Soal Kebebasan Mengeluarkan Pendapat[1]
Sekarang soal kebebasan mengeluakan pendapat. Di dalam GBHN, di zaman pembangunan ini, kita mengenal kebebasan mengeluarkan pendapat yang bertanggungjawab. Pengalaman kita menunjukkan, bahwa kebebasan saja tanpa tanggung jawab ternyata bisa merusak. Itulah yang menyebabkan GBHN kita menambahkan penjelasan dengan kata-kata “yang bertanggung jawab”.
Kita menganut demokrasi, dengan pengertian, bahwa kalau kita sudah bermusyawarah dan menemukan mufakat mengenai apa yang dimusyawarahkan, sekalipun tadinya ada perbedaan pendapat, semua jadi harus patuh dan tunduk kepada apa yang sudah diputuskan. Begitulah pengertian kita mengenai musyawarah dan mufakat itu.
Begitulah pula pengertian kita sekarang mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat. Jangan orang hanya ingat kepada haknya saja; ia pun harus ingat kepada kewajibannya. Pancasila menetapkan menghormati hak individu. Tetapi Pancasila menetapkan juga individu itu mempunyai kewajiban sebagai makhluk sosial.
Perbedaan kepentingan dengan sendirinya harus dilihat sebagai hal yang wajar. Dalam pada itu, kita mengartikan, jangan memaksakan kehendak sendiri atau kehendak kelompoknya sendiri saja. Dengan demikian, tangungjawab kita bersama terletak pada kepentingan masyarakat yang luas dan kepentingan negara.
Apakah seseorang atau sekelompok orang boleh bebas saja menyatakan pendapat tetapi merusak kepentingan negara, kepentingan bangsa, kepentingan golongan lain dan kepentingan keluarga lain semata-mata karena menurutkan kepentingan sendiri? Ini tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa warganegara dijamin kebebasannya berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, menyatakan pikiran melewati tulisan maupun lisan. Tetapi ada kelanjutannya, yaitu hal itu diatur dengan undang-undang. Ada kebebasan, tetapi diatur oleh undang-undang. Undang-undang ini dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya, bersama pemerintah, seperti undang-undang mengenai keormasan dan sebagainya.
Jadi, dalam hal ini, jangan menafsirkan ketentuan mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat itu dengan cara memotong-motong kalimat yang sudah lengkap. Saya tahu, terhadap diri saya ada yang senang, tetapi juga ada yang tidak senang. Mereka yang tidak senang dengan sendirinya mengeluarkan ucapan seperti isi hatinya. Demikian pula pihak yang senang terhadap saya. Itu hal yang lumrah. Apalagi di negara demokrasi, yang menghormati hak asasi.
Tetapi, kalau ucapan-ucapan dan pernyataan-pernyataan mereka itu sudah keterlaluan menyinggungnya, sudah keterlaluan melanggar hukum, dengan sendirinya perbuatan mereka itu bisa saja dihadapkan ke pengadilan.
Kalau ada kecaman dari luar negeri yang dimuat dalam surat kabar atau media massa lainnya, itu karena mereka mempunyai tujuan politik tertentu. Jadinya, kita harus waspada dalam menghadapi semua itu, jangan sampai kita terpancing oleh issue-issue politik atau pe beritaan yang mempunyai tujuan politik. Selama mereka menjelekkan saya pribadi, itu hak mereka. Tetapi apabila mereka menjelekkan negara, atau menjelek-jelekkan saya sebagai Kepala Negara, maka tentunya kita harus mengambil tindakan terhadapnya. Itulah mengapa ada tulisan yang masuk di negeri kita yang harus dihapus dengan tinta hitam.
Mengenai pers nasional, saya akan berkata, ia perlu terus meningkatkan peranan kontrol sosial yang konstruktif, serta menampung dan menyalurkan perasaan yang timbul dalam masyarakat. Di masa-masa yang lalu, pers nasional telah memberi sumbangan positif dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Selain itu pers nasional tidak saja menjadi sarana perjuangan yang ampuh, melainkan ikut memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Saya tahu, pers Indonesia lahir di tengah-tengah masyarakat sejak bangsa Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah. Karena itulah pers nasional merupakan kekuatan dan alat perjuangan nasional. Pers nasional ikut menyebarkan benih-benih semangat kebangsaan dan semangat untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia ke seluruh pelosok tanah air, ke pelbagai penjuru dunia, pers nasional juga mempunyai saham yang cukup besar dalam penyebaran berita yang maha penting itu. Dan dalam zaman perang kemerdekaan, wartawan nasionalis dan pers nasional gigih berjuang untuk ikut menegakkan Negara Republik Indonesia yang memproklamasikan dirinya pada tanggal 17 Agustus 1945. Saya ingat benar akan hal ini semasa revolusi fisik.
