SIKAP DOGMATIS, STATIK DAN ANTI PANCASILA  BATU SANDUNGAN PJPT II

SIKAP DOGMATIS, STATIK DAN ANTI PANCASILA BATU SANDUNGAN PJPT II[1]

 

Surabaya, Antara

Wakil Ketua DPARI, Prof. DR. Suhardiman, SE memprakirakan timbulnya sikap politik dogmatis, statik dan anti Pancasila sebagai akibat arus konglomerasi dan globalisasi akan mergadi batu sandungan terberat bagi perpolitikan bangsa Indonesia dalam era PJPT II.

Suharctiman mengemukakan hal itu ketika berbicara pada Forum Sarasehan Tujuh Belasan yang diselenggarakan Badan Pengurus Daerah (BPD) Baladhika Karya Jatim di Surabaya, Jum’at malam.

Sikap dogmatis itu merupakan sikap melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara liberal serta individualistis. Sedangkan sikap statik atau penyakit kemapanan berjangkit pada beberapa pihak yang mengklaim bahwa kemapanan telah tercipta di Indonesia. Padahal, kita masih dalam proses berkembang.

“Kemapanan kita masih dalam tahap proses. Kalau ini tidak disadari akan menimbulkan sikap berebut menempati posisi kekuasaan tanpa mengindahkan erika politik,” ujarnya.

Mengenai sikap anti Pancasila dan UUD 1945 merupakan sikap dari beberapa kelompok diantaranya golongan putih ,postpower syndrome, “karaoke’ (kanan kiri oke), pendobrak kemapanan dan anggurtikal (kelompok pengangguran politik yang intelektual).

Menurut Suhardiman, jika bangsa Indonesia mampu mengatasi batu sandungan itu pada tahun 1995 secara baik, maka proses suksesi pada 1998 akan berjalan mulus.

Namun, lanjutnya, batu sandungan itu perlu diwaspadai sejak sekarang, karena akhir-akhir ini kerawanan politik telah terlihat seperti terjadinya kejutan-kejutan politik menjelang berakhirnya 1993.

Paling tidak terdapat sekitar 11 kejutan politik yang harus diwaspadai. Diantaranya, putusan rapim PDI mendukung Pak Harto menjelang SU MPR, padahal sebelumnya cenderung kepada calon lain.

Kejutan lain berupa interupsi pada SU MPR yang belum pemah teijadi dalam peta perpolitikan di Indonesia, ketegasan sikap politik Presiden Soeharto tentang Hak Azasi manusia (HAM) dan terbentuknya Komite Nasional HAM yang diketuai Ali Said dengan 28 orang anggota yang masih dalam proses penyusunan.

“Kericuhan Kongres PDI di Medan, kasus Nipah di Sampang dan unjuk rasa SDSB akhir-akhir ini serta kedatangan Dewi Soekarno termasuk kejutan politik yang patut diwaspadai arahnya agar tidak menjadi batu sandungan,” tegasnya.

Pada Arah Demokratisasi

Suhardiman yang juga Wakil Ketua FKP MPR RI itu mengatakan, sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia saat ini memerlukan single majority karena sistem yang dianut adalah mengkosentrasikan kekuatan masyarakat dalam empat aspirasi.

Namun, sistem ini perlu diarahkan pada demokratisasi di masa depan. “Sedangkan sisterm kepartaian masa orde baru saat ini tidak didasarkan pada ideologi dan moralitas tetapi berdasar pada aspirasi yang berkembang yang disimpulkan dalam empat aspirasi yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam,” katanya.

Aspirasi politik itu diwujudkan melalui fusi 10 partai menjadi tiga yaitu PPP, Golkar dan PDI. Aspirasi ekonomi dirangkum pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin).

Untuk aspirasi sosial-budaya tampak pada UU Nomor 8 Tahun 1985 yang mengklasifikasikan ormas pada jenis kegiatan, agama, kepercayaan dan fungsi. Sedang aspirasi Hankam terlihat pada kekuatan dwi-fungsi ABRI.

“Berdasarkan kenyataan itu, sistem kepartaian jangan dilihat secara sempit dari PPP, Golkar dan PDI tetapi dari aspirasi yang berkembang yang dikonsentrasikan pada empat aspirasi tersebut yang memerlukan kosentrasi kekuatan atau single majority,” katanya.

Disamping itu agar kita mampu menangkal dampak globalisasi dalam era PJPT ll, maka pembangunan politik di negeri ini perlu diarahkan pada peningkatan peranan masyarakat luas atau demokratisasi.

“Yang jelas sistem kepartaian itu perlu menggugah masyarakat luas, agar setiap kekuatan sosial-politik memiliki saluran untuk masuk ke sentra kekuasaan, terutama lapisan generasi muda, cendekiawan, pers dan kalangan swasta,” demikian Suhardiman. (Sby-Pk07 I Sby-00 1/YKT-003/20/ 11193 10:24)

Sumber:ANTARA(20/ ll/1993)

______________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 306-308.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.