimana Bapak dapat kelihatan begitu tenang, ketawa-ketawa, padahal pekerjaan Bapak begitu banyak?”

Beliau menjawab:

“Pekerjaan itu sampai kapanpun tidak akan pernah ada habisnya. Untuk itu kita harus kenal diri kita sendiri dan serahkan segala sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Asalkan kita tidak punya kepentingan apapun dan sudah melaksanakan seperti yang ditugaskan, serta kemampuan sudah dikerahkan, maka biarlah atasan yang menilai. Didalam merencanakan dan melaksanakan sesuatu pekerjaan betapapun rumit dan sulit, kita dapat saja mempunyai obsesi kuat agar usaha kita dapat berhasil dengan baik, tetapi sisihkanlah suatu persiapan mental, agar kita juga telah siap menghadapi kegagalan tersebut.”

Lalu beliau juga menambahkan bahwa seseorang itu akan berusaha lebih kuat lagi untuk maju setelah mengalami kegagalan. Orang yang tidak pernah gagal akan sulit mengambil keputusan karena ia takut akan gagal.

Pak Harto juga memberikan kelonggaran kepada para pembantu beliau untuk membuat keputusan, asalkan tidak bertentangan dengan yang digariskan, yaitu selalu mendahulukan kepentingan masyarakat. Beliau juga mengatakan bahwa:

“Selama saudara sudah dapat meyakinkan saya bahwa hanya masyarakat yang diuntungkan, maka ambil keputusan itu dan setelah itu lapor kepada saya”.

Di lain pihak para pembantu beliau dibolehkan pula mengusulkan suatu kegiatan. Dalam hal ini biasanya beliau menginginkan lebih dari satu usul, dan apabila usulan itu telah diputuskan, maka harus kita jalankan seperti yang tercantum dalam petunjuk. Beliau tidak senang apabia kita membuat suatu pengertian dan pembenaran sendiri di luar yang digariskan. Kata beliau:

“Buat apa Saudara usulkan kepada saya, apabila sudah saya putuskan, tidak Saudara laksana­kan…”

Pak Harto juga selalu memberikan kepercayaan penuh kepada para pembantu beliau atau orang yang telah ditugaskan oleh beliau. Dalam hubungan ini ada pengalaman yang menarik, yaitu ketika saya menjadi Duta Besar di lnggris. Ketika itu, tahun 1971, saya laporkan kepada Pak Harto, bahwa Ratu Elizabeth kelihatannya tertarik untuk berkunjung ke Indonesia. Pak Harto memerintahkan saya agar mengundang Ratu Elizabeth untuk mengunjungi Indonesia dalam rangka kunjungannya ke Timur Jauh. Melalui Prince Charles dan Puteri Alexandra telah disampaikan hal ini kepada Ratu Elizabeth. Ratu memutuskan untuk mengunjungi Indonesia pada tahun 1974.

Menjelang pelaksanaan kunjungan tersebut, tiba-tiba protokol Istana Buckingham memberitahukan bahwa Ratu belum pernah berkunjung ke suatu negara non-commonwealth sebelum kepala negaranya berkunjung ke Inggris. Suatu masalah pelik. Jadi, singkatnya, pihak Inggris meminta agar Presiden Soeharto mengunjungi Inggris lebih dahulu.

Oleh karena itu saya kembali melapor kepada Pak Harto dan menyarankan agar tidak mengikuti saran Inggris tersebut. Kebetulan, ketika itu pemerintah Inggris mengetahui rencana kunjungan Pak Harto ke Belgia dan Eropa. Oleh sebab itu protokol lstana Buckingham menganjurkan agar dalam rangka kunjungan ke Belgia itu, Presiden bisa berkunjung singkat untuk minum teh bersama Ratu Elizabeth di London. Mereka mengatakan bahwa kalau itu· bisa dilakukan, maka rencana kunjungan Ratu Elizabeth ke Indonesia dapat dilaksanakan tanpa ”melanggar” ketentuan protokol Inggris. Sebagai reaksi, saya sarankan kepada Pak Harto agar menolak hal ini. Pak Harto lalu bertanya: “Mengapa?” Saya, jawab bahwa:

“Saya sudah mengatakan kepada mereka ,bahwa rencana Bapak sangat ketat, sehingga tidak memungkinkan lagi, untuk memenuhi undangan minum teh tersebut.”

