SINDROM KAUM ATASAN
Pada perkembangan negara kita yang terlibat dalam usaha menyelenggarakan mekanisme yang tepat untuk memajukan kehidupan bangsa, kini tampil persoalan bagaimana rnengatur rnekanisme itu agar dapat berjalan seimbang dan harmonis untuk mencapai tujuan-tujuan nasional yang hendak diraih.
Untuk itu diperlukan suatu interaksi yang positif antara kepemimpinan di segala tingkatan dengan sernua lapisan pelaksana dalam tugas di sektor rnasing-masing.
Dalam bidang pengawasan, misalnya, masih menjadi persoalan bagaimana menciptakan sistem yang memungkinkan mekanisme pengawasan dapat berjalan semestinya.
Hubungan manusiawi antara atasan-bawahan, kadang-kadang ditingkahi oleh hubungan peka antara ketergantungan kepentingan yang tidak bisa dielakkan.
Hubungan tanggung-jawab antara atasan-bawahan, sering digoda oleh nilai kekuasaan yang dimaterialisir sehingga merubah hubungan tanggun jawab itu menjadi semacam konspirasi jabatan yang melembaga.
Inilah rintangan pokok dalam mengatur sistern pengawasan supaya efektif dalam membantu kepentingan negara.
Presiden Soeharto ketika menerima Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Minggu lalu, menyinggung tentang titik berat pengawasan yang perlu diterapkan antara para atasan dan bawahan dalam sistem birokrasi negara.
Presiden meminta agar pengawasan atasan kepada bawahan bukan hanya dalam menghadapi kasus-kasus (penyelewengan) saja, tetapi harus dilakukan dalam kerangka suatu sistem pengendalian manajemen.
Petunjuk ini penting untuk diperhatikan, sebab pola pengawasan yang sehat ialah pemenuhan syarat-syarat manajemen dalam mengefektifkan mekanisme administrasi sehingga terciptalah pengendalian dan pengimbangan dalam seluruh segi fungsional yang tercakup dalamnya, yang dengan sendirinya mencegah kesalahan dan kesengajaan pelaksanaan.
Akan tetapi kriteria atasan dan bawahan dalam fungsi manajemen pemerintahan di negara ini, sering justru kabur meskipun strukturnya jelas. Atasan sering atasan dalam hirarki fungsional tetapi kadang-kadang juga tidak mempunyai integritas atasan dalam arti ekstra-fungsional.
Ini terutama terlihat pada atasan yang menggunakan bawahannya untuk tujuan komersialisasi jabatan.
Sang bawahan menjadi sadar akan peranan khususnya dan menjadikan sang atasan sebagai sandera dari kepentingan ekstra fungsionalnya.
Gejala demikian, para hakekatnya, bukan saja menghambat usaha mengungkap kebenaran bila terjadi persoalan hukum, tetapi juga membenalui hukum-hukum riil manajemen yang seharusnya diberlakukan dengan semestinya. Pengaruh upetisme seperti yang disinyalir oleh Kepala BPKP, Gandhi, mengakhiri segala-galanya.
Petunjuk Presiden mengenai struktur pengendalian manajemen yang dapat memberi elan bagi fungsi pengawasan, memperlihatkan penekanan pada arus pengawasan yang harus datang dari hulu, dari sang atasan, kepada bawahannya. Akan tetapi dalam hal yang menyangkut upetisme, sulit digali kebenaran apakah itu usaha bawahan atau keinginan atasan.
Sebab bukan tak mungkin bahwa ada "instruksi tentang jatah upeti" dari atas, yang harus dipenuhi sang bawahan jika tak ingin disusahkan, dipecat atau digeser.
Dalam situasi seperti ini, mungkinkah atasan mengawasi bawahan? Dalam persoalan ini sebenarnya tumbuh sebuah sindrom kekuasaan yang hampir mutlak, yaitu sindrom kaum atasan yang tidak dapat digugat sebagai sumber pembuat kesalahan atau sumberpenyelewengan, yang serta-merta melibatkan bawahannya, yang terpaksa ikut menyeleweng karena harus menjalankan kepentingan atasannya.
Cara ini sudah merupakan hal yang umum pada banyak instansi dan sudah merupakan ciri-ciri yang melembaga pada birokrasi pemerintahan.
Akhirnya, memang, hanya dapat kita temukan kesalahan, penyelewengan, korupsi yang hanya melanda nasib kaum bawahan tetapi tidak menyentuh lingkungan kaum atasan.
Ini disebabkan karena sindrom kaum atasan sudah menjadi budaya kekuasaan yang membeku dan tidak dapat ditembus. Inilah bahaya yang menyangkut konteks hubungan atasan-bawahan dalam system pengawasan administrasi yang tidak dapat berjalan dan hanya menggelinding ke bawah.
Sindrom kaum atasan ini, misalnya, tergambar dalam sebuah misal yang diutarakan oleh MenteriAgama, Munawir Sjadzali, dalam silaturahmi dengan para pejabat, alim-ulama dan pemuka-pemuka masyarakat di Sumenep belum lama ini.
Menteri menyinggung tentang guru kota besar yang hanya bersepeda dan muridnya yang kesekolah dengan Volvo. Jika sang guru membentak sedikit saja, sang murid lalu melapor pada ayahnya yang "orang gede".
Kedudukan sosial dan moril sang guru merosot di bawah status sosial sang murid sebagai putera kaum atasan yang memiliki kekuasaan.
Sebuah pengutaraan juga dikemukakan oleh Ketua Kadin, Sukamdani
Gitosardjono, belurn lama ini, dalam interaksi antara orang-orang Pemerintah dan orang-orang swasta, orang Pemerintah menganggap dirinya sebagai "atasan" dan orang-orang swasta dianggapnya sebagai "bawahan".
Inilah suatu gejala yang menghambat interaksi maupun hubungan sehat antara Pemerintah dan masyarakat, dalam masa pembangunan ini. Gejala demikian dapat menghambat kelancaran menyelenggarakan tanggungjawab bersama untuk mensukseskan tujuan-tujuan pembangunan.
Kita sengaja menyinggung tentang sindrom ini bukan untuk menciptakan distinksi sosial yang negatif, tetapi sekedar untuk mengingatkan bahwa citra demikian sebenarnya bertentangan dengan semangat Pancasila dan sebaiknya harus kita hindari dari pertumbuhan masyarakat kita.
Adanya sindrom kaum atasan ini bukan hanya dapat membalikkan nilai-nilai, tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan masyarakat kita ke arah masyarakat yang sehat, demokratis dan berperikebaikan. Ini salah satu masalah kebangsaan yang kita hadapi masa ini. (RA)
…
Jakarta, Merdeka
Sumber : MERDEKA (1983)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 194-196.