Dalam masa pembangunan sekarang, pers nasional juga memberikan sahamnya dalam memberitakan kegiatan dan gerak pembangunan masyarakat serta giat meningkatkan motivasi rakyat dalam ikut serta secara aktif membangun dirinya. ltulah sebabnya saya sering mengatakan, pers nasional adalah pers perjuangan.
Pers nasional adalah pers pejuang bangsa yang mengantarkan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaannya, membela kemerdekaan itu dari segala macam marabahaya, serta pers pejuang untuk membangun masyarakat Pancasila. lngat pada apa yang terjadi di masa G.30.S., sebelum dan sesudahnya!
Saya Iihat, pers nasional telah mengembangkan kebebasan yang bertanggungjawab. Patokan dasarnya antara lain adalah mengusahakan makin bertambah kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa, terpeliharanya stabilitas nasional yang dinamis dan meningkatkan kelancaran pembangunan yang semuanya itu dikembangkan di atas landasan Pancasila dan UUD ’45.
Kita semua merasa gembira bahwa dalam mengembangkan kebebasan yang bertanggungjawab itu pers nasional kita telah mencapai kemajuan-kemajuan yang pesat. Saya kira, hal ini terutama disebabkan oleh kesadaran dan rasa tanggungjawab yang besar dari seluruh jajaran pers nasional itu sendiri.
Saya merasa lega karena pers nasional telah menetapkan pers Pancasila sebagai identitas pers Indonesia. Sementara itu telah dapat dibentuk undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers pada tahun 1966 yang kemudian diubah dan ditambah pada tahun berikutnya.
Untuk pembinaan kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab itu, maka sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berlaku, telah juga dibentuk Dewan Pers yang anggota- anggotanya terdiri atas pejabat-pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh pers.
Tentu saja kita merasa bangga dan lega melihat pertumbuhan pers yang bebas dan merdeka, suatu tanda bahwa kehidupan demokrasi terjamin pelaksanaannya dalam Orde Baru. Tetapi sering-sering kita merasa prihatin dan khawatir terhadap penggunaan hak kebebasan pers yang kurang wajar dan kurang bertanggung jawab. Masih banyak harian dan majalah yang terdorong oleh tujuan komersial atau motif lainnya, menyajikan berita-berita yang sensasional, tanpa mengindahkan norma-norma kesusilaan, sopan santun, kerahasiaan negara dan juga kurang memperhatikan akibat-akibat tulisannya yang dapat menggoncangkan masyarakat. Sikap kurang bijaksana seperti itu pada gilirannya akan dapat merusak stabilitas nasional sehingga kadang-kadang terpaksa alat-alat negara mengambil tindakan untuk membimbing dan “mendisiplinkan” pers agar lebih bertanggungjawab atas akibat-akibat pemberitaannya itu. Begitulah terjadi antaranya waktu peristiwa yang menyedihkan yang disebut “Malari”. Sejumlah koran terpaksa dicabut izin terbitnya waktu itu.
Faktor lain yang penting dalam rangka menumbuhkan kehidupan demokrasi yang juga bermanfaat bagi usaha pembangunan bangsa adalah kebebasan mimbar, Untuk ini saya membuka kesempatan yang luas di lingkungan pendidikan-pendidikan tinggi untuk mengadakan seminar-seminar, diskusi dan dialog. Bukan saja untuk meningkatkan usaha para pemuda dan mahasiswa dalam mencari dan menggali ilmu pengetahuan, melainkan juga untuk memberikan kesempatan yang luas bagi mereka agar lebih mengenal akan kehidupan dan masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat serta mempersiapkan mereka sebagai calon-calon pengabdi dan pemimpin-pemimpin bangsa dan rakyat.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 422-425.