SENYUM “GUIDE” SOEHARTO DISELINGI TAWA LEPAS

SENYUM “GUIDE” SOEHARTO DISELINGI TAWA LEPAS

Empat Jam Jadi Tamu “Tapos”

 

“Saya membaca biografi, mengenal pidato dan tahu siapa Tuan. Namun, ternyata berbeda sekali, setelah kami berkenalan pribadi dengan Tuan”. Ucapan ini dikutip wartawati Jerman Barat, Dr. Christina Mahn, dari sambutan konselir Jerman Barat, Willy Brandt, ketika Presiden Soeharto mengunjungi negara itu, September 1970.

Walaupun tidak diutarakan, tetapi apa yang diucapkan Willy Brandt itu juga terbaca dari wajah sekitar 40 pemimpin redaksi dari berbagai surat kabar Indonesia, tokoh-tokoh PWI, SPS, dan Dewan Pers yang berkunjung ke Tapos, hari Minggu lalu.

Umumnya, tokoh-tokoh dunia pers Indonesia sudah mengenal Presiden Soeharto, kepemimpinan, kepribadian, pemikiran, dan konsepsi-konsepsinya dalam memimpin Indonesia. Tetapi, selama kurang lebih empat jam menjadi tamunya di peternakan PT. Rejo Sari Bumi unit Tapos di Ciawi, Bogor, hari Minggu itu, tampaknya ada kesan lain yang lebih mendalam.

Soeharto tampil bukan sebagai Presiden, tetapi sebagai peternak yang menguasai betul pelbagai seluk beluk peternakan. “Bapak mengikuti dengan teliti seluruh seluk beluk peternakan sapi dan domba yang ada di sini,” kata Made Suweca, manajer lapangan peternakan Tapos.

Made, yang sewaktu-waktu dipanggil Presiden ketika menjadi “guide” dalam peninjauan lapangan kurang lebih dua jam itu mengatakan, “Sebagai badan usaha, pembukuan Tapos diteliti Bapak dengan cermat. Kami selalu digugah untuk menemukan hal-hal baru dan hubungan kami sebagai bapak dengan anak.”

Salah satu k:unci keberhasilan Made Suweca memimpin Tapos, selalu terjun ke lapangan bersama-sama dengan para karyawan. ”lni salah satu nasehat Bapak yang saya pegang teguh.” kata Made. “Menjadikan mereka merasa ikut memiliki.”

Tawa Lepas

Semua orang kenai, Soeharto yang selalu senyum, tulis wartawati Dr. Christina Mahn yang dikutip tadi dalam seri penerbitan mengenai tokoh-­tokoh dunia dewasa ini.

Tetapi, selama ia menjadi “guide” wartawan hari Minggu itu, sering kali senyumnya diselingi tawa lepas mengiringi cerita-cerita anak manusia yang menyelingi penjelasannya mengenai masalah-masalah teknis peternakan yang banyak tidak diketahui wartawan yang biasanya menganggap dirinya serba tahu itu.

Di bawah naungan pohon lamtoro di pinggir jalan yang mulai menanjak ia berhenti.

“Ini namanya lamtoro gung”, kata Presiden. “Kenapa diberi nama itu? Padahal di Indonesia kita mengenal lamtoro saja,” tanya Presiden kepada rombongan.

Beliau menjawab sendiri dengan menjelaskan bahwa lamtorogung berasal dari Pilipina dan telah dikembangkan di Indonesia. Kemampuan tumbuhnya yang cepat, batang yang besar, dan daun rindang memberinya nama “giant” lamtoro. Karena itu di Indonesia diberi nama lamtoro ditambah “gung”. Selain daunnya untuk makan ternak, kayunya untuk bahan bakar.

Buahnya yang disebut “petai cina” enak dimakan. “Kalau dimakan dengan sambel terasi, mertua lewat pun tidak ketahuan”, kata Presiden disusul tawa lepas.

Pak tani Soeharto mengatakan, selain memberi penjelasan mengenai lamtoro gung yang tahan angin itu beliau juga mengakui : “agar kita bisa mengambil nafas”.

Dalam mengolah makanan ternak. Tapos tampaknya menggunakan sistem yang telah dikembangkannya sendiri. “Gagasan mendirikan Tapos dilatari pemikiran untuk mencari jalan pintas”, kata seorang dokter hewan yang juga menjadi salah seorang yang diikutsertakan mengawasi peternakan itu.

PT. Rejo Sari Bumi unit Tapos didirikan tahun 1974 di atas tanah HGU (Hak Guna Usaha) seluas 751 HA, berketinggian 700 – 1200 M di atas permukaan laut.

“Pak Harto melihat birokrasi instansi-instansi pemerintahan yang masih dalam pembenahan tidak memungkinkan dikembangkannya teknologi peternakan dalam waktu yang relatif singkat. Baik karena masih terbatasnya dana, maupun ahli yang diperlukan di lapangan. Padahal, di tahun-tahun itu rakyat Indonesia justru dihadapkan pada permasalahan pangan, termasuk protein. Untuk ikut mengatasi hal itulah Pak Harto mendirikan peternakan Tapos sebagai jalan pintas”, kata dokter hewan yang dikutip tadi.

Percobaan demi percobaan dilakukan para pekerja Tapos. Dengan motivasi yang selalu diberikan Presiden Soeharto. Made Suweca yang hanya lulusan SMA itu mengakui banyak membaca literatur mengenai bidang yang digelutinya.