Ternyata Presiden Soeharto dapat menerima saran saya itu. Akhirnya kunjungan Ratu Elizabeth ke Indonesia, termasuk Bali, Yogyakarta dan Jakarta, berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana yaitu pada tahun 1974. Sebenarnya pada waktu kunjungan ini terlaksana, saya sudah harus ditarik dari jabatan Duta Besar di Inggris, karena masa jabatan saya berakhir tahun1973. Akan tetapi sebelum saya ditarik pulang, Pak Harto memutuskan masa jabatan saya diperpanjang satu tahun lagi, sampai selesai kunjungan Ratu Elizabeth ke Indonesia.

Pak Harto mempunyai perhatian dan rasa tanggungjawab yang besar kepada anak buah. Misalnya ketika terjadi pemogokan para penerbang Garuda pada tahun 1983. Pak Harto merasa tidak sabar karena pemogokan yang berlarut itu menimbulkan gangguan yang sangat besar pengaruhnya terhadap lalulintas penerbangan. Kemudian saya dipanggil dan beliau memerintahkan agar mengumpulkan semua penerbang, sehingga beliau dapat berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Dalam hal ini saya belum melaporkan kepada beliau karena masih ada beberapa masalah yang harus dipecahkan. Misalnya tuntutan mereka terhadap jaminan  hari tua dan perumahan.

Kemudian ternyata banyak hal yang menjadi tuntutan mereka diperhatikan oleh beliau, sehingga setelah terjadi pergantian pimpinan Garuda kita lihat ada perubahan yang cukup mendasar didalam sistem penggajian dan personalianya. Hal ini tentu saja sangat menunjang keselamatan penerbangan. Tetapi kalau mereka menuntut gaji terlalu tinggi, menurut Pak Harto, itu tidak tepat. Gaji para penerbang dipandang oleh Pak Harto sudah cukup untuk ukuran Indonesia dan mereka jangan menganggap diri ekslusif di Indonesia. Hal inilah yang menjadi pertimbangan Pak Harto untuk berbicara dari hati ke hati dengan para penerbang.

Pak Harto juga pernah menegur pejabat bawahannya kalau ada yang dianggap telah salah langkah atau salah mengerti. Dalam hal ini pernah saya alami sendiri sewaktu saya menjabat Duta Besar di Amerika Serikat. Waktu itu Indonesia masih membeli beras yang disalurkan melalui PL 480. Di Amerika Serikat, Congress mempunyai sebuah Sub-Committee of Appropriation; semua bantuan luar negeri setelah disetujui oleh pemerintah harus mendapat persetujuan komite ini. Waktu itu dalam komite tersebut ada seorang anggota yang berasal dari negara bagian Louisiana, yang mempunyai sikap kurang simpatik terhadap Indonesia.  Dia minta agar  saya bertemu dengan dia secara khusus, supaya bantuan yang telah disetujui oleh Presiden Amerika Serikat itu bisa mendapat persetujuan Congress. Rupanya dia menghendaki agar kita membeli beras di negara bagiannya, karena Louisiana memang produsen beras penting di Amerika Serikat. Dia minta begitu, sebab ia ingin menyuarakan kepentingan petani dari negara bagian yang diwakilinya; suatu hal yang wajar.

Ketika Pak Harto mendengar hal ini, maka beliau memanggil dan menegur saya. Beliau menanyakan mengapa saya bertemu anggota Congress yang tidak simpatik tersebut. Saya menjelaskan kepada Pak Harto bahwa sebagai Duta Besar saya justru ingin menghilangkan rintangan-rintangan dari manapun datangnya terhadap hubungan bilateral Indonesia-Amerika Serikat. Saya jelaskan pula kepada beliau bahwa saya ingin menjalankan instruksi beliau untuk mendapatkan bantuan beras lebih banyak lagi daripada tahun sebelumnya, maka saya datangi saja siapapun yang mungkin menghambat. Namun Pak Harto tetap tidak dapat menyetujui langkah saya.

Didalam menjalankan pekerjaan, beliau menghendaki supaya kita selalu memperhatikan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Beliau juga menghendaki agar semua pejabat mengurusi bidangnya masing-masing, karena itu merupakan awal disiplin.

***


[1]     Roesmin Nuryadin, ” Mendahulukan Kepentingan Rakyat “, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 530-538.

[2]     Marsekal TNI (Purn.); Menteri Perhubungan periode 1978-1988; Menteri Panglima Angkatan Udara, KSAU periode 1966-1970

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.