“Teori-teori itu kemudian dipadukan dengan masukan-masukan yang diperoleh Bapak ketika berkeliling dan bertemu dengan petani”, kata Made.

Tujuan Pendirian Tapos

PT. Rejo Sari Bumi didirikan dengan tujuan memanfaatkan tanah yang kurus dan terlantar untuk usaha produktif dengan pertanian terpadu. Tapos tadinya berasal dari PNP XI yang sudah terlantar. Tanaman karet, kina, dan sereh wangi tidak terurus lagi. Daerahnya, pegunungan yang bertebing-tebing dan jurang, bertanah latasol coldat dengan kadar kesuburan yang sangai kurang.

Untuk memperbaiki keadaan tanah dengan cepat amatlah sulit tanpa bantuan ternak. Mengharapkan pupuk hijau saja akan membutuhkan waktu lama. Karena itu PT. Rejo Sari Bumi unit Tapos berusaha memperbaikinya dengan pertanian terpadu (peternakan dan pertanian).

Di sinilah asas “reycycling” dimanfaatkan peternak Soeharto. Dengan asas perputaran sumber itu, limbah dimanfaatkan ke bagian lain, untuk kembali lagi ke bagian semula. Ternak memakan daun, dan kotorannya dijadikan pupuk untuk rumput, yang kemudian dijadikan lagi makanan ternak.

Tujuan berikutnya dari didirikannya perusahaan ini, membantu program pemerintah dalam menyediakan bibit ternak unggul untuk disebarkan kepada masyarakat guna meningkatkan populasi terenak, serta membantu memenuhi kebutuhan protein.

Sejak 1977 sebanyak 1.616 sapi jantan telah diberikan Presiden Soeharto sebagai bantuan untuk pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang sering disebut “Banpres”. Sedangkan, yang telah dijadikan ternak potong atau dijual 1.0 14 ekor.

Mereka yang pernah yang menikmati “steak” di Hotel Hilton, Jakarta, misalnya, mungkin tidak mengira bahwa daging yang empuk itu berasal dari Tapos. “Dari pada mereka mengimpor daging dari luar negeri, kan lebih baik kita yang menyuplainya”, kata Made Suweca. “Akan mengurangi penggunaan devisa.”

Rekan-rekan wartawan yang sering bepergian ke luar negeri, tampaknya memang tidak bisa membedakan keempukan “steak” sapi Tapos yang mereka nikmati Minggu siang itu, dari “steak” yang pernah mereka makan di hotel­-hotel internasional.

Bagi Lingkungan

Tujuan berikutnya pendirian Tapos, memberi kesempatan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Memang, para pekerja Tapos 214 orang itu berasal dari daerah sekeliling.

“Petunjuk Bapak, gaji minimal harus bisa memenuhi kebutuhannya”, kata Made.” dan perusahaan ini harus mampu berdiri dan berputar dengan kekuatan sendiri,” kata Made selanjutnya.

Tapos juga sering dijadikan tempat penelitian lapangan oleh mahasiswa­-mahasiswa jurusan peternakan IPB (Institut Pertanian Bogor).

Salah satu tujuan lain dari didirikannya perusahaan itu memang untuk penelitian di bidang petemakan daun pertanian.

Pelbagai penyilangan yang dilakukan di peternakan itu diuraikan petani Soeharto dengan lancar, dan penguasaan materi yang baik sekali. Ibarat seorang dosen peternakan beliau menjelaskan kepada rombongan wartawan yang tampaknya, terpaksa mengernyitkan dahi untuk menangkap istilah-istilah teknis yang sebagian besar masih asing bagi wartawan yang tidak menekuni hidang pertanian.

Selain menampung tenaga kerja, bagi masyarakat petani daerah sekitar, pintu Tapos juga terbuka untuk mendapatkan makanan ternak yang telah diolah dengan formula-formula yang diciptakan sendiri.

“Sekalipun rahasia perusahaan, Tapos terbuka bagi masyarakat untuk mengetahui formula-­formula itu,” kata dokter hewan yang disinggung di atas tadi. Tetapi, dosisnya tentu akan amat tergantung dari situasi masing-masing lapangan.

Selain peternakan, Tapos juga mengembangkan perkebunan cengkeh. Kepada masyarakat petani di sekitar itu diberi kesempatan untuk memanfaatkan tanah yang ditanami cengkeh sebagai tumpang sari. Begitu pula bagian-bagian perkebunan Tapos yang ditanami kayu manis, kopi, dan teh dan salah satu fungsi pokok dari semua tanaman itu, penelitian untuk pengembangan, seperti halnya ternak.

“Saya kecewa setelah meninjau Tapos”, bisik seorang rekan dalam perjalanan pulang ke Jakarta. “Kecewa, karena pelbagai isyu yang dibisikkan orang selama ini ternyata tidak benar”.

Memang cukup banyak isyu tersiar seolah-olah Tapos sebuah “ranch” besar dan mewah seperti apa yang dikenal di Barat.

Terbukti perkebunan ini tetap tampil dengan sosoknya yang “sederhana” sama halnya dengan perkebunan dan peternakan lain. Namun, dengan fungsi yang berjangkau jauh, dan pengelolaan yang selalu memperhatikan rasa kebersamaan tanpa meninggalkan efisiensi. (RA)

 

 

Jakarta, Suara Karya

Sumber : SUARA KARYA (12/07/1985)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 312-316.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.